Mongabay.co.id

Kasepuhan Karang: Pengakuan Wilayah Didapat, Ekonomi pun Berbenah

Sebagai pimpinan adat Kasepuhan Karang, Jaro Wahid, masih ingat saat dimana dia harus mengambil keputusan penting untuk masyarakatnya. Meski secara bergenerasi mereka de facto telah tinggal bermukim di wilayah yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), saat itu mereka tidak punya legalitas.

Warga Karang pun tak berdaulat atas tanah adat. Posisi Kasepuhan lemah. Seperti manusia tanpa identitas dan jati diri. Padahal Kasepuhan Karang dengan berbagai kisah adat istiadatnya telah lebih dulu eksis sebelum negara Indonesia merdeka.

Setelah lama hidup dalam ketidakjelasan, di tahun 2012 keputusan itu diambil. Langkah pertama, adalah penyusunan data sosial hingga kelembagaan adat. Tujuannya menuntut keadilan pada negara soal pengelolaan hutan yang selama ini diklaim sebagai milik negara.

Baca juga tulisan sebelumnya: Mereka yang Kini Berdaulat Atas Tanahnya

“Kepada Kementerian Kehutanan (sekarang KLHK) kami berikan semua data adat sebenar-benarnya. Agar mereka tahu, kami hanya ingin mengemban amanat leluhur tentang tanah yang sudah diwariskan secara turun-temurun,” sahutnya.

Kepada Pemda Lebak dilakukan pendekatan yang sama. Jerih payah berbuah. Terbitlah Perda Nomor 8/2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan di Kabupaten Lebak.

“Perda itu [kuncinya], sebuah jawaban penantian panjang,” papar dia.

 

Membawa padi untuk dimasukkan ke dalam lumbung. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia-INFIS

 

Setahun berikutnya, mereka mendapat pengakuan wilayah yang langsung diserahkan oleh Presiden Jokowi di Jakarta. Sekaligus menjadi percontohan penetapan hutan adat pertama di Pulau Jawa.

Pasca pengukuhan, Kasepuhan Karang menata diri. Mereka mengidentifikasi zonasi lahan seperti kawasan hutan tutupan, titipan, dan garapan. Juga membuat dokumen tata batas wilayah untuk penggunaan risalah tanah. Didalamnya temuat data kepemilikan, luas garapan serta lokasi. Sehingga mudah dikontrol penggunaannya.

Menurut Wahid, Kasepuhan Karang telah memiliki aturan tata ruang tradisional yang disebut Aub Lembur.

Aturan itu mengatur sumber mata air sebagai daerah keramat. Gunung Kayuan atau hamparan lahan dipenuhi aneka kayu yang tak boleh ditebang. Leuweung Caiwisan atau lahan yang dicadangkan untuk perkebunan dan sawah. Lamping Awian atau lahan curam yang harus ditanami tanaman pencegah longsor; serta datar imahan atau lahan datar yang dijadikan sebagai pemukiman.

Sebagai strategi perlindungan hutan, Wahid memerintahkan pemetaan masalah hutan. Hasilnya teridentifikasi potensi kritis, semi kritis, dan kritis apabila pemanfaatan hutan tidak terpola. Dibuatlah target penanaman 27 ribu pohon buah selama 5 tahun. Kini, di area 96 hektar hutan tutupan, beragam benih tanaman coba dibudidayakan.

“Filosofi kami ngahulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara (taat kepada hukum dan aturan yang berlaku). Kami akan patuh kepada negara juga setia kepada adat istiadat serta warisan nenek moyang kami,” ujarnya.

 

Padi merupakan hasil bumi terpenting di Kasepuhan Karang. Perlakuannya pun amat istimewa. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia-INFIS

 

Pengelolaan Pangan Berbasis Tradisi

Bulan November adalah awal musim panen. Hampir seluruh kaum perempuan di Kampung Karang, Kasepuhan Karang sibuk. Mereka berkumpul di rumah Abah, orangtua Jaro Wahid yang disebut Imah Gede.

Kala itu, bagian sawah Abah yang giliran panen. Bahasa setempat menyebut waktu ngunjal pare, atau panen bersama anak dan cucu.

Sejak pukul 6 pagi mereka bersiap menggelar tradisi Mapag Pare Beukah (upacara memasukkan panen padi) ke lumbung atau yang disebut leuit dalam bahasa lokal. Berjarak sekitar 3 kilometer dari situ, iring-iringan panjang kaum lelaki berjalan tertib melewati jalan kampung menuju lumbung. Mereka semua memikul padi menggunakan rengkong.

Rengkong sendiri adalah sejenis alat pikul tradisional terbuat dari bambu. Jika digerakan mengeluarkan bunyi yang khas. Berirama seolah menggambarkan suka cita atas hasil bumi karunia sang pencipta.

“Tradisi ini biasanya digelar satu tahun dua kali. Semua dilakukan secara gotong royong,” kata Een Suryani (34) salah satu perempuan warga Kasepuhan.

Posisi leuit yang lebih tinggi dari atap rumah penduduk pun ternyata ada pernyataan makna filosofisnya. “Penghidupan [upaya mencari nafkah] tidak boleh lebih tinggi dari nilai kehidupan. Ini mengajarkan pola keseimbangan,” tuturnya.

Dalam tradisi Kasepuhan, padi adalah hasil bumi terpenting. Karena itu perlakuannya amat dimuliakan. Padi di Kasepuhan Karang seluruhnya alami, tidak memakai unsur kimia sama sekali.

Sebelum masuk ke leuit, padi diikat dan disatukan. Satu pocong (ikatan padi) bobotnya setara 6-8 kilogram gabah kering.

Kaum perempuan terlihat begitu cekatan dan terampil. Ada yang bertugas mengikat, mengangkut hingga memasukan pocong ke dalam leuit. Semua diiringi dengan suara tumbukan padi oleh para perempuan berusia lanjut. Suara tongkat menumbuk padi ibarat alunan musik.

Beranjak siang, sekitar seribu pocong sudah terkumpul dan tersimpan di leuit.

 

Lewat Koperasi Perempuan Berdaya

Pengakuan hutan adat tidak hanya mengangkat identitas Kasepuhan Karang, tetapi juga mengangkat kepercayaan diri dan martabat.  Kehidupan penuh ketakutan, kini tinggal cerita masa lalu. Tak terkecuali bagi kaum perempuannya.

Seperti disebut Sarni (46), seorang perempuan warga kampung. Dia mulai merasakan perubahan. Dia tidak menyangka, jika pertanian terpola dan direncanakan sedemikian rupa ternyata menguntungkan.

“Saya sekarang bebas mengolah lahan. Sekarang ada manfaat lain dari keragaman pangan yaitu kesehatan. Minimal buat keluarga sendiri,” ucap Sarni yang mulai membudidayakan tanaman obat seperti jahe merah dan kunyit di lahannya.

 

Kaum perempuan memasukkan padi ke dalam lumbung untuk disimpan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia-INFIS

 

Sisi pemberdayaan ekonomi juga jadi perhatian penting. Seperti yang dituturkan Een. Sepuluh bulan lalu dia memulai pembentukan koperasi, namanya Koperasi Jagaraksa Mandiri (KJM). Seluruh pengurusn koperasi adalah perempuan.

“Awalnya ini kegiatan arisan pasca panen. Kemudian dirubah jadi koperasi.”

Een mengaku, awalnya sama sekali tidak tahu-menahu perihal koperasi. Apalagi sebutnya, dia hanya berpendidikan rendah. Namun sejak mengelola koperasi, dia pun doyan belajar tentang masalah keuangan secara otodidak.

Kepeduliannya dilatarbelakangi pada masyarakat yang mengalami kesulitan. Dia tak ingin masyarakat menggadaikan sawah kepada orang di luar kampung. Menurutnya, itu sama saja mengkhianati kedaulatan atas tanah yang puluhan tahun diperjuangkan para kokolot.

“Bilamana mau menggadaikan sawah, tak usahlah ke orang luar. Karena hasil bumi jadi milik si penggadai selama belum tertebus. Kalau lewat koperasi kan beda. Bisa bayar cicilan pakai padi atau hasil bumi. Jadi masyarakat masih bisa menikmati hasil kebunnya.”

Lewat KJM, pengurus memberi pinjaman maksimal 3 tahun tanpa bunga bagi anggotanya.

Pinjaman tertinggi diberikan senilai Rp5 juta. Angsuran dilakukan menggunakan padi dalam jangka 6 kali panen. Pengajuannya dengan syarat menyertakan surat risalah tanah dari hutan adat. Adapun di KJM, saat ini terdapat 70 orang nasabah.

 

Berbagi makanan bagi yang hadir, salah satu bentuk gotong royong masyarakat di Kasepuhan Karang. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia-INFIS

 

Sebutnya, hingga sekarang tak ada kendala serius saat anggota meminjam dan mengangsur pengembalian hutang.

Tatkala Een bersemangat memaparkan aktivitas memberdayakan perempuan sampai pertanian, penjelasannya tersela saat beberapa ibu datang membawa kinca (sejenis makanan khas lokal). Saat itu jarum jam menunjukan pukul 11.00 siang, menandakan perayaan mapag pare beukah pun resmi berakhir.

Dia pun mempersilakan kami menikmati panganan.

“Lewat tradisi panen, semua yang membantu mendapat bagian. Itu cara kami berbagi kebahagian baik pada sesama juga wujud rasa syukur kepada Tuhan,” pungkasnya sembari membagikan kinca kepada yang hadir.

 

Video: Kasepuhan Karang: Memelihara Semesta, Mengelola Alam

 

Exit mobile version