Mongabay.co.id

Dari Kampung Kalaodi, Sultan Tidore Berjanji Jaga Lingkungan Maluku Utara

Indahnya Kampung Ekologi Kaladoi, berada di ketinggian dengan hutan terjaga. Foto: M Rahmat Ulhaz

 

 

Bunyi gendang dan tifa mengiringi soya-soya Kalaodi. Tarian menyambut para tamu sekaligus salam pembuka kepada tamu yang menyaksikan Festival Buku se Dou di Kalaodi, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.

Festival Kalaodi, bagian dari Pekan Pelestarian Lingkungan dan Pesisir Laut di Malut, sebagai rangkaian ulang tahun ke-38 Walhi. Selain Festival Kalaodi juga ada seminar lingkungan dan pulau- pulau kecil,   dan menanam 5.000 mangrove di   Guruapin Kayoa, Halmhera Selatan.

Dalam   festival ini warga Kalaodi menampilkan tarian seperti soya-soya Kalaodi, kabata marong (nyanyian saat membersihkan kebun), dan kabata moro-moro (nyanyian sambil menumbuk padi). Mereka juga memamerkan berbagai kerajinan dari bambu dan batok kelapa, hingga ragam makanan tradisional hasil kebun.

Samsudin Ali, Sekretaris Kampung Kalaodi    mengatakan, sebenarnya ada ritual paca goya (nyepi) orang Kalaodi yang dilakukan setiap tahun tetapi sudah lewat beberapa waktu lalu. “Paca goya itu penghargaan terhadap alam dan Tuhan atas rezeki kebun yang dipanen setahun lalu,” katanya.

Sedang makna kata buku se dou atau gunung dan lembah, merupakan cerita bagaimana memperlakukan gunung dan lembah dalam mendukung hidup manusia secara berkelanjutan.

 

Makanan bahan baku beras dan pisang ditampilkan dalam acara Festival Kalaodi. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Kampung di Puncak Tidore ini, diapit perbukitan hijau cengkih dan pala dengan udara begitu sejuk banjir warga dari berbagai penjuru Tidore. Mereka ingin melihat dari dekat tradisi yang masih terjaga ini. Gemuruh tifa, bunyi lesung,  moro-moro, dan kabata  bergema memecah pagi di kampung yang berada sekitar 900 mdpl ini.

Buku se dou, katanya, ritual adat dan budaya masyarakat Kalaodi yang berkaitan erat dengan ajakan menjaga alam,” kata Abdurahman, tokoh masyarakat Kalaodi. Apa yang disampaikan ini setali tiga uang dengan kehidupan masyarakat yang bermukim di bukit dan lereng hutan lindung Tagafura ini. Daerah itu terjaga, hutan tetap lestari.

Festival Kalaodi dihadiri Sultan Tidore H Husain Syah; Aryo Hanggono Staf Ahli Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut; Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional bersama direktur-direktur Walhi daerah di Indonesia serta Pemerintah Tidore.

Ismet Soelaiman, Direktur Eksekutif Walhi Maluku Utara, mengatakan, memilih pekan lingkungan di Kalaodi karena ini kampung ekologi, pelindung Tidore. Sebagian warga percaya Kalaodi merupakan wilayah penjaga mereka. Mereka masih kuat pegang tradisi.

Pala, cengkih, kenari, kayu manis, durian, pinang dan bambu, antara lain sumber pencaharian warga, selain sayur mayur seperti tomat, cabai, sayur-mayur, dan rempah-rempah. Tanaman ini berdampingan dengan hutan alam di sekitar perkampungan.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, mengatakan, banyak pelajaran bisa diambil dari warga. “Mereka memiliki pengetahuan jauh lebih banyak dari pada apa yang dipelajari di sekolah.”

Pengetahuan di masyarakat, katanya, jauh lebih bernilai dan harus dilestarikan untuk generasi mendatang.

 

Tradisi Kabata Dutu. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Janji Sultan Tidore

Sultan Tidore H Husain Syah yang hari pada acara itu berjanji menjadi garda terdepan menjaga alam dan pulau-pulau di Maluku Utara.

Dia bilang, pernah menyampaikan soal keberatan warga dan alam Maluku Utara jadi korban tambang ke Menteri Maritim, Luhut B Pandjaitan. Dia bilang, saat peresmian smelter nikel di Leleilef , Halmahera, dia minta kesempatan berbicara dan menyampaikan masyarakat Maluku Utara trauma luar biasa gara-gara tambang.

Pertambangan masuk Pulau Gebe, katanya, hampir 40 tahun begitu juga tambang nikel di Halmahera Timur. Tambang-tambang ini, katanya, ternyata tak memberikan manfaat bagi warga bahkan kepedihan luar biasa.

Ada 14 warga adat dipenjara lantaran tolak tambang di Pulau Gebe. Sultan pun berjanji , tak akan membiarkan kasus seperti ini terulang. “Jika ada lagi seperti itu maka jasad saya sebagai sultan bergelimpangan di atas persada Maluku Utara. Atau mungkin saya siap dipenjara jika ada warga yang jadi korban,” katanya.

Selain bicara trauma tambang, Sultan juga mengingatkan agar bersama menjaga dan melestarikan lingkungan.

“Tidak bisa sendiri mendorong karena beban terlalu berat. Ini mesti jadi tanggung jawab bersama. Ruh kerja-kerja menjaga lingkungan oleh warga Kalaodi, adalah spirit Sultan Nuku dahulu.”

 

Cengkih berjemur sepanjang jalan…Foto: M Rahmat Ulhaz

 

Sultan Nuku, katanya, tak hanya pahlawan di medan perang juga bidang lingkungan. Dia lama berdiri mengatur ekosistem ini seimbang, termasuk hasil bumi di bawah kekuasannya medapatkan harga pantas dan layak. Dia bilang, tak boleh ada dominasi penguasaan hasil- hasil alam dan bumi.

“Saat menjalin hubungan dagang dengan bangsa asing di zaman itu, Sultan Nuku meminta tak hanya mengunutungkan satu pihak. Warga juga mendapatkan untung sama bahkan orang tempatan harus mendapatkan keuntungan lebih.”

Berbeda dengan sekarang, dominasi korporasi hanya menguntungkan investor, sedangkan warga sebagai pemilik negeri itu tak mendapatkan apa –apa. “Yang untung orang luar.”

Sultan memberi contoh saat dibangun jalur rempah oleh kolonial, Sultan Nuku membuat jalur sendiri yang berisiko. “Hanya petarunglah yang bisa melewati jalur ini. Dia berdiri membangun satu jalur yang namanya jalur sosolat,” cerita Sultan.

Jalur inilah yang mengantarkan orang Tidore dan Maluku Utara sejajar di bidang perdagangan di masa keemasan Nuku.

“Bagi saya, gen warga Kalaodi dan kita semua adalah penjaga lingkungan karena itu tidak salah Kalaodi jadi kampung binaan lingkungn hidup.”

 

Keterangan foto utama:   Indahnya Kampung Ekologi Kalaodi, berada di ketinggian dengan hutan terjaga. Foto: M Rahmat Ulhaz

Barang kerajinan dari batok kelapa yang dipamerkan dalam Festival Kalaodi. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version