Mongabay.co.id

Berapa Jenis Ikan yang Hidup di Sungai Musi dan Pesisir Timur Sumatera Selatan?

 

Sungai Musi yang mengalir sepanjang 750 kilometer dari Bukit Kelam, Curup, Bengkulu hingga Sungsang, Banyuasin, Sumatera Selatan, telah menghidupi jutaan manusia dan mahkluk hidup lainnya, sejak dulu hingga kini. Begitu pula dengan pentingnya kawasan Pesisir Timur Sumatera Selatan, berupa hutan bakau yang luasnya mencapai 195 ribu hektar, terkhusus hutan bakau di Sembilang, Banyuasin. Hutan bakau yang membentang sekitar 35 kilometer ini adalah bagian tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat Sumatera Selatan.

Sejatinya, Sungai Musi dan kawasan Pesisir Timur tidak hanya berfungsi sebagai sumber air bersih. Setiap hari, ribuan ton ikan diangkut dari Pesisir Timur dan Sungai Musi bersama delapan anak sungai besarnya; Air Kelingi, Air Beliti, Air Lakitan, Air Rawas, Air Rupit, Air Lematang, Air Leko, Air Ogan dan Air Komering.

Muhammad Iqbal bersama tiga rekannya, Indra Yustian, Arum Setiawan dan Doni Setiawan, tergerak mengidentifikasi jumlah jenis ikan yang hidup di Sungai Musi dan Pesisir Timur. Hasilnya, mereka menerbitkan buku “Ikan-ikan di Sungai Musi dan Pesisir Timur Sumatera Selatan” pada November 2018. Sebanyak 620 jenis ikan disebutkan hidup di dua wilayah tersebut yang artinya 13 persen dan 4.748 jenis ikan yang ada di Indonesia.

“Buku ini hasil penelitian saya bersama rekan-rekan sejak tahun 2000-an awal,” kata Iqbal kepada Mongabay Indonesia, Jum’at (7/12/2018).

Baca: Tepung Sagu dan Ikan: Makanan Orang Nusantara 1500 tahun yang Lalu

 

Sungai Musi merupakan denyut nadi kehidupan masyarakat Sumatera Selatan. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Pada pendahuluan buku terbitan Yayasan Kelompok Pengamat Burung Spirit of South Sumatera ini, dijelaskan berdasarkan penelitian 2007, 2008 dan 2011, tercatat 233 jenis ikan hidup di kawasan Sungai Musi.

Hasil studi terbaru, dari 2016 hingga 2018, makin melengkapi adanya temuan jenis ikan baru, juga mendata adanya jenis endemik Sungai Musi. Seperti Betta pardalotos yang bernama lokal tempalo, Glyptothorax keluk dengan nama lokal kekel, dan Nandus mercatus yang disebut stambun oleh masyarakat lokal.

 

Rumah-rumah panggung yang berdiri di pinggiran Sungai Musi. Foto: Nopri Ismi

 

Secara keseluruhan, berdasarkan P.92/MNLHK/SEKJEN/KUM.1/8/2018, tercatat sembilan jenis yang dilindungi di dua wilayah penelitian tersebut. Antara lain ikan puntung kanyut (Balantiocheilos melanopterus), cawing idung (Schismatorhynchus heterorhynchus), tiga jenis pari (Fluvitygon signifier, Fluvitygon oxyrhyncha, dan Urogymnus polylepis), dua jenis belido (Chitala borneenis dan Chitala hypselonotus), putak (Notopterus notopterus), dan tangkeleso (Scleropage formasus).

“Yang memprihatinkan adalah sejumlah jenis ikan dilindungi justru harapan para nelayan untuk ditangkap karena harganya mahal, bahan baku makanan pempek dan kerupuk. Terutama ikan belido dan putak,” kata Iqbal. “Artinya, perlu dilakukan sosialisasi atau pemahaman terhadap ikan yang dilindungi ini, baik terhadap para nelayan juga masyarakat yang menggemari pempek,” lanjutnya.

 

Menjaga kelestarian mangrove berarti menjaga kehidupan makhluk hidup. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Selain pempek, ikan juga dijadikan bahan makanan masyarakat Sumatera Selatan sejak ratusan atau ribuan tahun lalu. Misalnya, pindang ikan, pekasem, brengkes, balur, ikan asin, pundang, ikan salai, kerese, sambal lingkung, sate ikan, pentol ikan, dan lainnya.

Iqbal mengatakan, ada sejumlah ancaman terhadap kehidupan ikan tersebut. Pertama, konversi lahan rawa gambut menjadi daratan untuk pertanian, HTI dan perkebunan sawit. Kedua, limbah industri dan perkebunan yang menggunakan bahan kimia. Ketiga, penangkapan berlebihan atau tidak lestari. Keempat, penangkapan menggunakan putas atau racun, dan setrum listrik. Kelima, pelepasan ikan invasif seperti nila, mujair, lele, yang membuat ikan alami atau lokal kalah dalam mendapatkan makanan. “Atau, mereka memakan anak-anak ikan lokal,” terangnya.

 

Ikan yang merupakan bahan pangan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pendidikan dan inspirasi karya seni

Dr. Yenrizal Tarmizi dari UIN Raden Fatah Palembang menyambut baik terbitnya buku tersebut. “Ini buku sudah lama dibutuhkan masyarakat, khususnya generasi muda, yang secara budaya merupakan masyarakat perairan,” katanya.

Selain menjadi sumber pengetahuan, buku ini dapat dijadikan bahan penyadartahuan masyarakat, khususnya generasi muda, untuk terlibat menjaga bentang alam yang kian rusak. Terutama, akibat aktivitas ekonomi yang berdalilkan ekonomi dan pangan.

“Saya harap buku ini melahirkan buku-buku baru, yang lebih populer dan menarik sehingga dapat dikonsumsi anak-anak sekolah dasar hingga menengah atas,” kata Yenrizal.

Conie Sema, pekerja seni dari Teater Potlot, menilai buku ini dapat menjadi inspirasi para seniman untuk berkarya. “Tentunya karya seni yang membangun kembali hubungan harmonis antara manusia dengan bentang alam. Ratusan ikan yang disebut dalam buku ini dapat menjadi sumber cerita, baik terkait karakter maupun sifatnya sehingga menjadi simbol atau guru bagi manusia dalam memaknai alam. Khususnya, di wilayah lahan basah,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version