Mongabay.co.id

Mereka Berupaya Selamatkan Gajah Jambi Kala Habitat Terus Tergerus

Bangkin, gajah jinak yang membantu proses translokasi. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

 

Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) adalah spesies mamalia endemik terbesar di Sumatera. Di Jambi, populasi gajah tersebar di beberapa kawasan yaitu Kabupaten Sarolangun, Tebo dan Kerinci, Jambi. Populasi terbesar di Tebo, sekitar 143 gajah. Data BKSDA Jambi, di Kerinci khusus Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), populasi belum dapat dipastikan. Kini, habitat gajah di Jambi, terus menyempit, hidup mereka makin terjepit…

Idealnya, seekor gajah jantan yang memasuki usia dewasa akan dispersal (fase gajah jantan memisahkan diri dari kelompok untuk mencari wilayah jelajah baru). Gajah jantan biasa menyendiri, sementara kelompok dipimpin betina dewasa. Dispersal ini dilakukan agar tak terjadi perkawinan sedarah dalam kelompok gajah.

Saat ini, di Kecamatan Sumay, Tebo, ada tujuh kelompok semua berada di lansekap Bukit Tigapuluh. Kelompok gajah ini bisa bergabung membentuk kelompok besar sampai 60 dengan rentang usia beragam.

Mereka menempati lokasi yang dipisahkan oleh perkebunan dan pemukiman masyarakat karena perubahan fungsi lahan. Kelompok gajah ini sangat dinamis kadangkala menjadi kelompok besar yang kemudian berpencar dan kembali membentuk kelompok-kelompok kecil.

Pada Mei 2018, tiga gajah bagian dari kelompok di Sumay ini memasuki wilayah perkebunan warga hingga seorang terluka. BKSDA Jambi dan para ahli mengecek lapangan atas keberadaan tiga gajah ini. Mereka memasuki usia dewasa muda dan berjenis kelamin jantan yang telah memasuki fase dispersal.

Dalam kurun Mei-Juli 2018, ketiga gajah sudah melintasi enam desa di Kecamatan Tebo Tengah dan Sumay, Tebo.

Kondisi populasi terbesar di Tebo, sementara jumlah penduduk terus bertambah–menyebabkan alih fungsi lahan makin luas– hingga ketika dispersal terjadi frekuensi pertemuan gajah dengan masyarakat meningkat. Kondisi ini otomatis ikut meningkatkan potensi konflik gajah dan masyarakat.

 

Botol berisi minyak nilam untuk mengusir gajah. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Untuk mengurangi potensi ini BKSDA Jambi dan parapihak melakukan serangkaian pertemuan. Tindak lanjut pilihan dengan melakukan translokasi.

“Dari diskusi dengan para pihak disepakati akan translokasi tiga gajah” kata Rahmad Saleh, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi.

Gajah-gajah ini, katanya, akan dipindahkan ke Hutan Harapan terletak di Sarolangun. Tiga gajah ini terdiri dari dua jantan dan satu betina di Tebo. “Keputusan translokasi ini kita ambil dengan mempertimbangkan kajian-kajian berbasis sains mengenai kondisi habitat, ketersediaan pakan dan analisa sex ratio dari kelompok-kelompok gajah” katanya.

Muhammad Wahyu, Direktur Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (Vesswic) mengatakan, jika gajah betina dipindahkan harus memperhatikan kelompoknya. Kalau si betina pemimpin kelompok, sebaiknya tak dipindahkan karena rekaman wilayah jelajah kelompok ada pada pemimpin kelompok. “Bila pemimpin kelompok pindah justru akan membuat anggota kelompok kebingungan.”

 

Proses translokasi. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Habitat hilang

Alih fungsi hutan jadi pemukiman dan perkebunan berakibat pada habitat dan ruang jelajah gajah makin sempit, seperti terjadi pada Karina, gajah betina dewasa di Desa Pintas Tuo, Muara Tabir, Tebo.

Karina hidup sendiri di kawasan ini, padahal seharusnya gajah betina hidup dalam kelompok. Kondisi habitat mereka buruk baik kualitas maupun kuantitas. Karina hidup di wilayah didominasi semak-semak dan dikepung perkebunan. Karina pun tak bisa bertemu kelompok gajah lain.

Untuk menyelamatkan Karina, BKSDA Jambi bersama para pihak lakukan translokasi ke Hutan Harapan, Sarolangun. Menurut Alexander Mossbrucker, ahli konservasi satwa liar dari Frankfurt Zoological Society (FZS) lansekap Hutan Harapan cocok untuk habitat gajah dan cukup luas mendukung populasi yang viabel.

Lansekap Hutan Harapan ada kelompok gajah terdiri enam betina yang semua berkerabat hingga miskin keragaman genetis. Tiga tahun lalu seekor gajah jantan dari Bukit Tigapuluh pindah ke kawasan ini.

“Dengan Karina ke kelompok ini keragaman genetis akan bertambah” ucap Mossbrucker.

Alih fungsi kawasan hutan, katanya, tak hanya mengorbankan Karina juga tiga gajah jantan di Bukit Tigapuluh, tepatnya Kecamatan Sumay, Tebo. Ruang gerak mereka makin terbatas frekuensi pertemuan gajah dan masyarakat meningkat hingga potensi konflik besar. Idealnya, gajah dapat melakukan fase “merantau” ini hingga menemukan kelompok baru.

Dengan kondisi habitat buruk perlu intervensi dengan memindahkan mereka ke habitat baru di Hutan Harapan.

Rencana pemindahan tiga gajah ini, katanya, tentu bukan solusi untuk permasalahan yang dihadapi populasi gajah di Jambi. “Pemindahan ini hanya solusi jangka pendek karena kehilangan habitat adalah masalah utama yang harus diselesaikan.”

Kalau tak segera perbaikan dan pengamanan habitat, gajah tersisa akan mengalami kepunahan dalam waktu lebih singkat.

Lansekap Bukit Tigapuluh, katanya, adalah kantung gajah terbesar di Sumatera Tengah. Terdapat 143 gajah dalam kawasan ini. “Dalam kondisi ideal perlu habitat 2.000 km persegi untuk populasi gajah lebih 100.” Faktanya, saat ini tak ada lagi kawasan seluas itu.

Kawasan yang memungkinkan didiami kelompok gajah di lansekap Bukit Tigapuluh, katanya, hanya sekitar 400 kilometer persegi dan wilayah itu berada di luar kawasan konservasi.

Sebagian besar ruang jelajah gajah di lansekap Bukit Tigapuluh hutan produksi dikuasai swasta hingga peran mereka sangat perlu untuk menyelamatkan gajah tersisa. “Harus ada model pelestarian gajah di luar kawasan konservasi yang melibatkan swasta” kata Rahmad.

 

 

Komitmen perusahaan baru omongan

Selama ini, katanya, komitmen swasta untuk konservasi habitat gajah di lansekap Bukit Tigapuluh sebatas pembicaraan. Dia sebutkan, seperti rencana rehabilitasi kawasan dan membangun koridor satwa terutama gajah hingga kini baru konsep.

Ada beberapa perusahaan di lansekap Bukit Tigapuluh seperti PT Royal Lestari Utama (RLU), perusahaan patungan Barito Pacific Group dengan Michelin, perusahaan pembuat ban terkemuka dari Perancis. PT. Lestari Asri Jaya (LAJ), anak perusahaan RLU mengelola perkebunan karet sebagai pemasok bahan baku pembuatan ban.

Setelah mendapat tekanan dunia internasional karena menerima bahan baku dari perusahaan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan merusak habitat serta jalur jelajah gajah, akhirnya Michelin berkomitmen untuk ramah lingkungan.

Pada April 2015, Michelin menggandeng WWF Perancis dan WWF Indonesia mewujudkan komitmen ini. Komitmen ini juga mencakup pelestarian flora dan fauna di wilayah perusahaan. Salah satu rencana implementasi pelestarian fauna ini adalah pembuatan Wildlife Conservation Area (WCA) untuk satwa kunci seperti gajah dan harimau.

Pantauan Mongabay, di lapangan LAJ masih melakukan pengusiran gajah yang masuk kawasan mereka. Gajah diusir dengan api, membuat suara gaduh dengan cara berteriak dan menembakkan meriam karbit serta membuat tiang-tiang yang digantungi botol berisi minyak nilam.

Hingga pertengahan 2018, mereka masih membuka kawasan hutan sekunder yang berdekatan dengan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) merupakan habitat gajah. Kawasan sempadan sungai juga masih dibuka dan ditanami karet.

“Rencana alokasi kawasan WCA adalah seluas 9.700 hektar,” kata Reynaldi, Community Engagement Michelin Rubber WWF Indonesia – PT RLU. Untuk implementasi di lapangan, tim WWF dan RLU tengah menyusun strategi rencana aksi konservasi (SRAK) satwa di areal WCA. “Dokumen SRAK ini target selesai 2018 dan mulai implementasi 2019.”

Menurut Reynaldi, kendala terbesar implementasi WCA ini konflik sosial konsesi perusahaan yang diokupasi masyarakat.

“Model kawasan konservasi untuk gajah tak bisa hanya spot-spot, harus membentuk ruang terintegrasi,” kata Rahmad.

Untuk itu, katanya, semua pihak, baik swasta, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah daerah berperan menyelamatkan habitat gajah. “Dari aspek kebijakan, misal, pemerintah daerah dapat menjalankan peran dalam menyusun aturan tata ruang daerah.”

 

Proses translokasi gajah dari Tebo ke Hutan Harapan, Sorolangun. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Translokasi

Proses translokasi gajah Sumatera ini mulai dilakukan pada 25 September 2018. Tim terdiri dari BKSDA Jambi, tim dokter hewan dari Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (Vesswic), Zoological Society of London (ZSL), dan Frankfurt Zoological Society (FZS), PT Restorasi Ekosistem Indonesia). Juga Yayasan Konservasi Satwa Liar Indonesia, Dinas Kehutanan Jambi, tim Mahout, kepolisian dan TNI. Dalam tim ini juga terdapat Bangkin, Indah dan Reno, gajah jinak yang didatangkan dari Pusat Latihan Gajah Minas, Riau.

Tim langsung menuju lokasi seekor gajah Karina di kecamatan Muara Tabir, Kabupaten Tebo.

Operasi penyelamatan gajah Sumatera ini rencana awal berlangsung 10 hari. Setelah kegiatan ini berjalan delapan hari usaha menangkap Karina belum berhasil, tim memutuskan menuju Desa Suo-suo di Kecamatan Sumay, Tebo, untuk menangkap gajah jantan.

Pada 5 Oktober pukul 18.00, tim berhasil mendekati dan menyuntikkan bius pada satu gajah liar dewasa jantan. Setelah bius bekerja, pukul 05.19 gajah segera dipindahkan dengan truk menuju Hutan Harapan.

Tiga gajah jinak menggiring gajah jantan ke Hutan Harapan. Sebelum lepas liar gajah jantan ini terlebih dahulu dipasangi kalung global positioning system (GPS).

 

Ancaman hutan tanaman rakyat

Masyarakat di Sumay, Tebo, juga mengusulkan perhutanan sosial dengan skema hutan tanaman rakyat (HTR). Pengusul kelompok tani tergabung dalam tiga koperasi yaitu Koperasi Bungo Pandan, Koperasi Sepenat Alam Lestari dan Koperasi Setia Jaya Mandiri.

Ketiga kelompok tani didampingi perusahaan hutan tanaman industri dengan wilayah konsesi berbatasan langsung dengan HTR usulan Koperasi Sepenat Alam Lestari.

Dua kawasan HTR koperasi ini terletak di Desa Suo Suo dan satu di Desa Muara Kilis. Dua usulan HTR di Desa Suo Suo, telah disetujui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Total luas usulan HTR 13.540 hektar.

Adapun komoditas yang akan ditanam di HTR akasia dan eukaliptus. Kelompok tani bekerja sama dengan perusahaan dengan sistem investasi yaitu perusahaan melakukan seluruh pekerjaan mulai penanaman hingga panen dengan sistem bagi hasil.

“Proses pengusulan HTR ini sedikit berbeda dengan HTR umumnya didampingi NGO (lembaga swadaya masyarakat-red) karena memang persyaratan izin HTR cukup rumit,” kata Rudy Syaf, Direktur KKI Warsi.

Dia menyayangkan, kalau HTR dikelola dengan sistem investasi oleh perusahaan. “Sistem ini mendidik masyarakat malas karena seluruh proses mulai penanaman hingga panen dikerjakan perusahaan,” katanya seraya bilang, di tengah kondisi masyarakat memerlukan penghasilan lebih baik, sistem bagi hasil tak adil justru membuat kehidupan ekonomi makin sulit.

Rudy mengatakan, dengan hak pengelolaan HTR cukup panjang selama 35 tahun dapat mengakibatkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan.

Secara umum tutupan kawasan ini masih berhutan, sebagian semak belukar. Merujuk data pemantauan gajah Tim Mitigasi Konflik Gajah FZS 30% dari luas kawasan usulan HTR habitat gajah dan satwa kunci lain seperti harimau Sumatera.

“Jika satu kawasan habitat gajah meskipun telah menjelajah ke kawasan lain pada suatu saat pasti kembali ke habitat lama,” kata Mossbrucker. Menurut dia, kalau kawasan tetap beralih fungsi jadi HTR akasia dan eukaliptus, potensi konflik masyarakat dengan gajah akan meningkat.

Jika masyarakat tetap menggarap kawasan itu, katanya, potensi kerugian ekonomi akan meningkat karena risiko tanaman mereka dirusak makin besar. Sejalan dengan itu, katanya, risiko kematian gajah akan makin besar karena konflik.

Belajar dari pengalaman dari daerah lain di Jambi yang lebih dulu menerapkan kemitraan hutan tanaman industri dengan masyarakat, katanya, skema ini justru lebih banyak merugikan masyarakat.

Yayasan Keadilan Rakyat (YKR) mencatat, setidaknya ada 120 desa di Jambi berkonflik dengan perusahaan HTI. “Masyarakat yang mengelola HTI dengan sistem kemitraan hanya mendapat bagi hasil Rp17.500 per keluarga per ton per bulan” kata Musri Nauli, Direktur Yayasan Keadilan Rakyat. Dia mengambil contoh di Desa Senyerang, Tanjung Jabung Timur. Di sana, HTI kemitraan menghasilkan kayu 90-120 ton per tahun dan berjalan selama enam tahun.

Dari data Walhi Jambi di bursa komoditas perusahaan HTI menghargai satu ton kayu Rp180.000, kenyataan jauh berbeda.

“Masyarakat yang bermitra dengan perusahaan HTI hanya mendapat Rp10.000-Rp15.000 per ton dari kayu yang dihasilkan dari kebun mereka” kata Rudiansyah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi.

 

Keterangan foto utama:    Bangkin, gajah jinak yang membantu proses translokasi. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

Proses persiapan senjata bius gajah. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version