Mongabay.co.id

Kenapa Rencana Impor Sampah Plastik Harus Dilarang?

Seorang anak berada diantara gunungan sampah di TPST Bantargebang, Bekasi, Jabar. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

Kementerian Koordinator Kemaritiman menolak dengan tegas usulan impor limbah plastik yang diperlukan industri plastik sebagai bahan baku. Penolakan itu mengemuka, karena usulan tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip rencana aksi nasional (RAN) penanganan sampah plastik nasional yang saat ini sedang dilakukan Pemerintah Indonesia.

Demikian diungkapkan Asisten Deputi IV Bidang Iptek dan Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Nani Hendiarti kepada Mongabay Indonesia, Rabu (5/12/2018). Dia mengatakan, di dalam pelaksanaan RAN, semua pihak di Indonesia harus bisa terlibat dalam upaya pengurangan produksi sampah plastik, baik yang ada di darat maupun di laut.

“Sudah seharusnya semua ikut memberikan sumbangsihnya terhadap upaya pengurangan sampah plastik. Tidak hanya lembaga Pemerintah, namun juga lembaga swasta dan perseorangan harus bisa ikut terlibat,” ucapnya.

Menurut Nani, permintaan dari industri untuk dikirim limbah plastik dari luar Indonesia, untuk saat ini dan di masa mendatang sangatlah tidak masuk akal. Mengingat, permintaan tersebut tidak mendukung upaya keras yang sedang dilakukan Pemerintah berkaitan dengan pengurangan sampah plastik. Permintaah tersebut, menegaskan juga bahwa seharusnya mitra industri ikut berperan dalam upaya tersebut, bukan justru menambahnya.

baca :  Sampah Plastik Ada di Perairan Laut Sabang hingga Merauke, Bagaimana Sikap Pemerintah?

 

Sejumlah warga terlihat memulung di tempat pembuangan sampah (TPA) Kaliori, Banyumas, Jateng, yang kembali dibuka pada pekan lalu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Nani mengungkapkan, jika pun industri bersikukuh suplai bahan baku plastik saat ini kekurangan, maka suplai tersebut seharusnya bisa dipenuhi dari dalam negeri. Itu berarti, mitra industri harus memanfaatkan limbah sampah plastik yang sudah ada di Indonesia, baik yang sudah diolah di tempat pembuangan akhir (TPA) atau yang belum diolah dan terkumpul di permukiman.

“Tinggal bagaimana sekarang memulainya saja. Harus ada percontohan terlebih dahulu. Indonesia itu karakternya demikian. Kalau sudah ada contohnya, pasti akan banyak yang mengikuti. Mitra industri harus mau memanfaatkan yang ada di dalam negeri,” tegasnya.

 

Limbah Plastik Lokal

Pemanfaatan limbah plastik di dalam negeri tersebut, menurut Nani, akan menjawab tantangan banyak pihak sekaligus, termasuk persoalan lingkungan yang ada di dalamnya. Adapun, bentuk pemanfaatan yang bisa dilakukan, adalah dengan membuat satu badan khusus nirlaba yang dijalankan oleh profesional yang bergerak dalam pengolahan dan pemanfaatan sampah plastik.

“Indonesia bisa melaksanakannya, karena sumber dayanya juga memadai. Di luar negeri juga sama, mereka memenuhi kebutuhan industrinya dari limbah sampah plastik negeri mereka sendiri. Sekarang tinggal bagaimana, apakah Indonesia mau atau tidak?” sambungnya.

Dengan kemauan dan kerja sama semua pihak, Nani meyakini bahwa suplai sisa limbah plastik akan bisa dipenuhi dari dalam negeri. Kemauan tersebut, sudah mendapat dukungan penuh dari Peraturan Presiden No.97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

“Tidak perlu kebijakan baru, karena Perpres juga sudah memayunginya. Industri harus berkreasi bagaimana memenuhi kebutuhan mereka tapi sekaligus menyumbang upaya untuk mengatasi persoalan sampah plastik di Indonesia,” tuturnya.

Dengan cara demikian, Nani menyebutkan, Indonesia akan menjadi salah satu negara yang berkomitmen untuk mengurangi produksi sampah dengan cara mendaur ulang atau menggunakan kembali limbah plastik yang sudah ada. Cara itu, juga menjadi bentuk dukungan penuh kepada Pemerintah Indonesia yang sedang melaksanakan RAN penanganan sampah plastik.

baca juga : Begini Tekad Indonesia Kurangi Sampah Plastik sampai 70%

 

Seorang pemulung mengumpulkan plastik dari sampah di perairan Teluk Manila, Filipina pada 30 Juli 2012. Foto : Erik De Castro/Reuters/blueocean.net

 

Diketahui, pada 1 November 2018, sebuah surat permohonan dari Menteri Perindustrian resmi dilayangkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Surat bernomor 593/M-IND/11/2018 tersebut meminta Kementerian LHK untuk memberikan rekomendasi izin impor atas limbah plastik. Permohonan itu dilayangkan, karena saat ini industri plastik nasional sedang kekurangan bahan baku plastik berupa skrap potongan plastik.

Permohonan rekomendasi untuk bisa melakukan impor tersebut, bagi Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) merupakan langkah yang salah. Hal itu, karena Indonesia saat ini menghasilkan sampah plastik sebanyak 24.500 ton per hari atau setara dengan 8,96 juuta ton per tahun. Angka tersebut dihitung dari perkiraan timbulan sampah plastik sebesar 14 persen dari total jumlah timbulan sampah.

“Jadi, kalau kekurangan bahan baku plastik sebesar 600 ton per tahun, seharusnya tidak perlu didapat dari impor lagi,” jelas aktivits Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) Prigi Arisandi melalui rilis yang diterima Mongabay Indonesia.

Menurut dia, dengan fakta yang ada tersebut, Kementerian Perindustrian seharusnya membuat kebijakan yang bisa mendorong untuk terciptanya aktivitas pemilahan sampah dari sumbernya langsung. Cara itu untuk mematikan kualitas sampah plastik yang ada di saat ini di Indonesia, bisa diserap oleh industri daur ulang yang ada.

Prigi menjelaskan, ketentuan mengenai impor limbah plastik sendiri ada dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.31/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa izin terhadap impor bisa dikeluarkan untuk limbah non B3, yaitu limbah sisa dari produksi.

menarik dibaca :  Menanti Penguatan Aturan soal Sampah Plastik

 

Aktivitas pembuangan sampah di TPA Bantargebang yang dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta di Bekasi, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sampah Konsumsi

Akan tetapi, menurut Prigi, apa yang ditemukan di lapangan, ternyata yang diimpor adalah sampah sisa konsumsi masyarakat dari luar negeri. Contohnya, adalah sisa bungkus makanan, kemasan sachet dan produk lain yang tidak pernah dijual di Indonesia. Dengan kata lain, dia menilai bahwa kebijakan impor sampah plastik hanya akan menjadikan Indonesia sebagai TPA saja.

“Selama ini telah terjadi pelanggaran terhadap peraturan yang sudah ada. Peraturan memperbolehkan impor hanya atas potongan bahan baku sisa produksi, bukan sampah plastik. Ini jelas berbeda,” tegas dia.

Prigi melanjutkan, banyaknya sampah plastik yang berceceran di berbagai lokasi di Indonesia, akan menambah jumlah produksi secara keseluruhan. Jika itu tetap dibiarkan dan tidak dimanfaatkan, maka itu akan mengeluarkan bahaya bagi lingkungan dan makhluk hidup yang tinggal di sekitarnya. Oleh itu, dia berharap industri bisa mengangkut sampah-sampah tersebut dan memanfaatkannya untuk kebutuhan mereka.

Melihat perkembangan yang semakin memprihatinkan, Prigi yang mewakili AZWI, meminta kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menolak permohonan Menteri Perindustrian mengenai izin impor limbah plastik dan segera menindak pihak-pihak yang telah menyalahgunakan izin mengimpor limbah plastik selama ini.

Pernyataan Prigi tersebut diperkuat oleh Senior Advisor BaliFokus Yuyun Ismawati Drwiega. Dia juga meminta Pemerintah untuk mempertimbangkan dampak impor sampah plastik ini, dan menghentikan impor sampah plastik dalam bentuk apapun. Penghentian itu harus terus dilakukan, sampai ada kejelasan dalam definisi dan pengawasan objek yang boleh diimpor, spesifikasi dan standar material daur ulang, serta peran koordinasi lintas kementerian untuk masalah polusi plastik.

“Selain itu, diharapkan pemerintah dapat mengadopsi segera standar Basel Convention on Transboundary Movements of Hazardous Wastes,” ucapnya dalam rilis yang sama.

baca :  Dunia Satukan Tekad Bersihkan Lautan dari Sampah Plastik

 

relawan Greenpeace mengumpulkan dan memilah sampah berdasarkan merk untuk audit sampah dalam rangka acara World Clean Up Day dan International Coastal Clean Up Day di Pantai Kuk Cituis, Tangerang, Banten. Foto : Greenpeace Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Yuyun menerangkan, dalam Perpres 97/2017, terdapat amanat untuk melaksanakan pengurangan sampah sebesar 30 persen pada 2025 atau sebesar 20,9 juta ton sampah. Jika 14 persen dari sampah tersebut adalah sampah plastik, maka sekitar 2,926 juta ton sampah plastik harus dikurangi dalam waktu kurang dari 7 tahun.

Dalam Pasal 29 Undang Undang No.8/2008 tentang Pengelolaan Sampah, Yuyun melanjutkan, sudah sangat jelas disebutkan bahwa memasukkan sampah ke Indonesia dan mengimpor sampah adalah suatu tindakan terlarang. Hal tersebut bahkan sudah dimasukkan ke dalam ranah tindak pidana.

“Pemerintah Republik Indonesia harus mencontohkan bahwa penegakan peraturan berlaku kepada semua orang, termasuk pada pemerintah itu sendiri,” pungkasnya.

***

Keterangan foto utama : Seorang anak berada diantara gunungan sampah di TPST Bantargebang, Bekasi, Jabar. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version