Mongabay.co.id

Melestarikan Garam Tradisional, Bisa Mengurangi Risiko Mikroplastik

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali memanen garam dari palungan (batang kelapa dibelah). Garam dari Amed dikenal kaya akan mineral dan tidak pahit. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Beberapa orang terlihat tengah membuat palungan dari batang kayu kelapa tua, Minggu (25/11/2018) lalu di Amed, Kabupaten Karangasem, Bali. Ini adalah wadah-wadah penjemuran garam laut yang disiapkan untuk mengganti palungan tua berusia 30an tahun.

Batang kelapa yang digunakan adalah yang lurus, berusia matang sekitar 30-50 tahun. Satu batang pohon kelapa akan menghasilkan 8 bilah palungan.

I Nengah Suanda, Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Garam Amed Bali menyebut sudah ada 500 palungan baru digunakan menggantikan yang lama. Pihaknya sedang membuat sekitar 100 unit lagi.

Petani-petani MPIG Garam Amed yang tersisa 24 KK ini setia melestarikan cara pembuatan garam laut termasuk alat-alat produksi tradisionalnya. Karena dari sinilah mereka mendapat rasa garam spesial, dinilai berkualitas tinggi dan kurang kandungan mikroplastiknya.

baca :  Inilah Garam Es Krim Dari Amed Bali

 

Seorang petani garam laut perempuan Amed, Karangasem, Bali, November 2018, mengambil air laut untuk diolah melalui tahapan proses yang cukup rumit, menguras waktu. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Mereka tidak bergeming saat petani lain menggunakan alas plastik sehingga mendapat hasil lebih banyak dan cepat kering. Termasuk jika pemerintah memberikan alas jemur plastik. Meski menggunakan palungan lebih sedikit hasilnya karena air laut tua yang dijemur dibatasi volume tampungan palungan.

Selain itu, Garam Amed diproduksi dari air laut hasil saringan dari tinjungan bambu. Saringannya dari batu kerikil, pasir, ijuk, dan tanah sari. Air menetes pelan dari bawah tinjungan mengalir ke bak kecil penampung. Perlu semalaman untuk mendapat satu bak kecil air laut hasil filter yang akan dijemur jadi kristal garam di palungan.

Suanda meyakini cara tradisional ini bisa mengurangi cemaran mikroplastik. “Kami memfilter air dengan tinjungan dan tidak menggunakan alas plastik untuk menjemur, kemungkinan tercemar plastik cukup kecil,” urai pria yang merintis MPIG Garam Amed ini.

Hasil pemeriksaan laboratorium Garam Amed sejauh ini lebih baik dari Standar Nasional Indonesia (SNI) Garam. Bahkan kandungan logamnya seperti Pb, Cu, Hg jauh di bawah SNI. Sementara kandungan mikroplastik belum pernah diteliti.

Apakah benar alat tradisional pembuatan garam efektif mengurangi kandungan mikroplastik dalam garam?

baca juga :  Garam Rakyat Didorong Penuhi Standar Internasional, Bagaimana Caranya?

 

Palungan, istilah untuk bilah-bilah batang kelapa yang jadi laat menjemur pembuatan garam laut tradisional dari Amed, Karangasem, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Hasil penelitian LIPI

Mongabay-Indonesia menerima hasil penelitian Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI) tentang mikroplastik. Tim peneliti yang dikoordinasi Muhammad Reza Cordova, mengkaji 18 pantai di Indonesia sebagai area monitoring setiap bulan untuk pemantauan sampah terdampar.

Sebanyak 13 pesisir dijadikan area sampling mikroplastik di permukaan air, delapan lokasi untuk mikroplastik di sedimen dan satu genus ikan (Stolephorus sp) dari 10 lokasi di Indonesia. Jenis sampah ditemukan dari seluruh area monitoring pantai adalah kategori plastik dan karet, logam, kaca, kayu (olahan), kain, lainnya, serta bahan berbahaya. Sampah dominan berasal dari plastik (36-38%) di seluruh area kajian.

Berdasarkan perhitungan kasar dengan asumsi sederhana diperkirakan 100.000 – 400.000 ton sampah plastik per tahun masuk ke laut Indonesia. Mikroplastik ditemukan pada seluruh lokasi kajian baik pada permukaan air, sedimen maupun pada tubuh ikan.

Mikroplastik terbanyak ditemukan di permukaan air Sulawesi Selatan dan Teluk Jakarta (7.5-10 partikel/m3). Pada sedimen ditemukan >100 partikel/kg di Aceh, Sulawesi Selatan dan Biak. Mikroplastik ditemukan antara 58-89% pada Ikan teri (Stolephorus sp) 0.25-1.5 partikel/gram.

“Walaupun relatif rendah, hal ini perlu diwaspadai mengingat dampak lain dari mikroplastik yang belum banyak diketahui,” urainya. Oleh karena itu P2O LIPI tengah melakukan monitoring sebaran mikroplastik serta dampak pengaruhnya pada ekosistem laut serta dapat memberikan kontribusi dalam pengelolaan sampah laut.

Penggunaan plastik yang tinggi membuat P2O LIPI merencanakan kajian penelitian mikroplastik untuk jangka panjang yakni pengaruh mikroplastik pada biota laut, lingkungan serta pada kesehatan manusia. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan adanya korelasi antara kepadatan penduduk dengan sampah plastik serta mikroplastik pada lingkungan. Selain itu plastik dan mikroplastik yang ditemukan didominasi dari jenis plastik jenis sekali pakai.

Pada World Ocean Summit  2017, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman menyatakan Pemerintah Indonesia hingga 2025 akan mengalokasikan dana sebesar Rp13 triliun/ tahun untuk menurunkan 70% sampah laut.

baca juga :  Air Laut Indonesia Sudah Terpapar Mikroplastik dengan Jumlah Tinggi, Seperti Apa?

 

Sejumlah pedagang gotong royong menyapu sampah plastik di Pantai Kuta, Bali pada Selasa (03/01/2017). Sedikitnya perlu 3 kali menyapu tiap harinya karena sampah terus menerus terbawa arus. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dikutip dari Kompas, Riset Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Unipad pada 2007 menyebut kawasan yang tercemar mikroplastik rata-rata dekat pemukiman penduduk seperti perairan Pulau Biawak di Indramayu, Kepulauan Seribu, dan perairan Banten.

Pada 2016, kedua pihak peneliti menemukan pencemaran plastik mikro di Bunaken 50.000-60.000 partikel/km2, laut Sulawesi 30.000-40.000 partikel/km2, laut Banda 5000-6000 partikel/km2.

Melansir Kompas.id, Jumat (30/11/2018), plastik mikro pada garam dan ikan di Indonesia ditunjukkan lewat dua penelitian terpisah yang dilakukan peneliti Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar dan P2O LIPI.

Reza Cordova menyebut adanya 10-20 partikel mikroplastik per kilogram garam. Ia melakukan penelitian kandungan mikroplastik pada garam di beberapa tambak di daerah pantai utara Jawa, meliputi Pati, Kudus, Demak, dan Rembang.

Mikroplastik pada garam berasal dari air laut yang memang sudah tercemar. Selain itu, ada juga kemungkinan masuknya mikroplastik setelah pemanenan karena banyak menggunakan plastik.

Berita Kompas itu menyebut, penelitian tim Unhas dilakukan di tambak garam Janeponto, Sulawesi Selatan. Mereka mengambil sampel air, sedimen, dan garam pada tambak yang airnya bersumber dari saluran primer air laut. “Ada delapan titik yang di-sampling dengan dua kali ulangan, jadi kami kumpulkan 16 sampel air dan sedimen,” jelas Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, Akbar Tahir.

Sebanyak tujuh sampel garam yang diteliti positif mengandung plastik mikro dengan total kontaminasi 58,3 persen. Sedangkan 11 dari 16 sampel air yang diteliti mengandung 31 partikel plastik mikro. Tingkat kontaminasinya secara keseluruhan sebesar 68,75 persen. Untuk sedimen, dari 16 sampel yang diperiksa ditemukan 41 partikel plastik mikro dengan tingkat kontaminasi 50 persen.

menarik dibaca :  Lautan Dunia dalam Ancaman Bahan Kimia Beracun

 

Lautan sampah plastik yang mengambang di Pulau Roatan, Karibia, Honduras. Foto : AFP/aawsat.com

 

Kemungkinan Berpengaruh

Dikonfirmasi Mongabay-Indonesia tentang temuan mikroplastik oleh LIPI di garam laut, Reza menyebut temuan itu masih lebih sedikit dibandingkan kajian dr Incheon University dan Greenpeace.

“Ada kemungkinan juga kontaminasi lewat udara, jadi plastik ukuran kecil yang ringan bisa juga masuk saat proses penjemuran,” tambahnya. Banyak potensial pencemar, tapi menurutnya yang harus dihentikan duluan adalah plastik sekali pakai karena langsung dibuang.

Tentang teknik tradisional pembuatan Garam Amed yang melakukan filter air laut dan penjemuran di palungan, ia menduga akan ada pengaruh penurunan material lain termasuk mikroplastik. “Salah satu fungsi ijuk di pertambangan emas adalah pengganti merkuri untuk mendapatkan emas. Jadi menurut saya bisa saja, tetapi perlu kajian lebih lanjut untuk hal tersebut. Malah bisa jadi ide bagus untuk penelitian,” sebut Reza lewat wawancara tertulis karena sedang di luar negeri.

Bagaimana konsumen bisa mengidentifikasi mikroplastik dalam garam konsumsi? Menurutnya secara prosedural agak sulit dilakukan manual, karena perlu alat untuk memastikan partikel yang diidentifikasi manual itu plastik atau bukan. Ia menyontohkan perlu FTIR atau Raman spectroscopy. Mikroplastik ukurannya bervariasi tetapi semua yang diatas 1 mikron hingga 5 mm.

Hal yang paling mudah adalah mewaspadai jika di garam dapur ada yang tidak lazim seperti partikel warna lain. “Garam itu warnanya transparan dan cenderung putih ya. Dipisahkan saja. Apalagi jika itu plastik,” sebutnya.

Gede Hendrawan, peneliti mikroplastik dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana, Bali juga menyebut sangat susah membedakan garam yang terpapar mikroplastik karena mikroplastik sangat susah untuk diidentifikasi dengan mata telanjang.

 

Exit mobile version