Mongabay.co.id

Bentang Alam Rusak, Bela Diri Silat Terancam Kehilangan Guru. Maksudnya?

Harimau sumatera. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.com

 

Selama ratusan tahun, silat berkembang pesat di masyarakat Nusantara. Namun, seni bela diri ini, perlahan terancam kehilangan “gurunya.” Kenapa?

“Silat merupakan seni bela diri yang berguru kepada alam atau bentang alam tempat masyarakat hidup, seperti belajar dari harimau sumatera,” kata Dr. Yusril Katil, Direktur Festival Teater Silek Arts Festival 2018, di sela kegiatan yang berlangsung di Padang Panjang, Sumatera Barat, 19-22 November 2018.

“Saya setuju jika kerusakan bentang alam di Nusantara, seperti di Sumatera, membuat seni silat terancam kehilangan sumber pengetahuannya,” lanjutnya. “Jadi sudah menjadi tanggung jawab kita semua, bukan hanya para pegiat lingkungan hidup, termasuk para seniman silat, dan seni lainnya seperti teater, turut menjaga bentang alam dari kerusakan. Dengan begitu, seni silat dapat dikembangkan dan dilestarikan,” kata Katil.

Baca: Menjaga Kehidupan Harimau Sumatera Adalah Amanah

 

Awang 5334 Celcius oleh Teater Potlot yang ditampilkan dalam Festival Teater Silek Arts Festival 2018 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Awang, bentang alam menjadi pasar bukan lagi guru. Foto: Yudi Semai

 

Conie Sema, sutradara “Awang 5334 Celcius” yang ditampilkan Teater Potlot pada Selasa (20/11/2018), sebelumnya mengatakan jika bentang alam di Indonesia, khususnya di Sumatera, mengalami kerusakan atau tidak lagi terjaga, bukan tidak mungkin seni bela diri akan hilang atau jurus-jurusnya tidak akan berkembang.

“Seni bela diri silat itu, belajar dari berbagai gerakan atau jurus pertahanan hidup dari sejumlah flora dan fauna, seperti kepiting, burung, ayam, buaya, gajah, badak, hingga harimau. Termasuk pula dari tanaman melilit. Fakta hari ini, hutan di Sumatera mulai mengalami kerusakan, sehingga banyak satwa terancam punah karena kehilangan habitatnya. Para seniman silat pun mulai kesulitan belajar langsung dengan badak, gajah dan harimau,” kata Conie.

Di sisi lain, kata Conie, seni bela diri silat itu mengajarkan manusia untuk berpikir cerdas dan taktis dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. “Ternyata perubahan bentang alam membuat cara berpikir manusia Indonesia tidak seperti tercermin dari seni silat. Mereka memiliki reaksi seperti bela diri dari bangsa luar, yang lebih mementingkan perlawanan fisik seperti tinju, karate. Tak heran, aksi saling melempar batu atau bertarung langsung dengan senjata tajam atau senjata api terjadi di masyarakat Indonesia hari ini, seperti yang kami tampilkan dalam Awang 5334 Celcius,” jelas Conie.

Baca juga: Masyarakat Pendatang Cenderung Tidak Kenal Legenda Harimau Sumatera?

 

“Baromban dan Mitos Tambang” menceritakan dampak negatif kehidupan masyarakat di sekitar tambang. Foto: Yudhy Semai

 

Respon teater terhadap silat berdasarkan persoalan lingkungan hidup di Sumatera juga ditampilkan Indonesia Performance Sindycate yang menampilkan “Baromban dan Mitos Tambang”. Pertunjukan yang disutradarai Wendy HS ini menceritakan bagaimana dampak kehidupan masyarakat di sekitar tambang, yang hidup miskin dan kehilangan sumber kehidupan. “Seni silat tak mampu menjawab berbagai persoalan hidup, sebab yang rusak adalah gurunya atau bentang alam itu sendiri,” kata Wendy.

Lembaga Teater Selembayung menampilkan “Padang Perburuan”. Pertunjukan yang disutradarai Fedli Azis ini menceritakan dampak sosial dan budaya pembangunan PLTA Koto Panjang di Kampar, Riau, terhadap masyarakat di sekitar proyek. Silat yang mereka tunjukkan pada akhirnya menertawakan kemiskinan, kebodohan, ketakberdayaan yang mereka alami. “Alam dihancurkan, silat pun berhenti, sebab tak ada lagi hubungan antara manusia dengan alam yang melahirkan seni silat,” kata Fedli.

 

Awang memancing ikan di kanal-kanal yang mengeringkan masyarakatnya, bagian dari pertunjukan Awang 5334 Celcius oleh Teater Potlot. Foto: Yudhi Semai

 

Alam terkembang jadi batu dan pasar

Kebudayaan Minangkabau sangat arif dengan alam. Dasar nilai-nilainya tercermin dalam falsafah, “Alam takambang jadi guru” yang artinya “alam terkembang jagi guru”. Ini artinya manusia hidup, belajar dengan alam atau lingkungannya. Mereka mengikuti aturan alam sehingga hubungan manusia dengan alam menjadi harmonis, tidak saling menyakiti.

“Falsafah alam terkembang jadi guru ini sangat erat dengan dasar pemikiran Prasasti Talang Tuwo yang dibuat seorang Raja Sriwijaya. Intinya, alam bukan hanya untuk manusia, tapi untuk semua makhluk hidup,” kata Conie Sema dalam sebuah diskusi seni dan ekologi dengan sejumlah mahasiswa Institute Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Kamis (22/11/2018).

“Pertunjukan Awang 5334 Celcius ingin mengatakan, alam terkembang itu bukan lagi menjadi guru tapi sudah menjadi pasar. Semua demi kepentingan pasar, sehingga melupakan hubungan harmonis antara manusia dengan alam. Itulah kondisi Indonesia hari ini,” kata Conie.

 

“Antroprodipus” dimaknai bentuk dan unsur budaya berbagai bangsa di dunia, termasuk Indonesia, salah satunya dari seni silat. Foto: Yudhy Semai

 

Conie pun berharap para seniman yang akan dilahirkan di masa mendatang, khususnya dari perguruan tinggi seni seperti ISI Padang Panjang, akan memperjuangkan kembali alam menjadi guru bukan menjadi pasar. Sehingga, manusia dengan alam akan hidup harmonis hingga ratusan atau ribuan tahun mendatang.

Kegelisahan atas tergerusnya falsafah ini juga disampaikan Komunitas Seni Nan Tumpah yang menampilkan “Alam Takambang Jadi Batu”. Pertunjukan yang disutradarai Mahatma Muhammad ingin mengatakan pada saat ini peradaban luhur Minangkabau sudah menjadi batu, semuanya menjadi Malin Kundang.

 

Alam Takambang Jadi Batu oleh Komunitas Seni Nan Tumpah, mencoba menjelaskan kecemasan atas peradaban luhur Minangkabau yang menjadikan alam sebagai guru. Foto: Yudhi Semai

 

Sementara Teater Satu yang menampilkan “Antroprodipus” yang disutradarai Iswadi Pratama mengusung pemikiran kebudayaan bangsa kontinental melalui berbagai bentuk dan unsur budaya berbagai bangsa di dunia. Termasuk Indonesia, yang salah satunya dari seni silat. “Antroprodipus” merupakan adaptasi dari naskah klasik Yunani, “Oidipus di Colonus”.

Teater Payung Hitam mencoba membaca seni silat dari seni kuda lumping. Mereka mencoba menjauh dari bentang alam sebagai gurunya. Upaya pencapaian kekuatan spirit gerak silat dilakukan melalui tubuh transendental kuda lumping.

 

Foto utama: Harimau sumatera. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.com

 

 

Exit mobile version