Mongabay.co.id

Padang Perburuan, Kisah Bentang Alam yang Terluka

 

“Tanah ini sakit. Sekarat. Tak lagi maung baunya. Tanah ini benar tak berbau. Tak bisa membuahi apa-apa, selain membubuhi luka yang menganga untuk perih tak tertanggungkan. Di sini,” kata seorang suami terus menepuk dadanya dengan keras.

Istrinya berdiri. Dia melangkah gontai, di luar lingkaran tumpukan tanah. Terus berujar, “Ini bukan lagi tanah yang dijanjikan. Bukan tanah harapan. Bukaan! Ini warisan tersisa, setelah tergadai oleh nafsu-nafsu keserakahan manusia!”

Itulah adegan sepasang suami istri dalam lakon “Padang Perburuan” yang ditampilkan Lembaga Teater Selembayung dari Riau dalam Festival Teater Silek Arts Festival di Padang Panjang, Selasa (20/11/2018). Pertunjukan yang ditulis dan disutradarai Fedli Azis ini coba menceritakan luka masyarakat akibat pembangunan PLTA Koto Panjang di Riau.

PLTA Koto Panjang terletak di Desa Merangin, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Riau. Tepatnya di tepi jalan yang menghubungkan Riau dengan Sumatera Barat. Proyek ini dilakukan pemerintahan Orde Baru pada 1977 dan selesai pada 2000 yang didukung pemerintah Jepang.

Proyek ini membuat waduk atau genangan seluas 12.400 hektar yang menenggelamkan 10 desa; delapan desa di Kabupaten Kampar, Riau, dan dua desa di Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat.

Ribuan masyarakat desa dipindahkan dan diberikan lahan seluas 2,5 hektar. Namun, lahan baru itu tidak subur, sehingga pendapatan masyarakat dari pertanian, seperti padi dan jagung, jauh menurun dari sebelumnya. Beberapa tradisi pun hilang. Selain itu jumlah penduduk di wilayah Kampar kian bertambah karena kedatangan warga yang memanfaatkan keterbukaan akses jalan di sekitar PLTA Koto Panjang.

“Ini membuktikan sebuah pembangunan di Indonesia cenderung mengorbankan masyarakat lokal,” kata Fedli Azis. “Kekayaan alam yang berlimpah: air, tanah, hingga budaya, tidak selamanya menguntungkan bagi pemiliknya. Bahkan wilayah-wilayah kaya, termasuk Riau, justru menjadi bulan-bulanan penguasa dan pengusaha zalim,” lanjutnya.

Baca: Bentang Alam Rusak, Bela Diri Silat Terancam Kehilangan Guru. Maksudnya?

 

Hutan Sumatera, tugas kita bersama menjaganya dari berbagai kegiatan yang merusak. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Dijelaskan Azis, sejak negeri Riau diperintah raja dan sultan-sultan, mulai dari Sriwijaya, Malaka, Riau-Lingga, Siak, Kampar, Rokan, dan banyak lagi, rakyat hidup layak dan mendapatkan haknya secara adil. Meski tidak bisa dipungkiri, tidak sedikit pula sultan-sultan dalam fase tertentu berlaku zalim akibat berebut kuasa.

Rakyat yang sejak dulu bebas dan terbuka dalam beragam hal, secara tidak sengaja menjadi jenuh dan membenci dalam diam. Akibatnya, rasa memiliki atas negeri sendiri terdegradasi dan pikiran yang terbuka mulai terkungkung kebencian. Kondisi serupa itu terus berlangsung ratusan tahun, bahkan hingga detik ini.

Masing-masing orang, hanya sensitif dan peduli pada keluarganya sendiri. Masing-masing orang hanya meradang saat miliknya dan keluarga besarnya diganggu. Sedang milik saudara sekampung, sesuku, sebangsa, tidak masuk dalam sesuatu yang diperhitungkan. Semua orang hidup dalam pikiran dan sesuatu yang dianggap marwah, minimal bagi keluarga besar atau seperut saja.

“Rasa memiliki terhadap milik bersama yang tergerus sejak lama tersebut mulai disadari akhir-akhir ini. Namun, negeri telah koyak dan kekayaan kian menipis, hingga di titik nadir. Ditambah lagi, pemimpin-pemimpin dari puak sendiri sekali pun masih melanjutkan tabiat moyang mereka yang mendurhakai bangsanya sendiri,” ujar Azis.

Bukan hanya manusia yang merasakan dampak pembangunan PLTA Koto Panjang, juga kekayaan flora dan fauna di sana. Hal ini diungkapkan tokoh suami dalam pertunjukan itu, “Ke mana gajah-gajah itu! Di mana rusa-rusa itu! Harimau, Binuang, Kijang. Kalian di mana? Elang kemarilah! Bawa kami melayang jauh. Lalu campakkan ke tanah yang lain. Kami ingin hidup. Kami ingin kembali seperti dulu. Dulu sekali. Di mana kehidupan seperti taman firdaus. Kami rindu. Rindu pada tanah subur yang melenakan sebelum semuanya ditenggelamkan waduk raksasa itu.”

Baca juga: Seniman Harus Berperan Dalam Penyelamatan Bentang Alam, Caranya?

 

Harimau sumatera. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Sesuatu yang baru?

Tema lingkungan hidup yang ditampilkan Lembaga Teater Selembayung dengan “Padang Perburuan”, Teater Potlot dengan “Awang 5334 Celcius”, serta Indonesia Performance Sindycate dengan “Baromban dan Mitos Tambang” menjadi sesuatu yang baru bagi generasi muda yang tengah studi seni teater.

“Terus terang isu lingkungan hidup jauh dari diskusi kami sehari-hari. Kami lebih banyak mendiskusikan soal kemanusiaan di wilayah perkotaan atau kaum urban, persoalan adat, dan lainnya. Penampilan Lembaga Teater Selembayung dengan Padang Perburuan atau Teater Potlot dengan Awang 5334 Celcius, memberikan pemahaman baru kami jika persoalan lingkungan hidup sangat penting bagi kehidupan manusia hari ini. Kerusakan lingkungan hidup memberi dampak besar bagi kehidupan manusia, termasuk kebudayaannya,” kata Dila Ayu Amoksa, mahasiswa jurusan teater Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Rabu (21/11/2018).

Putri, salah satu pemain dalam pertunjukan “Awang 5334 Celcius” juga merasakan hal baru ketika persoalan lingkungan hidup dijadikan tema sebuah karya seni. “Saat bergabung dengan Teater Potlot saya baru mengetahui betapa pentingnya persoalan lingkungan hidup. Ekologi. Selama ini, baik dari karya sastra, film, tari, hampir semuanya mengambil tema soal cinta. Kebebasan. Pokoknya urusan manusia. Tapi bersama Teater Potlot, saya mulai memahami persoalan ekologi, yang ternyata sangat penting bagi kehidupan manusia. Menonton pertunjukan dari Lembaga Teater Selembayung atau Indonesia Performance Sindycate kian menambah pemahaman saya persoalan lingkungan hidup,” katanya.

 

Ribuan warga dari 1o desa kehilangan rumah dan kebunnya demi waduk PLTA Koto Panjang, Riau. Foto: Yudhy Semai

 

Pembangunan jaga bentang alam

“Banyak sekali pembangunan waduk untuk PLTA di Indonesia di masa Orde Baru yang menghancurkan sebuah bentang alam beserta peradaban manusianya. Di Jawa, misalnya kasus pembangunan waduk Kedungombo Jawa Tengah,” kata Handoyo, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim, Badan Litbang dan Inovasi KLHK, yang dihubungi Rabu (28/11/2018).

Beranjak dari persoalan yang muncul dari pembangunan waduk di Koto Panjang maupun Kedungombo, kata Handoyo, pemerintahan Jokowi-JK yang menargetkan pembangunan 65 bendungan selama pemerintahannya sudah seharusnya belajar dari dua kasus tersebut.

“Jangan sampai proyek bendungan tersebut juga memberi luka mendalam bagi masyarakat serta mengubah bentang alam yang berdampak hilangnya kekayaan flora dan fauna, termasuk menghancurkan sebuah peradaban manusia,” katanya.

 

Banyak pembangunan waduk untuk PLTA di Indonesia yang membuat penderitaan atau melukai ribuan masyarakat desa. Selain di Koto Panjang di Riau juga di Kedungombo, Jawa Tengah. Foto: Yudhy Semai

 

Seperti diketahui, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menargetkan pembangunan 65 bendungan; 16 proyek lama dan 49 proyek baru. Bendungan ini ditargetkan mampu mengatasi persoalan pertanian di Indonesia, yang selalu diganggu oleh kekeringan atau kemarau panjang. Bendungan ini menjamin ketersediaan air bagi ketahanan pangan di Indonesia.

 

 

Exit mobile version