Mongabay.co.id

Abrasi Pantai dan Laut di Riau Bahayakan Keselamatan dan Sumber Hidup Warga (Bagian 1)

Pos rondah dan tiang listrik ambruk ke sungai terseret abrasi. Foto: Suryadi Mongabay Indonesia

 

 

Beberapa pemuda masih berkumpul di bangku tepi Jalan Jumpai, Lorong Perigi, RT 01 RW 02 Kelurahan Kuala Enok, Kecamatan Tanah Merah, Indragiri Hilir, Riau, jelang tengah malam. Lewat tengah malam, Rahma mendengar gemuruh. “Ada yang roboh,” begitu pikirannya kala itu.

Orang-orang sekitar langsung ke luar rumah. Ternyata, dermaga dan pos ronda ambruk ke sungai. Disusul sebagian badan jalan termasuk tiang listrik ikut terseret dalam lumpur. Percikan api sempat keluar dari kabel sebelum tiang itu benar-benar tumbang.

Haji Badak yang tinggal di Lorong Tengah pun terbangun karena dering ponsel menerima panggilan warga.

“Saya diminita menghubungi PLN memutus aliran listrik malam itu,” katanya.

Gelap gulita tiada penerangan. Arus surut air sungai pun menyeret tanah kolong rumah Azis Ali Hamid hingga merobohkan sebagian teras dan pagar. Tanaman hias ikut nyemplung ke sungai ketika air surut.

Setelah kejadian itu orang-orang tak dapat tidur. Mereka berjaga-jaga sampai matahari terbit. Jalan di depan rumah Azis, terputus. Rahma menghubungi abang kandungnya itu. Rumah mereka sebelahan.

Azis tak mendiami rumah itu beberapa tahun setelah pindah ke Pekanbaru. “Sekali sebulan ke sini juga meninjau. Bisnis saya di sini,” katanya.

Jelang siang itu juga, Azis minta tolong warga merobohkan seluruh teras rumah yang reot. Azis khawatir, kalau terus terseret arus akan menghantam rumah yang lain termasuk mesjid sebelah. Rumah Azis satu-satunya yang nahas malam itu. Abrasi di Sungai Perigi, mengikis tanah, dan merusak yang ada di atasnya.

Azis banyak kenangan di rumah yang dibangun 1979 itu. Bahan bangunan termasuk paling mewah dari kebanyakan rumah sekitar. Kayu-kayu dari Kabupaten Dabo Singkep, Kepulauan Riau, yang kala itu masih bagian Riau. Rumahnya juga beberapa kali renovasi tiang dan lantai.

“Istri saya di Pekanbaru, sempat nangis waktu diberitahu rumah ini akan diroboh,” katanya.

Niat Azis meroboh rumah sudah terbersit sejak tujuh tahun lalu. Mengingat, tiap tahun selalu ada rumah amblas di tepi Sungai Perigi. Bahkan, tiap tahun sampai 3 kali terjadi abrasi di Sungai Perigi.

Di depan rumah Azis sebenarnya ada beberapa lapis rumah penduduk. Karena terus dihantam abrasi, orang-orang meninggalkan kampung itu meski sebagian membangun kembali rumah di situ.

 

Rumah-rumah warga di Lorong Tengah. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Rahma bilang, mereka yang tetap tinggal di tepi sungai tak pernah jera dan merasa biasa dengan peristiwa itu. Mereka tak punya lahan atau tapak rumah baru untuk pindah dari sini.

Di Desa Tanjung Baru, sebelah Kelurahan Kuala Enok, selang beberapa bulan sebelum kejadian di Parit Perigi, malam itu, 20 rumah terkena abrasi sungai.

Usai kejadian, BPBD Indragiri Hilir, turut memindahkan masyarakat dengan membuat rumah baru jauh dari sungai. Masyarakat yang kehilangan rumah itu juga dapat bantuan pokok termasuk pakaian.

BPBD Indragiri Hilir, mengusulkan rehabilitasi rekonstruksi ke BNPB terhadap wilayah terdampak abrasi. Badan ini juga memetakan wilayah rawan abrasi, longsor dan banjir di Indragiri Hilir.

“Kami juga minta masyarakat tidak bangun rumah kembali di tepi sungai atau di tempat yang sudah terkena abrasi itu,” kata Annas, Sekretaris BPBD Indragiri Hilir.

Tinggal di tepi sungai pemandangan biasa di Kuala Enok. Selain mereka nelayan yang menambatkan perahu di belakang rumah, juga kebiasaan buang hajat langsung cemplung ke sungai. Sampah pun mereka buang di sungai. Tak ayal, kolong rumah mareka banyak sampah mengapung.

Sungai Perigi, pun kian lebar. Dulunya, parit kecil. Azis, waktu kecil sering melompat menyeberangi parit itu. Antarwarga seberang parit pun dulu masih saling bertegur sapa dari belakang rumah mereka.

Kini, untuk menghubungkan masyarakat antar seberang Sungai Perigi, dibuat jembatan beberapa kali juga putus karena tiang menggantung tak menjejak tanah lagi. Separuh jembatan itu beton, separuh lagi kayu karena sebagian sempat amblas.

“Sementara saja disambung dengan kayu. Ini satu-satunya menghubungkan Kelurahan Kuala Enok dan Desa Tanah Merah,” kata Saruji, kala menemani saya mendatangi lokasi abrasi.

Abrasi sungai di Kelurahan Kuala Enok, tidak hanya di Sungai Lorong Perigi. Dalam setahun kejadian berpindah-pindah.

Nadirah dan Mardiana, ibu dan anak pemilik kedai harian di tepi Sungai Enok, RT01/RW03 Lorong Tengah, merasakan betul musibah tahunan itu. Mereka sudah empat kali menggeser rumah karena terus dihantam abrasi sungai.

Sekarang rumah persis betul di tepi Sungai Enok. Sedikit lagi sungai akan menjilat tanah di bawah kolong rumahnya.

 

Daratan terus terkikis abrasi. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Awalnya, rumah Nadirah jauh ke tengah, sebelum Sungai Enok, selebar sekarang. Dia pun merasa terbiasa dengan abrasi yang disebut longsor itu.

Nadirah masih ingat pertama kali amblas 1957. Kala itu, dua hari lagi dia mau nikah. Saat para laki-laki Jumatan, toko Haji Tayeb amblas ke tanah diikuti beberapa toko di sekitar.

Rumah orangtua Nadirah belum di tepi sungai waktu itu. Setelah menikah, dia beli bekas tapak rumah Haji Tayeb yang pindah lepas kejadian longsor. Hingga kini, Nadirah yang tinggal dengan anaknya Mardiana, masih terus dihantui abrasi tiap pertengahan tahun dan akhir tahun.

“Ada tiga lorong pemukiman sudah hilang,” kata Mardiana.

Haji Badak, menyebut, sejak 1970, sampai sekarang sekitar 85 meter daratan Kuala Enok, telah terkikis arus. Sungai Enok juga makin lebar. Padahal, anak-anak seusianya dulu termasuk dia sering berenang ke kampung seberang. Sungai Rumah, namanya.

Salah satu bukti masih menandakan Sungai Enok makin melebar adalah Mesjid Nurul Jalal. Mesjid di atas air itu sudah dua kali tergeser karena tanah tak dapat menahan tiang lagi. Sekarang, mesjid itu persis paling menjorok ke sungai dibanding bangunan sekitar. Dulu, mesjid berada di tengah-tengah pemukiman dan pasar.

“Pedagang di sini shalat di mesjid itu,” kata Saruji.

Sekarang, Kelurahan Kuala Enok, makin sepi. Pedagang yang pernah membuka toko sepanjang bibir sungai pergi satu per satu. Kuala Enok, kata Badak, pernah disebut Singapura, kedua. Kawasan itu jadi pusat perdagangan segala jenis barang. Toko elektronik, toko pakaian dan dagangan sembako selalu dipadati siang dan malam. Barang selundupan dari Singapura, mampir di sini. Ia juga tempat persinggahan kapal-kapal.

Istilah Saruji, saking padatnya, orang lalu lalang saling besenggol bahu. Saruji juga pernah bawa barang dari Singapura. Badak hanya menggeleng kepala mengenang masa itu karena sudah 30 tahun jadi wali sebelum Kuala Enok jadi kelurahan. Badak menggantikan ayahnya sejak 1982-2012. Umurnya, masih 25 tahun saat jadi wali Kampung Enok.

Pedagang dari berbagai etnis seperti, Tionghoa, Bugis, Melayu dan Minang, adalah sumber perputaran uang di Kuala Enok pada masanya.

“Sekarang Kuala Enok, kacau. Pedagang meninggalkan kampung. Tiga industri pengolah kelapa gulung tikar. Perusahaan itu sempat mengekspor olahan kelapa sampai ke Eropa,” cerita Badak.

Upaya menahan tanah tak diseret arus sungai baru sebatas membangun turap sepanjang 30 meter di RT01/RW01. Sayangnya, sebagian turap itu runtuh dan terbenam.

Teuku Muhammad, Lurah Kuala Enok, menyebut, tanggul itu dibuat dengan menimbun batu-batu besar terlebih dahulu sebelum dibuat jalan. Ia tempat nelayan lalu lalang ke tangkahan sampan mereka. Rencananya, awal 2019 turap akan disambung 350 meter lagi dengan model pasak bumi. “Kemarin sudah ada peninjauan dari BNPB,” kata Muhammad, lurah juga mantri.

 

Jalan menuju pelabuhan dan Pasar Kuala Enok, amblas sedikit demi sedikit. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Abrasi serupa di Teluk Bibung

Abrasi juga mengikis ekonomi masyarakat Desa Teluk Nibung, Kecamatan Pulau Burung. Mongabay mendatangi tempat ini setelah satu hari bermalam di Kuala Enok.

Perjalanan ke Pulau Burung dari Kuala Enok, lebih kurang lima jam dengan speedboat dua mesin. Mengarungi laut, keluar-masuk sungai. Hampir maghrib tiba di Pulau Burung. Molor dari waktu biasanya.

Dari pelabuhan ke Teluk Nibung, lebih kurang 20 menit naik sepeda motor. Kiri kanan jalan terbentang kebun kelapa. Namun, berhektar-hektar kebun kelapa itu langganan terendam air laut. Ribuan kelapa jadi tak produktif. Buah kecil-kecil.

Kadir, warga Dusun Sungai Puntian, harus kehilangan 10 jalur atau sekitar tiga hektar kebun kelapa. Sebelum terendam air laut, kebun Kadir mampu menghasilkan ribuan butir kelapa tiap kali panen. Sekarang, kebun jadi lahan tidur. Tak pernah dirawat dan ditumbuhi semak belukar. Sebagian bahkan sudah lenyap jadi laut.

Padahal, Sucipto, Kades Teluk Nibung, masa kecil sering beli jagung dan tebu di kebun masyarakat yang kini jadi laut itu. “Jauh dari pantai tempat kita berdiri ini kebun masyarakat dulu. Ini bekas panggung festival musik pantai yang baru dibuat tiga bulan lalu sudah dikikis ombak.”

Mengantisipasi kebun makin terkikis ombak, dia sudah membuka kebun baru yang jauh ke darat.

Kadir mungkin sedikit beruntung dari Hasma, perempuan Kediri yang menetap di Sungai Puntian, setelah bersuami dengan pria setempat. Dia justru tak punya lahan pengganti tanam kelapa agar lebih produktif. Semua kebun kelapa di belakang rumah habis terendam air laut yang hanya beberapa meter lagi dari situ.

Katanya, air pasang setelah masuk seperti tak dapat keluar. Berminggu-minggu kadang merendam kebun. Istilah masyarakat, pasang 15 dan pasang 30. Air surut hanya sebentar. Setelah itu tinggi lagi.

 

Nursihan dan keluar tinggal di lahan yang tak produktif lagi karena kerap rob. Kebun kelapa pun tak berbuah lagi. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Mau tidak mau, Hasma tetap menjual kelapa yang tak pernah berbuah besar lagi. Sebutir kelapa di bawah delapan ons hanya dibayar perusahaan Rp250. Kalau lebih berat harga sampai Rp1.400 perbutir. Untuk menambah keperluan sehari-hari, suaminya jadi kuli bangunan.

“Mau ngutang di warung pun payah sekarang. Orang kedai lihat kita punya kebun atau tidak. Kalau pun ada, kelapa bagus atau tidak,” ucap Hasma.

Lain Hasma, lain Asma, anak Mainah yang tinggal persis di tepi Sungai Puntian. Asma sama sekali tak mengelola kebun milik orangtuanya lagi sampai ditumbuhi semak. Baginya, itu hal sia-sia. Tiap tahun kebun terendam air asin. Apalagi, kebun dan tempat tinggal Asma tepat di tepi Sungai Puntian yang meluap kala air pasang tiba karena tak jauh lagi dari laut. Kedai harian di muka rumahnya dirasa cukup menyambung hidup.

“Nanti nak dikapling-kapling saja kebun tu. Siapa mau beli kami jual,” katanya.

Nasib paling malang justru dirasakan Nursihan bersama istri beserta dua anaknya yang masih kecil. Tinggal sederet dengan Asma di bantaran Sungai Puntian, namun paling dekat laut, Nursihan hidup dalam rumah tanpa tetangga. Belakang rumah bekas kebun penuh semak. Beberapa pohon kelapa tanpa buah masih tampak.

Masyarakat sekitar dia sudah pindah dan menjauh dari laut yang kian hari makin dekat dan terus mengikis kebun. Nursihan tak punya pilihan dan terpaksa menetap meski tak ada satupun rumah lagi menemaninya. Dia tidak punya lahan atau sekadar bikin tapak rumah baru.

Kebun 24 baris 165 depa yang terendam air laut dibiar jadi semak. Biasanya, dari harta satu-satunya itu Nursihan dapat 6.000 butir kelapa sekali panen. Sekarang jadi pemandangan saban hari. Nursihan dan istri, kini menggarap kebun saudaranya yang jauh ke darat. Mereka bagi hasil.

Di sela-sela panen jelang dua atau tiga bulan, Nursihan mengolah pinang juga dari kebun saudaranya.

“Anak yang paling tua tahun ini akan masuk sekolah. Itulah yang dapat menghidupi keluarga ini,” kata Nursihan.

Lain hal di Sungai Nipah. Selain merendam kebun, abrasi sedikit lagi akan memutus akses masyarakat untuk lalu lalang ke ibu kota kecamatan. Gorong-gorong di bawah jembatan penyeberangan sungai pun putus dan berserakan.

Sungai Nipah, masuk dalam Dusun Sungai Perepat. Meski tak ada penduduk, kebun kelapa terbentang luas sepanjang kiri dan kanan jalan.

 

Kebun kelapa di Sungai Puntian kerap terendam air laut. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia

 

Tiap tahun daratan Teluk Nibung, terus kerkikis. Angin utara mengarah ke desa disertai hempasan ombak kuat mulai Desember sampai Maret. Selama satu minggu akan banjir pasang sampai merendam jalan desa.

Pemerintah desa berupaya membendung air laut. Membangun tanggul manual dengan menimbun tanah sampai ketinggian tiga meter. Tanggul banyak dibangun di Dusun Sungai Perepat dan Sungai Nipah. Tanggul sudah hampir membentengi seluruh bagian wilayah ini dari laut. Tetap ada yang jebol.

“Lumayanlah dapat sedikit menahan laju abrasi. Kalau tak, lapangan bola ini dah habis,” kata Ridwan, di sela-sela menyaksikan pertandingan sepak bola Teluk Nibung Cup.

Yang belum dapat dibendung sama sekali di Sungai Puntian. Baru beberapa meter dibuat tanggul manual sudah jebol. Tinggi tanggul makin berkurang.

Depan rumah Asma, dibuat tanggul untuk menahan air Sungai Puntian, meluap. Solusi itu belum mengatasi masalah. Bulan depan, Asma tetap harus siap-siap menghadapi banjir pasang.

“Harusnya laut di belakang ini yang dibendung,” katanya.

 

Kebun kelapa rusak

Ngadiyo, Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Perkebunan Indragiri Hilir, mengatakan, 1.000 dari 400.000 hektar luas kebun kelapa di Indragiri Hilir, rusak karena intrusi air laut. Dinas Perkebunan, sejak 2017, menyelamatkan kebun kelapa rusak dengan membangun tanggul manual, saluran drainase dan pintu keluar-masuk air sungai.

 

Masjid Nurul Jalal. Mesjid di atas air itu sudah dua kali tergeser karena tanah tak dapat menahan tiang lagi. Sekarang, mesjid itu persis paling menjorok ke sungai . Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Dinas Perkebunan mengalokasikan alat berat pada 18 kecamatan. Karena keterbatasan anggaran untuk program itu, hanya dua kecamatan lagi belum dapat bantuan serupa termasuk Pulau Burung. Sementara Pulau Burung, meminjam alat berat dari kecamatan yang sudah selesai melakukan pekerjaan.

“Kita upayakan merawat kembali kebun yang rusak. Tapi tak dapat mencari lahan pengganti untuk mereka,” ujar Ngadiyo.

Ngadiyo, minta peran masyarakat dengan gotong-royong membangun dan merawat tanggul yang sudah dibuat. Sebab, program Dinas Perkebunan ini memang sifatnya swakelola yang menuntut masyarakat berperan setelah dibantu pemerintah.

Zul Irma, Kabid Sumberdaya Air Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Indragiri Hilir, menyebut, mereka butuh bantuan dana dari pusat untuk bangun turap. Bukan tanggul manual. Ketersediaan dana pada APBD Indragiri Hilir dinilai tidak mencukupi untuk itu. Seluruh wilayah yang terletak di pesisir Indragiri Hilir rawan terkena abrasi dan longsor termasuk banjir.

Saat ini baru ada tanggul manual yang tidak mampu bertahan lama seperti yang terjadi di Teluk Nibung. Zul Irma, juga minta pada pihak kecamatan dan masyarakat setempat untuk sementara waktu merawat tanggul yang sudah dibuat. Di Kuala Enok, sedang dirancang turap dengan model tiang pancang yang akan dikerjakan pada 2019. Ini melihat struktur tanah yang mudah amblas.

“Bertahap. Semua wilayah minta dibikin turap. Tidak bisa sekaligus. Mudah-mudahan pusat cepat bantu. Tiap tahun selalu kita usulkan,” kata Zul Irma. (Bersambung)

 

Keterangan foto utama:    Pos rondah dan tiang listrik ambruk ke sungai terseret abrasi. Foto: Suryadi Mongabay Indonesia

Abrasi di Teluk Nibung. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version