Mongabay.co.id

Kasepuhan Karang: Mereka yang Kini Berdaulat atas Tanahnya

Hutan Ini Bukan Lagi Hutan Negara.” Tulisan di papan itu tampak sebelum memasuki Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Karang, Kabupaten Lebak, Banten. Tulisan itu seolah tak hanya jadi penanda, tetapi sekaligus bukti perjuangan dan jati diri warga Karang.

Hal itu diamini oleh Salim, seorang warga Kampung Cibangkala, Desa Jaga Raksa yang masih teguh memelihara adat Kasepuhan Karang. Setelah lebih 15 tahun berjuang atas aturan negara yang mendeskreditkan warga, kini dia merasa merdeka seutuhnya.

Dulu katanya masyarakat selalu was-was. Bahkan saat membawa hasil bumi harus sembunyi-sembunyi. Tak urung diminta “upeti” oleh mantri hutan. Pernah pula dikriminalisasi oleh aparat. Puluhan tahun mereka tak berdaulat atas tanahnya.

Sekarang dia bersyukur, sejak hutan adat Kasepuhan Karang diakui pada akhir tahun 2016. Sebuah  penantian panjang yang melelahkan telah terlalui.

“Selama saya hidup, ada namanya hutan (adat) yang diwariskan turun temurun, dikelola aturan adat,” ujarnya. Bagi Salim dan masyarakat adat Karang, Hutan adalah segalanya. Penghidupan mereka tergantung seutuhnya pada kebaikan jasa hutan.

 

Salim, seorang warga yang memegang risalah tanah adat. Pengakuan hak komunal atas tanah adat membuat perubahan di Karang. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia-INFIS

 

Ketika masa penjajahan Belanda (1924-1934), wilayah mereka yang masuk lansekap Hutan Halimun Salak ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Pada tahun 1963, kawasan ini berubah fungsi menjadi cagar alam, lalu pada tahun 1978 berubah menjadi hutan produksi di bawah pengelolaan Perhutani Unit III.

Saat era Perhutani, kata Salim, masyarakat masih ada kelonggaran dalam hal menggarap lahan. Akan tetapi, masih ada batasan terkait tata cara penanaman, semisal, jenis tumbuhan ataupun tanaman.

Tahun 2003, area ini masuk perluasan area konservasi di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS). Sejak itu, mulai timbul dampak sosial. Masyarakat mulai khawatir masuk hutan untuk merawat tanaman buah dan kopi maupun sawah.

“Katanya aturan berubah dan tidak boleh ada garapan,” ujarnya.

Sekarang semua berubah. Berkat upaya teguh para kokolot dan pemuda Kasepuhan Karang, kini mereka memiliki wilayah adat seluas 486 hektar. Terdiri dari 462 hektar wilayah TNGHS dan 24 hektar berada di areal penggunaan lain (APL). Sejak pengakuan itu, masyarakat Kasepuhan Karang bergeliat. Tak ada rasa takut mengelola sawah maupun kebun yang berada di hutan adat.

Di rumahnya yang hampir seutuhnya terbuat dari kayu, Salim menunjukkan surat risalah tanah adat.

“[Sekarang] lebih tenang dan bahagia.” Baginya, surat itu anugerah tak terkira.

 

Dua pemuda adat dalam busana tradisional Kasepuhan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia-INFIS

 

Membangun Desa

Pengakuan hutan adat di Kasepuhan Karang juga memberi jaminan masa depan cerah bagi pemuda adat. Engkos Kosasih salah satunya. Dia selalu tersenyum ketika ditanya ihwal perasaanya sesudah dua tahun mendapat pengakuan negara.

“Kami sudah memiliki kejelasan sekarang. Sehingga mudah untuk memulai rencana 5 atau 10 tahun kedepan,” jelas Engkos.

Engkos dan para pemuda berencana menumbuhkan ekowisata, pertanian dan perkebunan di desanya. Dia menegaskan, akan tetap mengetengahkan kearifan lokal sebagai pijakan. Hal ini penting sebagai wujud eksistensi dan jati diri sebagai masyarakat adat.

Menurutnya, stigma terbelakang kerap muncul jika menyebut masyarakat adat. Menurut data Rimbawan Muda Indonesia (RMI) 2016, tingkat pendidikan pemuda setempat rendah. Sekitar 65 persen dari total penduduk Desa Jagaraksa hanya tamat Sekolah Dasar. Hanya 23 persen selesai wajib belajar 9 tahun. Delapan puluh persen penduduk bekerja sebagai petani atau buruh.

 

Seorang nenek sedang membersihkan hasil panen padi di Kasepuhan Karang. Beras adalah bahan pokok d sini. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia-INFIS

 

“Dulu, pemuda adat dicap terbelakang. Banyak dari kami akhirnya pergi ke luar karena tidak memiliki pekerjaan tetap,” papar Engkos, dia sendiri lulusan sekolah menengah atas.

Satu tahun Engkos bertahan di perantauan Ibu Kota Jakarta. Pergi dari desa ke kota ternyata tak menjamin dia bisa sejahtera. Dia lalu memutuskan pulang dengan membawa bekal pengalaman.

“Jalan yang benar ternyata membangun desa sendiri. Setelah penetapan, Jaro (penanggung jawab adat) berkeinginan mewujudkan ekowisata sebagai pekerjaan tetap bagi pemuda di desa,” terang dia.

Perlahan ekowisata tumbuh di Kasepuhan Karang. Engkos dan para pemuda mengelola Ekowisata Meranti yang menawarkan kesejukan alam Kasepuhan Karang. Salah satunya pesona meranti merah (Shorean leprosula) yang indah berjajar di antara rimbunnya Hutan Adat.

Dalam mengembangkan ekowisata, Engkos dan sepuluh pemuda adat menerapkan konsep perpaduan antara identitas kasepuhan dengan zaman milenial. Konsep itu terhitung berhasil. Dari ekowisata, kini tiap pemuda dapat meraup Rp300-500 ribu setiap bulan.

“Kami ingin membuat percontohan terlebih dulu. Setelah dirasa memiliki konsep yang baik, kami akan menggali potensi lain,” ujar Engkos.

Potensi lain yang dimaksud adalah pertanian dan perkebunan. Engkos menjelaskan, hutan adat dibagi jadi wilayah Tutupan dan Titipan yang disebut dalam bahasa lokal tatali paranti karuhun (kearifan lokal).

Hutan titipan seluas 96 hektar di wilayah Gunung Haruman yang secara adat boleh dimasuki dan dimanfaatkan. Sementara sisanya adalah wilayah hutan tutupan seluas 389,207 hektar yang tidak boleh diolah maupun digarap.

Skema menjaga hutan tersebut, selama bergenerasi menurutnya telah dilakukan.

Kini, para pemuda tengah disibukan dengan persiapan panen kopi. Tidak hanya merawat, mereka juga belajar pengolahan kopi mulai dari hulu hingga hilir. Berlabel Kobaki (Kopi Banten Kidul), pemuda adat Kasepuhan Karang berharap siapa saja yang menyuruput citra rasa secangkir kopi, dapat merasakan kenikmatan harmonisasi antara alam dan manusia.

 

Ekowisata yang mulai bergeliat di Kasepuhan Karang yang dilakukan oleh para pemuda adat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia-INFIS

 

Tak hanya bergantung pada tutur leluhur, sejalan dengan modernisasi ala milenial para pemuda ini pun tak lepas dari informasi modern.

Engkos Kosasih, rutin mengedukasi warga adat melalui media audio visual. Dia ingin masyarakat adat tak terbelakang. Kerap berkeliling kampung seminggu sekali, ia menyosialisasikan perkembangan informasi.

“Karena zaman semakin maju. Sehingga warga juga perlu tahu apa perkembangan, khususnya teknologi. Namun, dengan catatan tanpa mengenyampingkan tradisi yang sudah ada,” tuturnya.

Malam itu, mereka menyimak cara pertanian modern. Sejumlah orang asyik di hadapan laptop, menonton video edukasi soal teknis penanaman dan metode pertanian.

Tah kitu cara melak teh mang. Anyar deui wae. Boa ngaruh kana buahna meruen matak leubeut jigana (Tuh begitu cara menanam mang. Baru lagi. Kayanya berpengaruh sekali agar buah melimpah),” celetuk Odot, seorang pemuda adat.

Hampir 45 menit, Odot dan warga lain menyimak informasi cara bertani. Sekalipun disajikan dalam Bahasa Indonesia, mereka mencoba menyelami kata demi kata yang membedah pertanian modern itu.

Tak lama, ponsel Engkos berdering. Panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Sejenak, dia bergegas menempi dari kerumunan dan tak lama kemudian kembali.

“Tadi ada telepon dari orang Dinas Pertanian Lebak. Mereka bilang, besok akan lakukan penyuluhan. Saya harap bapak-bapak ada waktu untuk hadir,” ujar dia menyudahi kegiatan malam itu.

 

Memberi Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat adat tumbuh, ketika percepatan hutan adat seperti yang dijanjikan Presiden Joko Widodo didorong. Di penghujung tahun 2016, Presiden menyerahkan langsung hutan adat seluas 13.122,3 hektar kepada perwakilan 9 masyarakat adat.

Seiring target Nawa Cita pengakuan aset hutan adat didorong dalam skema perhutanan sosial. Pengakuan ini seolah mengoreksi pengalaman pahit masa lalu, saat dimana masyarakat adat selalu menempati posisi termajinalkan. Bahkan kerap dikriminalisasi dan dipidanakan.

Di sisi lain, pengakuan berbuah kepercayaan kepada masyarakat adat untuk mengelola hutan. Di Kabupaten Lebak, Banten, -tempat hidup warga Kasepuhan Karang berada, mereka melengkapi wilayahnya dengan peta wilayah adat. Mereka pun tak melupakan aspek konservasi.

Babakan sejarah baru bagi masyarakat adat di Kasepuhan Karang tampaknya baru dimulai.

 

video: Kasepuhan Karang: Memelihara Semesta, Mengelola Alam

 

Exit mobile version