Mongabay.co.id

Limbah Minyak Goreng Teratasi, Mereka pun Panen Energi

Nelayan di Pelabuhan Paotere Makassar. Di kawasan ini, 33 kelompok nelayan menggunakan biodisel produksi GenOil. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Bagi orang lain, sisa minyak goreng atau jelantah, adalah limbah,  dibuang begitu saja. Bagi sekelompok anak muda yang kemudian menamakan diri GenOil ini, jelantah adalah berkah. Mereka ajak anak-anak muda preman dan siswa di sekolah mengumpulkan jelantah dan membelinya. GenOil jadikan jelantah energi terbarukan. Mereka pasok ke nelayan hingga beralih dari bahan bakar minyak ke biodiesel jelantah dengan harga lebih murah.

 

Pada 2014, kelompok anak muda riset mengenai limbah minyak goreng (jelantah) di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka menamakan diri GenOil. Mereka menemukan, 300.000 rumah tangga dengan minimal 250 ml minyak perhari setiap rumah, yang terbuang. Limbah minyak goreng itu mengendap di saluran air, got, dan masuk ke tanah. Akumulasinya, minyak sisa itu setiap hari sampai 60.000 liter.

Minyak jelantah jadi persoalan kompleks, acap kali tak diperhatikan warga. Di banyak tempat–seperti restoran cepat saji-minyak jelantah dicampur bersama bahan kimia agar beku hingga mudah dibuang. Di tempat pembuangan akhir, minyak beku terkena paparan matahari dan mencair.

Ada juga restoran yang dikelola perusahan hotel jadikan minyak sisa tak terbuang, melainkan dijual kembali. Melaui jaringan limbah itu jadi minyak kiloan, tersebar bahkan ke warung di pinggiran jalan Makassar.

Riset lain, kata GenOil, potensi cemaran lingkungan dan kesehatan dalam mengkonsumsi minyak tak sehat, jika ditambahkan dengan penggunaan 111 hotel, akan makin mencengangkan. Untuk sarapan, hotel menghasilkan 20 liter minyak bekas perhari. Kalau tambah pabrik mie dan restoran, estimasi mencapai 17 ton minyak setiap hari. “Ini soalan lingkungan sangat serius. Ironisnya, tak ada yang peduli,” kata Andi Hilmy Mutawakkil, Direktur GenOil.

Mereka belum menghitung beberapa pabrik lain, dan industri kuliner skala kecil di Makassar.

Berton-ton jelantah berubah menjadi minyak goreng curah. Bercampur H2O2 (Hydrogen peroxida) bahan kimia untuk membuat minyak kotor jadi pucat. Saat dipanaskan akan jernih. “H2O2 itu racun. Kami biasa menggunakan untuk bahan bakar roket cair. Minyak bekas pun sudah beracun. Jadi racun bercampur racun. Inilah yang banyak di konsumsi masyarakat,” katanya.

 

 

***

Hilmy adalah mahasiswa antropologi di Universitas Negeri Makassar. Dia pengagum ilmu pengetahuan dan dunia penelitian sejak SMA, bercita-cita membuat energi terbarukan. Menyodorkan inovasi pada Pemerintah Pangkep, tetapi ditolak. Meski begitu semangatnya tak pernah padam.

Sebelum GenOil riset serius, bersama Ahmad Sahwawi, kawan karib di Pangkep, dia menyisipkan uang jajan, untuk membeli perlengkapan. Mengakses jaringan internet di warung internet. Mengevaluasi dan mengkaji hingga larut malam. Saking fokusnya, sampai-sampai SMA Negeri I Bungoro, hampir mendepak dia keluar.

Hilmy dan Wawi, sapaan akrab Sahwawi, membuat Kelompok Remaja Ilmiah (KIR) di sekolah, tetapi tak pernah mendapat pengakuan.

Tak patah arang, KIR merekrut banyak anggota, hingga 20-an orang dengan jaringan lintas sekolah. Mereka membuat puluhan prototip roket. Bahkan mampu terbang mencapai 10 km. Penelitian lain, pembangkit listrik air, bioetanol, bahan bakar air, sistem aliran irigasi, peningkatan mutu tanah empang untuk budidaya ikan dan udang, hingga biodiesel.

Kepercayaan diri kelompok peneliti belia ini memuncak. “Impian kami ingin mengubah wajah Indonesia. Anak muda jadi pilar paling depan,” ucap Hilmy.

KIR nekat menemui Wakil Bupati Pangkep, Rahman Assegaf, membuat presentasi dan meminta pendanaan serta keterlibatan pemerintah mendukung upaya anak muda. Assegaf hanya meminta mereka sekolah dan cari beasiswa. Katanya, tidak perlu muluk-muluk membuat sesuatu.

 

Hilmy, menunjukan jelantah yang masih hitam dan produksi biodisel yang sudah jernih. Foto: dokumentasi GenOil

 

Tak pantang, percobaan terus dilakukan. Setelah roket, mereka mencoba membuat biodiesel dalam lab kimia sekolah. Hasilnya, jelantah mengeras jadi sabun. Berhari-hari selanjutnya, gagal, akhirnya berhasil.

Kelompok peneliti ini tamat SMA. Mimpi itu berlanjut ke Makassar. Perusahaan CV. IAR Jaya Persada dibangun. Tahun 2013, perusahaan ini memasukkan penawaran tender ke Pemerintah Pangkep soal perlakuan ramah lingkungan dalam budidaya perikanan. Perusahaan itu memproduksi prebiotik. Produk mereka membuat unsur tanah kembali kaya keragaman hayati yang diperlukan benih udang. Perusahaan ini mendapatkan keuntungan Rp100 juta.

Uang itu mengendap di rekening, mereka tabung untuk membuat usaha di Makassar. Mereka bikin warung kopi, sebelum tas Hilmy, kecurian di ATM. Uang, kamera dan laptop raib. “Hampir gila. Seperti selesai mi (kiamat) ini semua dunia.”

Dia jadi murung. Mengurung diri selama berhari-har. Kemudian dia mengikuti organisasi Himpunan Pengusaha Muda Perguruan Tinggi. Jejaring pertemanan dibangun. Dia mengenal banyak teman baru, bertemulah dengan Ozi (Achmad Fauzi Ashari) dari Universitas Hasanuddin.

Anak-anak muda ini berkumpul, dan menyatakan diri kumpulan super keren karena bergerak dalam bisnis energi. Parameternya, hanya segelintir orang yang memainkan peran di bisnis energi, dan semua sudah menua.

Krisis energi memaksa mereka memutar kepala. Demonstrasi, bagi mereka, adalah gaya lama untuk era 1998 – merujuk reformasi yang dilakukan oleh mahasiswa dengan aksi jalanan menumbangkan Soeharto. Sekarang anak muda harus memberi solusi.

Tiga orang itu, Ozi, Wawi, dan Hilmy, mendapatkan suntikan modal Rp3,5 juta. Di teras rumah Ozi, di perumahan dosen Universitas Hasanuddin Tamalanrea, mereka mengumpulkan jelantah 30 liter per hari dari penjual gorengan pinggir jalan.

Sebanyak 30 liter jelantah menghasilkan 30 liter biodiesel. Cara kerja sederhana. Singkatnya, jelantah disaring kasar, saring kembali dengan sangat halus pakai pompa. Kemudian menguji tingkat keasaman (kalau tinggi diturunkan sampai zat asam angka satu), lalu ditampung. Setelah itu panaskan dalam reaktor (alat proses–alat reaksi alat utamanya).

Kemudian minyak dipindahkan pada separator yang menghasilkan endapan biodiesel (90%) dan gliserol (10%) untuk dipisahkan. Selanjutnya diumpan ke evaporator untuk menghilangkan zat pengotor dan menstabilkan Ph. Selanjutnya, biodiesel siap ditampung atau dipakai pada mesin diesel.

Hasil sudah kelihatan, saatnya mematangkan niat membangun perusahaan lebih stabil. Embrio GenOil mulai terbentuk.

 

Bangun usaha energi terbarukan

Hitungan Hilmy jelas. Untuk membangun perusahaan biodiesel, perlu pabrik skala besar. Modal kerja hingga putaran uang harus bergerak cepat. Tahun 2014 itu, dia bergegas dengan sepeda motor ke Kantor BRI di Panakkukang, Makassar.

Di lantai dua bank itu, pejabat bank mendengar Hilmy presentasi mengenai rencana perusahaan. Prinsipnya, mereka sangat setuju. Bank meminta laporan keuangan konstan selama tiga bulan. Kendala lain menghambat. Dua syarat utama, minimal usia 21 tahun, dan harus sudah menikah, membuat nama mereka centang merah dalam daftar bantuan bank.

Hilmy, Ozi, dan Wawi, masih usia 19 tahun saat itu. Tak seorangpun sudah menikah. Akal lain berjalan, buat proposal, print dan kirim manual melalui pos. Semua kementerian terkait, perusahaan multinasional, sampai Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tak satupun proposal mendapatkan respon.

Ozi, punya dana taktis lain, membuat tiga orang ini menuju Jakarta. Targetnya, sepekan, molor dua pekan di Jakarta. Menumpang tidur pada keluarga Wawi di Jakarta Barat, mereka tidur pakai meja sekolah anak TK. Penjelajahan Jakarta, hasil nihil, namun membuka jaringan baru.

Di Makassar, hubungan antarperkawanan menciptakan jejaring dengan yang lain. Kekuatan bertambah, ada tiga orang bergabung. Perusahaan mendesak dibangun. Semua biaya ditekan. Seorang kawan memberikan modal awal Rp100 juta. Belum cukup. Tanah, motor, mobil, hingga laptop, masuk ke pegadaian guna mencukupkan dana Rp500 juta.

Maret 2015, perusahaan atas nama GenOil itu akhirnya berdiri dengan kantor pinjaman di Perumahan Departemen Agama Daya, Makassar. Kapasitas produksi pabrik 2.000 liter perhari namun realisasi awal hanya 500 liter, dengan mesin bangun mandiri.

Masalah baru muncul lagi. Harga minyak jatuh. GenOil kelimpungan. Harga bahan baku tak turun. “Sebelum kami lahir, sudah ada persaingan soal minyak. Ada banyak pemain minyak curah di Makassar,” kata Hilmy.

Di Kawasan Industri Makassar (Kima), estimasi penggunaan minyak diesel mencapai 1 juta liter perhari, GenOil hanya mampu 500 liter perhari. “Jadi kalau GenOil masuk, hanya setetes dari kebutuhan. Itu tidak berarti apa-apa. Itupun nda bisa masuk. Susah.”

 

Pabrik biodiesel GenOil. Foto: dokumentasi GenOil

 

Terbentur dan terbentuk

Akhirnya, GenOil memutar arah bisnis menuju kewirausahan sosial. Riset mereka menemukan ada keperluan mendasar nelayan yang tak pernah kelar mengenai kelangkaan bahan bakar minyak (BBM).

Di Pelabuhan Paotere, solar Rp10.000 per liter. GenOil datang membawa Rp5.500 per liter. Tak ada seorang nelayan yang percaya. Sebagai pemain baru, GenOil masuk sebagai teman, lakukan pendekatan dengan pemasok.

GenOil masuk jadi pemberi solusi bahan bakar yang minim kuantiti. Di Paotere, mobil Pertamina hanya bisa memasok 16 kiloliter subsidi, keperluan nelayan 30-40 kiloliter.

Untuk nelayan kapasitas mesin 2 GT, kisaran 100-200 liter perhari. GenOil melihat peluang itu dan harus meyakinkan nelayan tentang keamanan biodiesel. Bagi nelayan, bahan bakar berubah warna saja jadi persoalan. Selama ini, katanya, solar subsidi dari pemerintah kuning agak kebiru-biruan. Produk GenOil kuning murni.

GenOil memberi kepercayaan. “Pake dulu, kalau mesin kapal rusak akan diganti.” Nelayan menyambut baik.

Data BPS Indonesia 2003-2013, ada 1,6 juta nelayan, berkurang hingga 50%. GenOil menganggap alih nelayan itu karena akses bahan bakar sangat terbatas. “ Jika bahan bakar tak bisa ditangani dengan baik, saya kira di masa mendatang, nelayan Indonesia akan hilang.”

Kini, setiap hari GenOil membawa pasokan biodiesel ke nelayan Paotere, melayani sekitar 33 kelompok, antara 1.000-2.000 liter perhari.

 

Lebih hemat

Biodiesel selain ramah lingkungan, juga bahan bakar hemat biaya. Perbandingannya, jika pakai solar penuh, satu liter hanya menjangkau jarak 800 meter laut. Pakai biodiesel dicampur solar mampu satu km perliter.

Bagi anggota GenOil, jika menggunakan biodiesel penuh satu liter bahkan mampu mencapai jarak lebih dari satu km. Kini, GenOil sudah mampu produksi 1.300 liter perhari biodiesel. Nilai aset perusahaan sudah Rp1,3 miliar dan omzet Rp300 juta perbulan.

 

Akses kelompok rentan

Agustus 2015, ketika anggota GenOil memasuki Paotere, dan menyambangi kawasan itu tiga kali dalam sepekan. Bertemu banyak anak muda sebaya yang tak memiliki kegiatan. Salah satunya, Muhflihudin biasa disapa Adi.

Adi, bermukim di Daya. Dia jadikan Paotere sebagi tempat mencari aktualisasi diri. Dia dan 25 kawannya, anak muda bebas, dengan akses pendidikan minim. Mereka dalam bahasa awam dikenal sebagai preman.

Preman tentu saja memiliki stigma buruk di masyarakat, seperti, malas dan sampah masyarakat. Bak mencari manfaat dalam jelantah, GenOil juga menganggap, preman memiliki beberapa tipe khusus. Bagi Genoil, preman hanya kumpulan oarang yang tak memiliki akses ekonomi dan pendidikan dan tak berkegiatan.

Akhirnya, mereka mengumpulkan teman-teman Adi. “Rupanya mereka tak seorang pun yang benar-benar nakal. Teman-teman ini hanya menginginkan kegiatan dan pekerjaan. Lapangan kerja, tak mampu mereka akses,” kata Hilmy.

 

Produksi biodiesel GenOil. Foto: dokumentasi GenOil

 

Akhirnya, Adi cs jadi tim lapangan. Mereka memasok minyak jelantah. Bersama Dompet Duafa, GenOil memberikan modal kerja. pada setiap pembelian minyak jelantah setiap orang akan mendapatkan keuntungan Rp500-Rp1.000 perliter. Setiap orang, mendapatkan penghasilan hingga Rp2,5 Juta setiap bulan.

Tak sampai pada kelompok anak muda, GenOil pun memasuki unsur sekolah SD, SMP, dan SMA serta gerakan PKK.

Melalui Bripda Muhammad Ihsan Hakim, serang Babhin Kamtibnas Polsek Wajo, Makassar, GenOil menerobos memasuki dunia pendidikan.

Di SD Sangir, Jalan Sangir, GenOil menawarkan ide pemanfaatan jelantah, kepada anak didik agar meminta orangtua mereka tidak membuang sisa minyak goreng ke selokan dan jangan memakainya lagi.

“Minyak goreng sehat hanya bisa dipake dua kali, setelah itu sudah menimbulkan banyak penyakit.”

Pelan-pelan anak-anak didik, mulai membawa sisa jelantah ke sekolah, dari satu gelas, satu botol, dan ditampung dalam jerigen. Hasilnya, GenOil membeli jelantah itu Rp2.500 perkg dalam bentuk tabungan, yang kelak untuk kegiatan pendidikan lingkungan.

“Sekarang kita tahu, bagaimana jelantah itu merusak kita. Bagaimana mengganggu kesehatan. Kita tak pernah tahu bagaimana cara membuangnya,” kata Ihsan.

Hal sama dirasakan Roro Yuliana Radjab, dari Dharma Wanita Persatuan BMKG Sulawesi Selatan. “Teman-teman GenOil datang sebagai pembawa solusi. Selama ini, ada banyak ibu-ibu yang tak tahu bagaimana memperlakukan sisa minyak goreng,” katanya.

“Saya sendiri, misal membuangnya di tanah saja, rupanya itu juga keliru, karena bisa merusak tanah. Nah, sekarang kita tampung, nanti diambil GenOil. Sangat memudahkan kita dan berkontribusi penyelamatan lingkungan. Ini gerakan sangat baik,” katanya.

Inovasi lainnya, GenOil membentuk bank Jelantah. Di kawasan Rappocini, Racing, dan Antang limbah minyak di kumpulkan di setiap rumah tangga dalam jerigen lima liter. Dan di hargai sebesar Rp2.500. Tabungan kemasan Jelantah ini kelak dapat ditukarkan dengan minyak kemasan baru 220 ml.

Akses tiga wilayah ini, telah menjangkau 300 rumah tangga atau sekitar 900.000 liter setiap bulan. “Inilah yang kelak dalam target kami, untuk mengintegrasikan 300.000 rumah tangga di 6.000 RT di kota. Maka limbah minyak jelantah tidak akan menjadi soalan lingkungan lagi, dan lebih bermanfaat untuk nelayan,” kata Hilmy.

Bagi Hilmy, ini adalah gerakan awal. “Bayangkan estimasi awal minyak jelantah yang ada di Makassar saja mencapai 17 ton. GenOil hanya mampu mereplikasi ulang menjadi bahan bakar menjadi 2 ton, ada 15 ton yang lolos kembali menjadi minyak curah dan mencemari lingkungan kita,”katanya.

“Apakah ini tidak mengerikan? Lalu pertanyaannnya; kini Anda seharusnya menjadi bagian dari perubahan ini. Selamatkan lingkunganmu, jaga kesehatanmu, dan kita selesaikan soal kelangkaan bahan bakar. Potensinya ada di depan mata.”

 

Keterangan foto utama:      Nelayan di Pelabuhan Paotere Makassar. Di kawasan ini, 33 kelompok nelayan menggunakan biodisel produksi GenOil. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version