Mongabay.co.id

Kerusakan Terumbu Karang di Indonesia Dipicu Dampak Perubahan Iklim?

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengonfirmasi tentang kerusakan terumbu karang di perairan Indonesia selama ini. Selain karena faktor perubahan iklim, kerusakan terumbu karang terjadi karena di Indonesia berlangsung aktivitas penangkapan ikan dengan cara merusak (destruktif). Perilaku tersebut, mengakibatkan terumbu karang mengalami kerusakan dengan sangat cepat.

Pakar terumbu karang dari Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Suharsono, di Jakarta, Rabu (28/11/2018) menjelaskan, kerusakan terumbu karang menjadi ancaman paling serius karena itu akan memengaruhi ekosistem laut secara keseluruhan. Di antara ancaman itu, dampak perubahan iklim menjadi paling dominan karena akan memicu pemutihan karang.

“Pemutihan di Indonesia sudah terjadi empat kali. Dan, paling besar dampaknya terjadi pada 2016 lalu. Dengan kondisi sekarang, dampak perubahan iklim akan berpotensi mempercepat pemutihan pada karang,” ucapnya.

Adapun, pemutihan karang yang pertama terjadi berlangsung pada Mei hingga Juli 1983, di mana saat itu terjadi kematian karang hingga 90 persen dari total tutupan karang yang ada di perairan Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa, Bali, dan Lombok. Kemudian, kedua terjadi November 1997 hingga Februari 1998, di mana tingkat kematian karang mencapai 80 persen.

baca :  Menguak Ketangguhan Terumbu Karang Dari Perubahan Iklim

 

Panorama keindahan bawah laut di Pulau Pramuka wilayah Kabupaten Administrasi Pulau Seribu, Kepulauan Seribu, Kamis (14/3/2018). Disisi lain sebagian besar terumbu karang sudah mengalami kerusakan pemutihan atau coral bleaching. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pada peristiwa kedua itu, tutupan karang yang mengalami kematian ada di perairan Sumatera, Laut Cina Selatan, Jawa, Bali, dan Lombok. Kemudian, yang ketiga, terjadi pada April hingga Juni 2010, di mana saat itu tingkat kematian karang mencapai 30 persen dari total tutupan karang yang ada di perairan utara dan barat Sumatera, Bali, Lombok, dan Wakatobi.

Terakhir, pemutihan karang terjadi pada Maret hingga Juni 2016, di mana saat itu tingkat kematian karang mencapai 30 hingga 90 persen dengan area cakupan ada di perairan Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, selatan Jawa, barat Sumatera, utara Bali, Lombok, Karimun Jawa, dan Selayar.

Menurut Suharsono, pemutihan karang menjadi ancaman paling serius, karena itu tidak bisa dicegah oleh manusia dan dampaknya akan terus terjadi sampai kapanpun. Pada kondisi sekarang, pemutihan karang juga terjadi semakin cepat dan itu menyebabkan proses pemulihan karang menjadi terganggu. Apalagi, jika kondisi perairan tempat karang tersebut, kondisinya sudah tidak sehat.

 

Pemutihan Karang

Suharsono mengatakan, pemutihan paling cepat terjadi di kawasan perairan Barat pulau Sumatera. Di sana, pemutihan terjadi begitu cepat dengan proses pemulihan yang sangat lambat. Kondisi itu, mengancam kematian pada ekosistem terumbu karang di perairan tersebut. Kata dia, kondisi itu berbeda jauh dengan kawasan perairan di Timur Indonesia, di mana pemutihan masih sedikit terjadi.

“Kalaupun ada karang yang terkena pemutihan, proses pemulihannya tidak selambat di Barat Indonesia. Itu bisa terjadi, karena kondisi perairan di Timur masih jauh lebih sehat. Jadi, dengan dibiarkan pun, itu akan pulih sendiri,” jelasnya.

baca juga : UNEP Report: Potensi Investasi Miliaran USD di Segitiga Terumbu Karang Indonesia

 

Karang Acropora sp (kiri) dalam hamparan luas dan Porites sp (kanan) sedang megalami pemutihan karang (coral bleaching). Foto: Ofri Johan/Mongabay Indonesia

 

Suharsono menambahkan, ancaman pemutihan karang sebagai faktor paling besar yang merusak ekosistem terumbu karang, tidak lain karena saat ini peristiwa tersebut semakin cepat datang dibandingkan beberapa dekade sebelumnya. Saat ini, frekuensi pemutihan karang bisa terjadi dengan selang waktu hanya enam tahun sekali.

“Dulu, pemutihan karang terjadi dengan selang waktu 14 tahun sekali, dan kemudian merapat menjadi 12 tahun sekali. Kini, jadi enam tahun sekali,” tuturnya.

Selain pemutihan karang, Suharsono menyebutkan, kerusakan terumbu karang di Indonesia juga terjadi karena aktivitas penangkapan ikan destruktif melalui penggunaan bahan peledak seperti bom. Dia mencontohkan, melalui uji penelitian di perairan sekitar Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, dari dua kilogram bom ikan yang dipakai, ternyata mampu menghancurkan terumbu karang seluas 19,6 meter persegi.

“Sementara, bom ikan seberat satu kilogram, itu bisa merusak terumbu karang seluas 4,9 meter persegi. Aktivitas seperti itu, hingga saat ini masih terjadi, terutama di perairan sekitar pulau-pulau kecil, yang masih jauh dari jangkauan pengawasan Pemerintah Indonesia,” ungkapnya.

Besarnya dampak yang ditimbulkan dari bom ikan, menurut Suharsono, bisa dibuktikan dengan melihat ikan yang mati terkena dampak aktivitas tersebut. Ikan-ikan yang mati, tulangnya akan hancur, dan itu membuat proses pembusukan menjadi lebih cepat. Selain itu, bom juga akan mematikan telur dan larva ikan yang ada.

“Telur tidak akan pernah menetas. Jadi, jangan harap ikan akan ada lagi, jika penangkapan destruktif terus terjadi. Jika diasumsikan, satu kali aktivitas bisa melepaskan 100 bom ikan, maka kerusakan bisa meluas sampai 1.960 meter persegi terumbu karang,” tandasnya.

Dengan kerusakan terumbu karang, Suharsono menegaskan, pemulihan ekosistem di sekitar terumbu karang juga menjadi sulit terjadi dan itu akan memengaruhi ekosistem laut secara keseluruhan. Kalaupun kondisi perairan masih sehat, pemulihan terumbu karang pun dipastikan tidak akan seperti semula dan dengan waktu yang cukup lama.

menarik dibaca : Mungkinkah Terumbu Karang Diasuransikan?

 

Kondisi terumbu karang yang memutih (coral bleaching) di perairan Pemutaren, Bali Utara, pada 2015. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Aktivitas Perdagangan

Kepala P2O Dirhamsyah menambahkan, dengan fakta yang dibeberkan oleh Suharsono, kerusakan terumbu karang yang terjadi di Indonesia tidak disebabkan oleh aktivitas perdagangan. Ucapan dia tersebut menyinggung tentang larangan ekspor karang hidup dari Indonesia karena tidak adanya izin health certification (HC) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Izin tersebut, menjadi syarat untuk mendapatkan izin ekspor dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Jadi, tidak benar kalau terumbu karang rusak karena perdagangan. Lagipula, karang masih bisa dimanfaatkan untuk perdagangan, selama itu dibatasi dari alam. Jadi, kalau yang dijual dari hasil budidaya transplantasi, itu masih boleh saja,” tegasnya.

Sementara, peneliti terumbu karang P2O LIPI Giyanto mengungkapkan, fenomena pemutihan karang yang terjadi di perairan Indonesia selama 2016, bisa terjadi karena adanya peningkatan temperatur air laut dan memicu kematian pada karang. Fakta itu didapatkan setelah dilakukan pemantauan melalui citra satelit di pulau Sumatera dan Sulawesi.

“Namun, fenomena tersebut tidak terjadi di Indonesia saja, tapi juga di belahan dunia lain seperti Australia. Di sana, kawasan perairan Great Barrier Reef juga terkena pemutihan karang. Kemudian, perairan di wilayah tropis Jepang, Okinawa, pemutihan karang juga terjadi,” paparnya.

baca : Benarkah Kehadiran CTI Belum Maksimal dalam Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia?

 

Karang Acropora sp (kiri) dalam hamparan luas dan Porites sp (kanan) sedang megalami pemutihan karang (coral bleaching). Foto: Ofri Johan/Mongabay Indonesia

 

Pada kesempatan yang sama, LIPI merilis status terumbu karang 2018 yang meliputi 2,5 juta hektare di seluruh perairan Indonesia. Dari luasan tersebut, LIPI mencatat terumbu karang ada 1.067 site yang dipantau. Dari jumlah tersebut, sebanyak 386 site atau 36,18 persen kategori jelek, 366 site atau 34,3 persen kategori cukup, 245 site kategori baik atau 22,96 persen dan 70 site kategori sangat baik.

Data tersebut, menurut Dirhamsyah, menjadi rutinitas yang harus disampaikan oleh LIPI sejak 2013. Rutinitas itu berkaitan dengan status LIPI sebagai walidata untuk terumbu karang dan padang lamun yang ditunjuk langsung oleh Badan Informasi Spasial (BIG).

Dirhamsyah menjelaskan, data untuk menentukan status terumbu karang 2018, didapat dari hasil penelitian dan pemantauan yang dilakukan secara kontinu dalam waktu 25 tahun terakhir. Dia menyebut, untuk status tersebut ditentukan melalui metode yang bisa dibuktikan secara baik. Adapun, untuk status sangat baik, itu adalah terumbu karang dengan tutupan mencapai 76-100 persen.

“Kemudian, status baik adalah terumbu karang dengan tutupan antara 51 hingga 75 persen, status cukup adalah terumbu karang dengan tutupan antara 26 hingga 50 persen, status dan jelek adalah terumbu karang dengan tutupan antara 0-25 persen,” pungkasnya.

 

Exit mobile version