Mongabay.co.id

Break Free From Plastic: Paksa Perusahaan Ubah Produksi Sampah

Aliansi Break Free From Plastic (BFFP) yang terdiri dari lebih dari 1300 anggota jaringan mendiskusikan hasil audit merk (brand audit) dari sampah laut yang dikumpulkan tahun ini di 42 negara, 6 benua dari 239 kegiatan bersih-bersih pesisir laut dan darat. Lebih dari 187 ribu unit sampah plastik ini dipilah-pilah sesuai merek-nya.

Pengelolaan sampah plastik saat ini adalah dibakar, menggunung di TPA, atau berada di permukaan laut sampai melapuk. Bagaimana mendorong produsen untuk turut bertanggungjawab menanganinya?

Laporan ini mengutip produksi plastik global telah mencapai 320 juta metrik ton per tahun, jutaan ton polusi plastik masuk dan menyumbat sungai, lautan, dan tempat pembuangan sampah. Diperkirakan 8,3 miliar metrik ton plastik telah diproduksi sejak 1950-an, dan hanya 9% yang didaur ulang, 12% telah dibakar, dan sisanya sekitar 80% sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah, di lautan, atau sekitar kita.

baca :  Aliansi Global “Break Free From Plastic” Merilis Audit Merek Sampah

 

Foto drone menunjukkan relawan dan aktivis koalisi koalisi Break Free From Plastics membawa banner bertuliskan Cleanup Your Act!  dengan sebelas merek Fast Moving Consumer Goods (FMCG) terbesar di pantai Werdhapura, Sanur, Bali, Minggu (28/10/2018). Mereka mendesak perusahaan-perusahaan FMCG untuk berhenti memproduksi kemasan plastik sekali pakai. Foto : Mokhammad Ikhsan Fariz/Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Berikut wawancara dengan Von Hernandez, Koordinator Global #breakfreefromplastic dan Yuyun Ismawati pada akhir Oktober di Denpasar, Bali, agar perusahaan mau bertanggungjawab pada sampahnya yang mencemari laut.

 

Mongabay-Indonesia (M) : Banyak peraturan pemerintah tentang pengelolaan sampah, tapi tidak ada perubahan. Punya pengalaman terkait ini?

Von Hernandez (VH) : Di Filipina (negara asal Von) dan negara lain banyak institusi melarang plastik plastik sekali pakai seperti tas plastik atau styrofoam, tapi tidak diimplementasikan. Banyak alasan, harus ada kemampuan untuk menegakkan. Memastikan bisa diimplementasikan.

Di Filipina biaya lainnya adalah korupsi selain penegakan hukum. Ada sebuah kota di Filipina, Makati yang melarang styrofoam dan single use plastic termasuk di restoran, bagus sekali. Tapi di kota terdekat tidak melakukannya.

Kita perlu mendorong sistem secara nasional, implementasi secara nasional, kita bisa mempermudah warga dan perusahaan untuk untuk mengurangi plastik. Buat sistemnya.

Apa yang kita lihat sebagai contoh efektif adalah jika melakukan hal sederhana, misal di Afrika, Kenya yang melarang tas plastik tanpa pengecualian. Jika kamu dapat tas plastik di supermarket, pengecer, kamu harus bayar, pajak. Ini bisa lebih efektif mengurangi tas plastik.

baca juga :  Produsen Diminta Bertanggungjawab dengan Sampahnya. Kenapa?

 

Von Hernandez, Koordinator Global #breakfreefromplastic. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

M : Ada aliansi perusahaan untuk mengurangi sampah di laut yang buat komitmen dengan pemerintah Indonesia, dalam pengelolaan sampahnya misal botol plastik akan didaur ulang jadi baju. Apakah ini masuk akal dan bisa efektif mengurangi plastik?

VH : Mereka ingin menunjukkan bisa melakukan sesuatu dengan sampahnya. Ya kamu bisa konversi plastik menjadi baju atau jaket tapi itu tidak menjadi solusi sebenarnya. Memperpanjang usia sampahnya, jadi baju atau jaket bisa menghasilkan mikrofiber, saat dicuci bisa ke sungai, laut, dimakan ikan. Bisa menambah jejak mikroplastik. Jika mendaur ulang botol jadi baju mungkin mengurangi plastik tapi hanya sementara, tetap ada plastik yang akan kembali jadi polusi. Skema daur ulang tapi tak mampu menghilangkan plastik dalam jumlah banyak.

 

M : Aksi apa yang harus dilakukan perusahaan untuk mengurangi plastik?

VH : Seperti dalam pernyataan resmi kami, tidak ada perusahaan yang punya kemauan atau keberanian membuat rencana mengurangi atau investasi. Mereka masih produksi terus plastik, hanya buat recycle yang kecil tapi tidak cukup. Perlu resolusi mengurangi produksi.

Jika kita minta bayar untuk polusi mereka harus siap karena bertanggung jawab karena berdampak pada kesehatan, lingkungan, kehidupan laut. Publik harus bangun, menyadari fakta buruk polusi plastik.

menarik dibaca : Daur Ulang Sampah Tidak Cukup Melindungi Laut dari Pencemaran Plastik

 

Partisipan World Clean Up Day sekaligus gerakan #breakfreefromplastik bersama relawan Greenpeace mengumpulkan sampah plastik di Pantai Kuk Cituis, Tangerang Banten pada Jumat (15/9/2018). Foto : Greenpeace Indonesia/Mongabay Indonesia

 

M : Apa yang bisa dilakukan konsumen untuk mendorong perusahaan?

VH : Kamu punya kekuatan dan pilihan sebagai konsumen. Saat membeli produk harus meminta tak menyebabkan jejak polusi plastik. Misal dalam kemasan plastik atau multilayer. Kita perlu menggunakan kekuatan untuk memaksa perusahaan.

Sebagai warga kita bisa mengingatkan pengambil keputusan, pemerintah, agar perusahaan menjauh dari kemasan sekali pakai. Kita harus bergerak bersama, atau hanya menunggu waktu. Tak bisa pura-pura kondisi baik-baik saja. Situasi makin memburuk, polusi di mana-mana.

 

M : Bagaimana mewaspadai biaya tambahan dari perusahaan yang dibebankan ke konsumen?

VH : Mari kita hitung, misal 1 kg produk gula atau kopi dalam satu kemasan, dibandingkan dengan kopi sachet dalam satu single kemasan, harganya kan bisa lebih murah dalam kemasan besar. Warga bisa mendapatkan kopinya dengan lebih murah, mereka akan mencari itu.

Industri harus lebih pintar meyakinkan kita bahwa ini upaya untuk mengurangi masalah. Kalau tidak akan terus ada tambahan sampah.

 

M : Apa kita harus membayar lebih untuk kemasan yang lebih ramah lingkungan?

VH : Jika produsen pintar, dia membuat sistem isi ulang. Kita tak perlu membeli kemasan, hanya produknya. Kan bisa lebih murah. Bayangkan ke toko beli cuka, kamu gak perlu bayar kemasannya. Mereka menakutkan kita dengan harga kemasan lebih mahal. Kemasan plastik menggunakan energi kotor.

 

M : Bagaimana kita bisa mendorong produsen untuk tidak menambah biaya dengan alasan perubahan kemasan yang lebih ‘hijau’?

VH : Jangan beli . Tidak masuk akal harus bayar tambahan untuk kemasan. Faktanya tidak perlu ada biaya tambahan untuk kemasan, generasi ke depan apa yang kita ingin lihat, apa yang kita wariskan, mereka (produsen) harus bertanggungjawab. Ada biaya polusi, mereka harus bersihkan pantai, berdampak pada hasil laut, dan lainnya. Kita harus mengubah perilaku, mereka bisa mengubah budaya konsumen, mereka bisa kalau mau.

baca juga :  Darurat: Penanganan Sampah Plastik di Laut

 

relawan Greenpeace mengumpulkan dan memilah sampah berdasarkan merk untuk audit sampah dalam rangka acara World Clean Up Day dan International Coastal Clean Up Day di Pantai Kuk Cituis, Tangerang, Banten. Foto : Greenpeace Indonesia/Mongabay Indonesia

 

M : Bagaimana mendidik warga soal produksi plastik?

VH : Ini penting sekali, bagaimana plastik dibuat dan berubah bentuk, menghasilkan gas methan, sudah dibuktikan dengan penelitian. Kita harus bergerak, berubah. Ini kecanduan kita.

 

M : China menolak mix plastic waste dari negara-negara maju, apa yang akan terjadi?

VH : Akan ke Indonesia, negara lain, Malaysia Thailand, Vietnam, sudah menolak dan tidak mau lagi. Kamu harus tanya Yuyun apa yang terjadi di Indonesia.

 

Yuyun Ismawati, aktivis pendiri BaliFokus, salah satu jaringan gerakan global Break Free from Plastic dan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI).

M : Apa yang terjadi jika impor sampah plastik ini?

Yuyun Ismawati : Amerika Serikat dan Uni Eropa bawa sampah ke China. Begitu China tutup impor sampah, mereka mengirim ke negara tetangga China. Pendaur ulang Cina juga memindahkan pabrikanya ke negara lain, misal Malaysia, Indonesia. Malaysia kecewa menemukan plastik yang diimpor ditemukan di mana-mana, dan bertumpuk.

Di Indonesia banyak sekali di Jawa Timur, Jakarta. Menteri Perindustrian kewalahan karena ada banyak permintaan izin impor plastic scraps, tapi harus ada rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami mendorong KLHK menolak, dan katanya sudah minta jangan memberikan izin lagi.

Beberapa fasilitas hanya impor plastic scraps dari China lalu membersihkan dan memisahkan, kita ekspor lagi ke China, kita jadi penyedia tenaga kerja murah. Ini perbedaan cara menangani sampah plastik, dianggap peluang ekonomi karena ada kesempatan impor sampah.

Namun kini pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah membuat aturan mengelola sampahnya. Kini pemerintah lokal punya kewenangan untuk buat aksi misal melarang misal plastik sekali pakai, minta perusahaan fast food mengurangi sendok, sedotan sekali pakai, dan lainnya. EU (Uni Eropa) baru mengumumkan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai.

menarik dibaca :  Sampah Plastik Ada di Perairan Laut Sabang hingga Merauke, Bagaimana Sikap Pemerintah?

 

Partisipan World Clean Up Day bersama relawan Greenpeace mengumpulkan sampah plastik di Pantai Pandansari, Bantul, Yogyakarta, pada Jumat (15/9/2018) dalam gerakan Break Free From Plastic. Sampah itu kemudian dipilah dan diteliti mereknya. Foto : Greenpeace Indonesia/Mongabay Indonesia

 

***

Alinasi #breakfreefromplastic ini memaparkan laporan hasil audit, yaitu :

Sejumlah merk terbanyak yang ditemukan adalah Coca-Cola, PepsiCo, Nestlé, Danone, Mondelez International, Procter & Gamble, Unilever, Perfetti van Melle, Mars Incorporated, dan Colgate-Palmolive. Tiga teratas (Coca-Cola, PepsiCo, dan Nestlé) menyumbang 14% dari sampah plastik bermerek ditemukan di seluruh dunia.

Coca-Cola ditemukan di 40 dari 42 negara yang berpartisipasi. Lebih dari 75% dari 239 lokasi pembersihan yang berpartisipasi melaporkan menemukan produk bermerek Coca-Cola di sepanjang pantai, jalan, dan lainnya.

Selain merk-merk yang paling banyak ditemukan, banyak kemasan tanpa merek. Laporan ini memberi indikasi merek yang paling umum ditemukan di lokasi pembersihan. Tantangannya, banyak sekali merek berbeda walau perusahaan induknya sama. Walau tidak menunjukkan sampel yang representatif dari seluruh sampah atau kemasan plastik yang diproduksi di dunia, produsen diminta harus menunjukkan tanggungjawabnya.

Aliansi BFFP ini termsuk lembaga-lembaga dan komunitas jaringannya di Indonesia yang tergabung dalam AZWI menyampaikan rekomendasi agar produsen atau perusahaan melakukan langkah nyata. Sejumlah cara di antaranya mengurangi penggunaan dan penggunaan plastik sekali pakai dengan rencana aksi dan tenggat waktu yang jelas serta pelaporan secara transparan terkait penggunaan plastik produk mereka.

Kedua, berinvestasi dalam model pejualan dan distribusi, mendesain ulang untuk pengurangan plastik sekali pakai, kemasan sekali pakai, agar bisa digunakan kembali atau pengisian ulang.

Ketiga, mendesak ulang produk yang menimbulkan mikrplastik, termasuk microbeads, microfiber, dan lainnya yang sulit dikumpulkan saat jadi limbah. Keempat kerjasama dengan pengecer, pemerintah, dan lembaga masyarakat untuk solusi yang lebih berkelanjutan, misalnya aturan pengurangan plastik dan penggunaan berlebih.

Kelima, menolak solusi yang salah seperti pembakaran sampah dengan insinerator limbah, skema plastik ke bahan bakar, daur ulang bahan kimia, dan lainnya yang menimbulkan masalah baru. Lainnya, mencegah penggunaan bioplastik yang masih menggunakan bahan kimia dan berbahaya bagi lingkungan.

Dikutip dari World Economic Forum, 12 juta ton plastik kebanyakan sekali pakai masuk ke laut dari darat setiap tahun. Dengan produksi plastik diperkirakan akan meningkat sebesar 40% dalam satu dekade berikutnya, sehingga hampir tidak mungkin bagi pengelolaan limbah dan skema daur ulang bisa mengatasinya.

 

Exit mobile version