Mongabay.co.id

Pulau Terpadat itu Ada di Indonesia [Bagian 2]

Jam baru saja menunjukkan pukul 6 pagi, tetapi jalan yang menghubungkan pulau Bungin dengan bumi Sumbawa, sudah ramai dilewati oleh aktivitas warga yang keluar masuk Pulau Bungin. Baik untuk berdagang, bekerja, sekolah, ataupun kegiatan yang lainnya.

Sebelumnya, Pulau Bungin merupakan pulau yang terpisah dari daratan utama Pulau Sumbawa. Baru pada 2002, dibangun jalan yang menyambung kedua pulau tersebut untuk mempermudah aktivitas warga. Laju pergerakan ekonomi pun semakin cepat.

Perkembangan ekonomi yang pesat ini, merupakan perubahan yang positif. Perdagangan hasil laut menjadi semakin mudah, tingkat pendidikan yang juga semakin tinggi membuat masyarakat Bungin semakin terbuka wawasannya, bahkan usaha pembudidayaan mutiara air laut pun sudah ada di Bungin.

baca : Pulau Terpadat itu Ada di Indonesia (Bagian 1)

 

Pulau Bungin, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat dengan penduduk yang sangat padat dan luas pulau yang sempit. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Budidaya mutiara di Pulau Bungin. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Walaupun tentu saja, ada hal positif, ada pula hal negatif yang mengikutinya.

Setidaknya Mongabay menemukan tiga masalah lingkungan yang ada di Pulau Bungin, yaitu : sampah, kepadatan penduduk dan reklamasi.

Bersama pulau di Haiti dan Hongkong, Pulau Bungin merupakan salah satu Pulau Terpadat di dunia.

Saking padatnya Pulau Bungin, beberapa rumah di bungin bisa dihuni 2-3 keluarga, padahal ukuran rumah yang mereka tempati juga tidaklah besar. Rumah Agel misalnya, rumah dengan satu kamar yang kira-kira berukuran 30 meter persegi harus ditempati oleh 4 keluarga yang merupakan anak cucu Agel, yang keseluruhannya berjumlah 12 orang.

Jika dihitung berdasarkan ratio jumlah penduduk sekarang 3287, dengan luas tanah sekarang yang kurang lebih 12 hektar, berarti kurang lebih ada 2 orang dewasa dan satu anak kecil atau remaja dalam setiap 98 meter perseginya.

baca juga :  Cerita Adaptasi Ekstrim Kambing Pulau Bungin

 

Sebuah rumah yang berisi 3 keluarga di Pulau Bungin, Sumbawa, NTB yang padat penduduk. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Penduduk yang padat di Pulau Bungin, Sumbawa, NTB. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Pepatah Jawa mangan ora mangan asal kumpul tampaknya juga dianut oleh Masyarakat Bajo Pulau Bungin. Ini terbukti tingkat eksodus keluar Bungin, walaupun ada, jumlahnya tidaklah signifikan.

Masyarakat lebih memilih hidup di Tanah mereka, walaupun tanah tempat tinggal mereka semakin sempit.

Pada bulan Agustus 2018, gempa besar melanda Pulau Lombok, dan Pulau Bungin pun terkena imbasnya. Gempa tersebut menyebabkan kebakaran. Karena jarak antar rumah yang terlalu rapat, maka dalam waktu singkat, si jago merah melahap puluhan rumah yang lainnya.

Kejadian ini, menimbulkan trauma yang mendalam di masyarakat bungin, terutamanya anak-anak.

Dengan jumlah penduduk yang begitu padat, meledaknya limbah rumah tangga menjadi tidak terelakkan lagi.

baca juga :  Selamatan Laut, antara Merawat Tradisi dan Rayuan Pariwisata

 

Perempuan menjual ikan di Pasar Alas, Pulau Bungin, Sumbawa, NTB. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Anak-anak Pulau Bungin yang berangkat sekolah. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Pada Oktober 2007, masalah sampah ini memicu kejadian luar biasa (KLB) penyakit malaria yang diderita oleh 139 orang, dan 12 orang di antaranya meninggal dunia, di Desa Bungin ini.

Menurut Marsono alias Samana, tetua adat setempat, beberapa tahun yang lalu, ada aturan adat Bajo tentang kebersihan di Desa Bungin, yaitu Jumat Bersih. Selain hari jumat juga disakralkan oleh masyarakat Pulau Bungin yang seluruhnya memeluk agama Islam, waktu itu para nelayan juga dianjurkan untuk tidak melaut. Hari jumat, adalah hari bersih-bersih desa.

Tetapi seiring berjalannya waktu, kearifan lokal ini secara perlahan memudar keberadaannya.

Ini karena pada jaman sekarang, di mana semuanya serba instan. Sehingga para nelayan pun melaut dengan bekal yang instan pula, dan celakanya, kesadaran untuk tidak membuang sampah bekal instan tadi laut, masih sangat kurang.

Sampah plastik di Pulau Bungin, juga dipergunakan sebagai salah satu lapisan pondasi rumah setelah pasir dan karang.

 

Sampah menjadi masalah di Pulau Bungin yang kecil dan padat penduduk. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Terumbu karang

Menurut berbagai literatur, Pulau Bungin yang mulai dihuni sejak 1818, tepatnya 3 tahun setelah Gunung Tambora meletus, sekitar 7-8 hektar laut telah direklamasi menjadi daratan.

Reklamasi ini dilakukan dengan menggunakan karang mati. Pada awalnya, titik pencarian karang matinya sudah ditentukan oleh desa.

Tetapi karena dicari terus menerus, karang mati semakin habis. Dan di sini lah mulai ada oknum yang menggunakan terumbu karang hidup untuk mendirikan pondasi rumah.

Tison Sahabuddin, tokoh pemuda desa Bungin kepada Mongabay Indonesia mengungkapkan, jika ada tanda-tanda di mana seorang lelaki Bungin sudah siap berumah tangga. Yang pertama adalah, dia harus kuat melaut. Dan yang kedua adalah kuat mengumpulkan karang untuk membangun rumah. Kepercayaan inilah yang memicu pencarian karang selalu dilakukan masyarakat Bungin.

 

Terumbu karang yang dipergunakan untuk pondasi rumah di Pulau Bungin. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kerusakan karang di sekitar Pulau Bungin, memicu pemerintah pusat menerapkan aturan, tentang pelarangan penggunaan karang sebagai pondasi rumah, karena ini bisa mengganggu keberlangsungan ekosistem di laut.

Penggunaan material tanah sebagai pengganti karang pun diusulkan oleh masyarakat pada pemerintah. Tetapi menurut Tison lagi, itu pun bermasalah, karena perluasan lahan di Bungin berarti mereklamasi pantai.

Perdebatan antara pemerintah dan masyarakat mengenai perluasan daratan berlangsung cukup alot, sehingga pada akhirnya turun keputusan untuk melakukan pengecualian terhadap orang Bungin, yaitu sejauh hanya dibangun untuk rumah tinggal, dan bukan industri yang besar, maka penimbunan masih diperbolehkan, yang tentu saja dengan berbagai macam persyaratan.

 

Transplantas terumbu karang di perairan Pulau Bungin, Sumbawa, NTB. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Sebetulnya sejak jaman dulu, Suku Bajo terkenal akan kecintaan terhadap lautnya. Ada pepatah kuno Suku Bajo, pamali batu lagak ke batu atau terlarang batu membentur batu. Dengan kata lain, setiap nelayan Bajo, tidak diperbolehkan menjatuhkan jaring ke sembarang tempat, terutama yang ada terumbu karangnya. Jadi jangan sampai terumbu karang rusak oleh pemberat jaring. Dan transplantasi terumbu karang pun mulai dilakukan oleh para kaum muda Bungin.

Tison pernah melakukan simulasi perhitungan penggunaan karang sebagai pondasi rumah di desa Bungin. Dengan jangka waktu perhitungan 186 tahun, dan menggunakan sampel tertentu pula, maka didapatlah angka kurang lebih 22 juta bongkahan karang , sebesar kurang lebih bola kaki. yang sudah digunakan masyarakat bungin sebagai bahan untuk membangun tempat tinggalnya. Suatu jumlah yang luar biasa.

Penggunaan rumah tancap dan rumah apung adalah salah satu solusi yang bisa diterapkan oleh masyarakat Bungin di pulaunya, lanjut Tison.

menarik dibaca :  Wow, Indahnya Keanekaragaman Hayati Bawah Laut Pulau Sumbawa

 

Terumbu karang yang ada di perairan Pulau Bungin. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Pulau Bungin ini memang sangat unik keberadaanya. Karena dia terus mengembangkan tanahnya sendiri, orang Bungin tidak mempunyai sertifikat hak milik atas namanya. Yang ada hanya surat kepemilikan saja, yang disetujui oleh beberapa pihak. Dan itu sebabnya pula, orang Bungin tidak membayar pajak atas tanahnya ke negara.

Pulau Bungin pada dasarnya mempunyai potensi ekowisata yang menarik. Selain restoran dan penginapan apung, terdapat pula museum laut, tempat di mana edukasi tentang kehidupan laut.

Hanya saja, memang kesadaran masyarakat tentang pentingnya keberlangsungan ekosistem lingkungan, baik di darat maupun di laut, harus selalu dipupuk dan dikembangkan. Sehingga ke depannya, Desa Bungin bisa lebih maju dan dikenal ke seluruh manca negara karena keindahan, kebersihan, dan kelestarian lingkungannya, dan bukan karena eksplorasi terumbu karang dan sampahnya.

 

Restoran dan hotel apung di Pulau Bungin. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version