Mongabay.co.id

Ketika Lahan Tani di Takalar jadi Tambang Pasir

Danau tambang di Desa Pa'dinging, Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar, yang dibiarkan begitu saja, dan telah menelan dua orang korban nyawa. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

“Ini sawah keluarga kami. Sudah lebih tinggi dari sawah lain. Kami tak bisa lagi menanam padi, hanya menanam pepaya, dan cabe sedikit,” kata Irmawati Daeng So’na, seorang petani.

Dia menceritakan itu sambil bergerutu dan marah karena lahannya tertimbun pasir dari sisa penambangan di sampingnya. Kejadian berawal pada 2010, keluarga Irmawati, tak memberi izin ada tambang tetapi penambang berkilah hanya sebentar. Parahnya, sampai penambangan berhenti, material itu tetap mengendap tak terangkut. Bekas pematang pun mulai runtuh. Kalau hujan, air seperti berlari karena pasir. “Apalagi yang bisa kami lakukan dengan keadaan ini?”

Irmawati memandang kolam bekas penambangan. Ia terlihat seperti danau, bukan kubangan. Panjang mencapai 200 meter, lebar sekitar 30 meter. Air biru. Beberapa burung bangau, terlihat menunggu mangsa di dahan pohon.

Di sudut lain “danau” itu, ada pohon mangga berdiri tegak, pada 2011, anak usia 12 tahun, meregang nyawa, tenggelam, ketika bersama kawannya bermain.

Saya berdiri dan menyaksikan tempat memilukan itu. “Keluarganya marah. Dia melaporkan ke aparat desa. Ditanggapi dingin dan dianggap sebagai takdir.” Irmawati mengenang.

“Saya tahu insiden itu. Itu bukan salah penambang. Itu kan kesalahan sendiri–ajal,” kata Muhammad Darwis, Kepala Desa Pa’dinging.

“Tidak memberi teguran pada penambang, atau membuat pagar pembatas?” kata saya.

Kan kalau sudah lihat begitu, anak-anak yang berpikir baik, pasti tidak main kesitu,” jawab Darwis.

Darwis berkilah, Eca, nama sapaan anak yang meninggal itu, alami kesehatan mental kurang baik. Anggapan itu keliru. Si anak hanya disabilitas fisik. Kaki tak sempurna, tidak sama panjang.

Saya berjalan melintasi dua dusun, Bonto Panno dan Bonto Beru, di Desa Pa’dinging, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Mengendarai sepeda motor di atas pematang sawah. Melihat puluhan titik bekas penambangan. Ada di belakang rumah warga, hingga di tengah hamparan sawah.

Penambangan pasir di Pa’dinging, berjalan dua tahap. Mulai 2010 berakhir 2015, berlanjut kembali pada 2018. Jumlah penduduk desa ini sekitar 2.000 jiwa. Sebanyak 135 keluarga penerima bantuan pemerintah beras rakyat miskin. Dominan penduduk desa, menggantungkan pencaharian pada pertanian seperti jagung dan padi sawah. Berladang cabai musiman, ketika harga sedang baik.

Pa’dinging adalah desa masuk Kecamatan Sandrobone. Dari pusat kabupaten, sekitar 15 menit perjalanan darat beraspal mulus. Penjual coto banyak tersebar di poros utama desa.

 

Warga Desa Pa’dinging sedang memanen cabe di lahannya, yang berdekatan dengan kubangan tambang pasir Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Korban tewas kolam tambang pasir

Sejak penambangan pasir memasuki kawasan, dua korban sudah meregang nyawa di bekas galian tambang.

“Sebenarnya, jika melihat peta wilayah, Takalar sedang dikepung tambang pasir. Ada banyak tempat, itu terjadi sporadis,” kata Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator Konsorsium Pembaharuan Agraria Sulawesi Selatan.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam beberapa bulan terakhir melakukan advokasi bagaimana tambang pasir di Pa’dinging, dengan pelan-pelan merenggut lahan pertanian yang produktif. Dalam temuan KPA, ada 15 titik penambangan pasir. Sepuluh kubangan sudah tak terpakai, dua jadi tambak, tiga lain masih aktif.

 

Menyelamatkan sawah tersisa

Tahira Daeng Kanang–sekitar 80 tahun – di rumahnya yang reot di Dusun Bonto Panno, sedang duduk dengan baju kaos yang kerahnya sudah melar. Dia tak lagi mampu beringsut untuk meninggalkan rumah. Dia hanya bisa duduk menunggu keluarga yang datang membawa makanan.

Tiang tengah rumahnya memiliki ukiran, dan sebuah tulisan 21-9-1965 untuk menandakan waktu pembuatan. Kayu kuat, tetapi beberapa bagian sudah lapuk. Sekitar 10 meter dari belakang kediaman Daeng Kanang, ada dua kubangan besar bekas penambangan.

Rimbun bambu yang dulu jadi halaman belakang asri sudah hilang. “Ai, itu tanahku. Tapi nda apa-apa didapat,” kata Daeng Kanang dalam bahasa lokal. Saya melihat sendiri kondisi memilukan. Tambang tak memberikan hasil. Tanah sudah hilang jadi kubangan.

 

Daeng Manye (36 tahun), yang menolak lahannya menjadi tambang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Beberapa meter dari rumah Daeng Kanang, seorang pria sedang menebas batang jagung yang sudah panen. Parang pendek dan tajam. “Mau dibersihkan. Sudah itu tanam padi lagi,” katanya.

Pria ini Daeng Manye, berusia 36 tahun. Dia punya dua anak. Selain bertani, dia juga menjual coto. Baginya, bertani dengan sistem menanam bergantian cukup baik. Di lahan yang hanya 20 are, dia mampu mendapatkan keuntungan menanam jagung hingga Rp2 juta, dalam tiga bulan. Sewaktu-waktu dia menanam cabai dengan hasil bisa Rp20 juta. “Jadi setahun itu, dua kali tanam jagung, satu kali tanam padi,” katanya.

Bagi Daeng Manye, bertani dan mempertahankan lahan adalah proses jangka panjang. Lahan sedikit, jika dikelola dengan rajin, akan bertahan lama. Bisa sampai anak cucu. “Kalau tambang, hanya sekali saja, setelah itu hilang lahan,” katanya.

Berbeda pandangan dengan Salahuddin Daeng Ropu, warga Desa Bonto Beru, yang memilih lahan jadi tambang. Kala itu, dia berdiri dekat truk pengangkut material. “Sudah ada sekitar 50 truk keluar, jadi setiap truk saya dapat bayaran Rp60.000,” katanya. Dia memperkirakan, dari lahan mencapai sekitar 80 truk.

Kalau sudah menjadi kubangan, Daeng Ropu, akan membuat budidaya ikan. “Saya sudah ada dua lahan yang ditambang, tambang pertama sudah buat karamba ikan. Gagal. Mungkin harus buat kincir air,” katanya.

Saya betemu Daeng Ganyu, mandor penambang yang di lahan Deng Ropu. Dia menggunakan kemeja, dua kancing bagian dada dilepas. Kami berbincang di rumah kepala Desa Pa’dinging. Dia membawa kertas copy-an, dipegang dengan tangan. “Ini bukti kalau warga setuju ada tambang pasir,” katanya.

Surat itu ada empat halaman bertulis tangan. Pada halaman depan, tampak permintaan untuk percetakan tambak (empang) jenis pasir dan tanah timbunan golongan C. “Jadi apa yang salah, semua warga setuju dengan tambang itu,” kata Ganyu.

Surat itu, ditandatangani lima orang, dan diketahui kepala dusun dan kepala desa dengan stempel masing-masing. Dalam lampiran ada 78 warga setuju. “Jadi saya mau bilang apa ndi. Warga saya yang meminta, bukan saya ini (kepala desa) yang mengundang penambang masuk,” kata Muhammad Darwis.

“Kalau memang sudah merusak, mau ditutup saya tidak ada masalah. Kan itu juga untuk kebaikan masyarakat. Warga yang pematangnya dilalui truk, akan dapat Rp5.000 ribu per mobil.”

“Jadi itu untuk pembeli beras. Ada penghasilan tambahan,”

“Yang utama, tanah yang jadi tambang pasir itu juga lahan tidak produktif. Jadi kalau ditambang akan lebih bermanfaat,” kata Ganyu.

Sebaliknya, di tempat Ganyu menambang pasir, ada pula petak lahan keluarga Irma baru saja ditaburi benih padi. Sudah tumbuh sekitar lima cm. “Mereka meminta kami untuk ikut menjual lahan. Keluarga tidak mau. Itu lahan penghasilan kami menanam padi dan jagung,” katanya.

Saya meminta surat izin penambangan, Muhammad Darwis dan Ganyu, tak bisa memperlihatkan. Darwis, hanya bilang, kalau itu permintaan warga. “Pada masa awal penambangan, jadi penambang itu kasi kami imbalan ke desa juga. Itulah yang kami berikan ke warga, membelikan mereka beras dan sudah banyak itu yang masuk sumbangan ke mesjid,” kata Darwis.

Ganyu bilang, kalau mencari negatif tambang pasir itu tak ada.

 

Danau tambang di Desa Pa’dinging, Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar, yang dibiarkan begitu saja, dan telah menelan dua orang korban nyawa. Foto: EKo Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

***

Bersama Irma, saya masih berdiri samping “danau” bekas tambang itu. Sebelum berubah menjadi kubangan besar, lokasi itu bernama Balang Lompoa, rawa dangkal dan besar-tempat bermain anak-anak dan warga menjala ikan.

“Jika musim hujan tiba, kubangan bekas tambang itu akan serata tanah. Mana kubangan galian tambang, mana kubangan dangkal tidak akan nampak,” kata Irma.

Kemungkinan beberapa anak anak sebaya Eca yang meregang nyawa di “danau” tambang itu, masih mengira seperti Balang Lompoa, semasa awal. “Sekarang dalamnya sudah 5 sampai 10 meter,” kata Irma.

 

Keterangan foto utama:   Danau tambang di Desa Pa’dinging, Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar, yang dibiarkan begitu saja, dan telah menelan dua orang korban nyawa. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Danau tambang di Desa Pa’dinging, Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar, yang dibiarkan begitu saja, dan telah menelan dua orang korban nyawa. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version