Mongabay.co.id

Warga Adat Papua Desak Pemerintah Cabut Izin Kebun Sawit Bermasalah

Foto: Lusia Arumingtyas

”Keindahan alam mu yang mempesona. Sungaimu yang deras mengalirkan emas. Syo.. Ya Tuhan.. Trima.. kasih.”

Petikan refren dari lagu Tanah Papua mengumandang saat aksi damai masyarakat Papua di depan Indofood Tower, Jakarta, medio November lalu. Sekitar 20 perwakilan lima komunitas masyarakat Papua menyuarakan hak lahan mereka.

Mereka mendesak PT Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP), anak usaha Salim Group, juga punya Indofood, segera keluar dari tanah mereka.

Kitorang makan sagu, bukan sawit.” Begitu tulisan pada poster yang dibawa Lidya Monalisa Upaya, dari Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Gereja Kristen Injil Tanah Papua.

Hari itu, Mona, membawa poster dan spanduk dalam aksi di Jakarta. Mereka menuntut Indofood bertanggung jawab terhadap eksploitasi perkebunan yang merampas hak dan merusak hutan Papua.

“Tanah Papua itu tidak kosong,” kata mereka berulang-ulang saat dialog dan kampanye pada kementerian dan lembaga di Jakarta. BAPP memiliki konsesi 19,369 hektar di Lembar Kebar, Tambaraw.

Samuel Ariks, tokoh masyarakat Lembah Kebar mengatakan, BAPP beroperasi di tanah Suku Mpur, tak sesuai apa yang dibicarakan dengan masyarakat dan sepihak. ”Awalnya perusahaan katakan hanya melakukan uji coba kebun jagung selama tiga tahun pada lahan terbuka dan alang-alang, kenyataan malah menggusur dan membongkar hutan maupun dusun sagu masyarakat,” katanya.

Perusahaan, katanya, juga tak terbuka kepada masyarakat terkait izin operasi, terutama soal ganti rugi termasuk analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Dari luasan konsesi BAPP, katanya, ada enam marga suku asli Papua tinggal disana, mereka kaget saat lahan sudah ada hak guna usaha (HGU).

”Kami berharap pemerintah memberikan keadilan, karena keadilan kita bisa hidup, hutan kami dilindungi, air dilindungi, tanah dilindungi, habitat satwa dilindungi. Kami hidup karena hutan, bukan karena perusahaan.”

Sebelum ke Jakarta, mereka sudah protes dengan menyampaikan surat penolakan kepada bupati dan DPRD kabupaten hingga provinsi. Hingga kini, tidak ada tanda-tanda pembicaraan dan peninjauan lanjutan.

”Saya kesini meminta agar izin dicabut, karena hutan kami sudah digusur, kami kasih cuma savana dan ilalang-ilalang, kemudian dia bongkar lahan kasih habis.”

Manimbu, suku Mpur, Kebar, Tambrauw mengatakan, hutan dan sagu mereka habis.

Tak hanya BAPP, Indofood pun punya empat perusahaan perkebunan di Tanah Papua, tiga di Papua Barat, yakni PT Subur Karunia Raya (38.620 hektar) di Teluk Bintuni, PT Rimbun Sawit Papua (30.596 hektar) di Fakfak, PT Menara Wasior (32.173 hektar) di Teluk Wondama, dan PT Tunas Agung Sejahtera (40.000 hektar) di Mimika, Papua.

 

Lahan dan hutan adat yang sudah berubah jadi hamparan kebun dan lahan tani perusahaan di Lembar Kebar, Tambaraw, Papua Barat. Foto: Hugo Asrouw

 

 

Tak berelasi dengan Indofood?

Stefanus Indrayana, General Manager Corporate Communication PT Indofood Sukses Makmur Tbk mengatakan, tidak mengenal BAPP.

”Setelah kami cek. Kami tidak mengenal perusahaan itu, PT Subur Karunia Raya, PT Rimbun Sawit Papua, PT Menara Wasior, PT Tunas Agung Sejahtera, bukan milik Indofood Sukses Makmur Tbk,” katanya.

Sebelumnya, dia pun sempat mengatakan, sepengetahuan dia, Indofood tidak atau belum memiliki bisnis di Papua.

  

Izin bermasalah

BAPP mendapatkan izin pelapasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Izin pelepasan kawasan keluar 2009, sejak 2015, lahan itu ditanami jagung.

Dengan perbedaan komoditi ini, kata Tigor Gempita Hutapea dari LBH Jakarta, memperlihatkan secara administrasi izin BAPP bermasalah. Kini, mereka menanam sawit dan jagung di atas izin perkebunan sawit.

”Ada potensi pidana oleh bupati yang mengeluarkan izin maupun perusahaan yang beroperasi,” katanya.

BAPP beroperasi tanpa amdal dan izin lingkungan, katanya, jelas melanggar UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tak hanya itu, izin lokasi dan izin perkebunan usaha untuk jagung keluar hanya dua hari.

Tigor mendesak, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menindak perusaahaan dan segera menghentikan aktivitas lapangan.

 

Lahan dan hutan adat yang sudah bersih dan masuk konsesi perusahaan di Tambaraw. Foto: Hugo Asrouw

 

Bukan hanya kebun sawit di Papua Barat, yang bermasalah. Di Papua, juga alami serupa, seperti di Boven Digoel. Petrus Kinggo, Suku Mandobo, mengatakan, Kali Kao, Boven Digoel juga terdampak karena ada pembukaan lahan oleh anak usaha PT Korindo Grup, PT Tunas Sawa Erma, di lahan masyarakat, tepat di Blok E Kali Kao sekitar 20.000 hektar.

”Awalnya mereka tidak ada keterbukaan dengan masyarakat. Tidak ada informasi, tidak ada keterbukaan informasi. Surat kesepakatan hanya melewati satu dua orang saja mengatakan sudah setuju, padahal itu rekayasa,” katanya.

Di lahan warga itu, katanya, ada pohon damar, masarwa, meranti, sampai pala. Perusahaan menawarkan harga hanya Rp1.000,00 per meterkubik. Pada 1998, kalau masyarakat tak setuju, bakal berhadapan dengan aparat keamanan. Kini, masyarakat hanya jadi buruh sawit.

“Kami minta pemerintah mencabut semua izin HGU dan kembalikan hak tanah adat,” katanya.

Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka mengatakan, banyak izin-izin bermasalah, seperti masuk kawasan hutan ataupun gambut. Saat usulan pelepasan kawasan oleh perusahaan, pemerintah tak pengecekan kembali kondisi lapangan. “Apakah gambut, hutan primer, ada masyarakat atau tidak dan lain-lain.”

Pemerintah, katanya, berkontribusi terhadap kerusakan di Papua, baik deforestasi yang sudah atau akan terjadi.

Adapun, deforestasi diperparah sistem pelepasan izin kawasan hutan tanpa ada pengawasan dan evaluasi serta penegakan hukum kuat di hutan Papua.

Dia pun berharap, dengan rencana implementasi Instruksi Presiden Nomor 8/2018 soal moratorium izin sawit mampu jadi langkah kuat ada perubahan.

Dia bilang, perlu langkah maju dan berani buat kaji ulang atau evaluasi dan pencabutan izin.

Yayasan Pusaka, katanya, melihat banyak kasus izin di Papua memiliki izin tetapi tak aktif atau jadi bank tanah (land bank) dalam bisnis perkebunan.

Yohanes Akwan, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Serikat Buruh Independen (DPD GSBI) mendesak pemerintah tak hanya evaluasi izin juga menaikkan status lahan.

”Buktikan jika pemerintah mendorong Papua Barat sebagai provinsi konservasi, status lahan alokasi penggunaan lain yang tutupan masih bagus naik status jadi hutan lindung.”

 

Izin pelepasan kawasan di hutan produksi konversi untuk kebun sawit, tetapi di daerah izin berubah jadi kebun budidaya pertanian. Warga adat di Papua Barat pun protes. Foto: Hugo Asrouw

 

Dia bilang, masih banyak titik gambut terancam investasi dan izin pelepasan dari pemerintah pusat. Salah satu, di Bintuni, sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK). ”Bintuni mesti jadi perhatian karena masuk kawasan gambut dalam,” kata Angky, panggilan akrabnya.

Wargapun membuat surat pernyataan sikap dan ditandatangani oleh 64 orang adat Papua dan koalisi masyarakat sipil yang mendukung.

Monalisa Upuya juga membacakan surat pernyataan sikap mewakili pemilik lahan dan hutan adat Suku Mandobo di Kali Kao, Boven Digoel; Suku Malind di Muting, Merauke dan Suku Mpur di Kebar, Tambrauw. Juga, Suku Moi di Klasouw dan Klayili, Sorong; Suku Maybrat di Ikana, Sorong Selatan dan organisasi masyarakat sipil maupun keagamaan.

Surat ini dibacakan pada setiap pertemuan dengan kementerian atau lembaga, seperti KLHK, Kementerian Pertanian, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Juga saat aksi di depan gedung Indofood Tower.

”Kami kehilangan hasil hutan kayu, rotan, hewan, tanaman obat-obatan, air bersih tercemar dan kekayaan alam lain, sumber hidup dan mata pencaharian masyarakat,” kata Mona, saat aksi.

Operasi perusahaan langsung dan berkelanjutan mengancam kerusakan hutan dan dusun sumber pangan warga. ”Tanah dan hutan adat kami orang asli Papua, dirampas dan diambil tanpa persetujuan, mufakat dan keputusan bebas masyarakat.”

Mereka mendesak, pemerintah segera mengakui dan menghormati kedaulatan dan hak masyarakat asli Papua atas tanah dan hutan adat. Juga menghentikan ketelibatan aparat keamanan Brimbob Polri dan TNI oleh pemerintah maupun perusahaan untuk ‘pengamanan.’ Yang terjadi, katanya, praktik intimidasi, diskriminasi dan kekerasan fisik dalam penanganan sengketa, protes dan keluhan warga.

Pemerintah dan perusahaan, harus bertanggung jawab merehabilitasi hutan dan dusun sagu yang rusak dan hilang. Juga lakukan peninjauan dan pencabutan berbagai izin, perjanjian, HGU dan pemanfaatan tanah serta hasil hutan yang tumpang tindih di wilayah adat.

 

Aksi warga adat Papua di Jakarta, minta wilayah dan hutan adat mereka terjaga dari perusahaan. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Peran agama

Masyarakat dari Papua ini juga lakukan pertemuan di Persatuan Gereja-gereja Indonesia. Harapan mereka, tokoh agama bisa membicarakan dampak buruk perkebunan skala besar di Indonesia, yang seringkali menyengsarakan warga termasuk masyarakat adat.

”Apa yang mereka ungkapkan adalah tangisan gereja,” kata Pastor Nicodemus Rumbayan, di Muting, Merauke.

Hutan bagi masyarakat adat merupakan hal sakral. Kala ada masyarakat adat, hutan lestari, begitu sebaliknya. Tanah adat, untuk berinteraksi demi mempertahankan identitas dan nilai-nilai mereka.

”Mengambil tanah tanpa prosedur musyawarah merupakan pengkhianatan terhadap kemanusiaan masyarakat adat. Bagi kelompok masyarakat adat tanah bukan harga ekonomis,” kata Nicodemus. Tanah dianggap pemberian Tuhan, di mana leluhur yang dimakamkan di situ.

Dia pun mengutip, publikasi Paus Fransiskus dalam ensiklik (pesan tertulis Paus-red) Laudato si’ tentang kepedulian rumah kita besama. Ensiklik ini mengkritik tentang konsumerisme dan pembangunan tak terkendali, menyesalkan kerusakan lingkungan dan pemanasan global.

“Artikel 145: Hilangnya satu budaya dapat sama serius atau lebih serius daripada hilangnya spesies tanaman atau binatang. Pemaksaan gaya hidup dominan terkait cara produksi tertentu dapat membawa kerugian sama besar seperti perubahan ekosistem.”

Dalam artikel 146, amat penting memberikan perhatian khusus kepada masyarakat adat dan tradisi mereka. Mereka tak hanya suatu minoritas di tengah yang lain tetapi harus menjadi mitra dialog utama terutama dalam pengembangan proyek-proyek besar yang mempengaruhi wilayah hidup mereka.”

Dia bilang, peranan agama sangat jelas dalam mengatasi konflik di masyarakat, terkait kerusakan lingkungan dan alam.

”Kita harus serius membangun dialog lintas agama dan lintas budaya untuk bertemu pada sisi paing jelas adalah pentingnya memperjuangkan kehidupan masayrakat adat.”

Bunyan Saptomo, dari Dewan Mesjid Indonesia menyebutkan, permasalahan masyarakat terkait ketidakadilan dan menyangkut kemanusiaan. ”Ini keprihatinan umat beragama.”

Konflik di masyarakat ini, katanya, karena ada kongkalingkong antara kapitalis dan pemerintah. Terlebih, warga sudah berupaya mengadu kepada DPRD dan pemerintah daerah tetapi tak ada tanggapan.

”Mendesak pemerintah daerah meningkatkan keterampilan, dan moralitas. Ini terjadi demoralitas pula pada wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan kepentingan masyarakat.”

 

Keterangan foto utama:   Aksi warga Papua di depan Indofood Tower Jakarta, pertengahan November lalu. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Aksi warga adat Papua dan organisasi masyarakat sipil di Jakarta, medio November lalu. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version