Mongabay.co.id

Lima Rekomendasi untuk Pembangunan Pesisir dan Laut di RPJMD Sulsel

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tengah menggodok rumusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) periode 2018-2023. Isu pengelolaan sumber daya alam termasuk yang banyak disoroti oleh penggiat lingkungan, termasuk pengelolaan pesisir dan laut.

“Saatnya Sulsel menggerakkan sektor maritim sebagai penopang pembangunan Sulsel ke depan,” ungkap Yusran Nurdin Massa, Environmental Technical Advisor pada Blue Forests di Makassar, Rabu (5/12/2018).

Menurut Yusran, sejumlah tantangan pengelolaan pesisir dan laut di tengah beragam potensi membutuhkan political will dan perencanaan program yang kuat melalui RPJMD, sebagai upaya mengembalikan kejayaan maritim Sulsel.

Sebanyak 75 persen wilayah Sulsel merupakan pesisir dan laut, yang kaya akan sumber daya perikanan dan biodiversitas tinggi yang jika dioptimalkan tata kelolanya, bisa mendorong kemandirian lokal dan kesejahteraan masyarakat.

baca :  Ternyata Banyak Masalah Dalam Raperda Zonasi Pesisir di Sulsel. Apa Saja?

 

Sebanyak 75 persen wilayah Sulsel merupakan pesisir dan laut, yang kaya akan sumber daya perikanan dan biodiversitas tinggi yang jika dioptimalkan tata kelolanya, bisa mendorong kemandirian lokal dan kesejahteraan masyarakat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Yusran kemudian mengurai lima isu dan fakta pengelolaan pesisir serta rekomendasi terkait untuk mendorong pengembangan pesisir dan laut di Sulsel.

Pertama, terkait responsif governance dan efektivitas layanan pemerintahan di sektor kelautan dan perikanan. Menurut Yusran, ada dua kata kunci di program aparat dan birokrasi pemerintah Sulsel saat ini, yaitu responsif governance dan efektivitas melalui harmonisasi semua level pemerintahan.

“Di sektor kelautan dan perikanan ada kendala dan tantangan berat. Ini terjadi sejak pemberlakuan UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah di mana kewenangan ditarik ke provinsi,” jelasnya.

Menurutnya, konservasi, perikanan tangkap, perizinan dan pengawasan serta penataan ruang jadi kewenangan provinsi dengan wilayah kelola sangat luas mencakup 18 kabupaten dengan luas 94.399,85 km2.

“Dampaknya, masyarakat semakin jauh dari akses pelayanan sektor kemaritiman karena harus ke provinsi. Praktik illegal fishing sulit ditangani dengan keterbatasan pengawasan dari provinsi serta hambatan birokrasi lainnya.”

Terkait hal ini, ada sejumlah rekomendasi yang disampaikan Yusran, yaitu menata dengan baik birokrasi pemerintahan terutama transfer P3D (Personalia, Pendanaan, Sarana dan Prasarana, Dokumen) akibat alih kewenangan di bidang perikanan tangkap, termasuk perizinan, pengawasan, konservasi dan penataan ruang.

Pemerintah juga diharapkan menata prosedur perizinan penangkapan ikan, khususnya ukuran kapal 10 – 30 GT agar lebih proaktif dan responsif di mana inovasi bentuk harmonisasi dan sinergi DKP provinsi dan kabupaten diperlukan.

Harapan lainnya agar pemerintah memformulasi ulang sistem pengawasan perikanan di Sulsel dengan mempertimbangkan minimnya SDM pengawasan provinsi dan ketersediaan SDM Kabupaten/kota.

“Pemprov juga harus menetapkan kluster pengembangan wilayah untuk mendorong kawasan strategis provinsi di sektor maritim dan sentra pengembangan sebagai pusat pertumbuhan baru.”

baca juga : Sarat Masalah, Aktivis Minta Pembahasan RZWP3K Sulsel Ditunda

 

Seorang nelayan sedang menjemur ikan hasil tangkapannya di kawasan TN Takabonerate, Sulsel. Foto : Asri/TN Takabonerate/Mongabay Indonesia

 

Isu kedua terkait revitalisasi perikanan menuju Sulsel sebagai lumbung pangan dari laut.

“Sulsel memiliki sumber daya laut melimpah, yang berpotensi menjadikan Sulsel sebagai poros pangan Indonesia dari laut, baik dari budidaya maupun penangkapan. Berbagai persoalan dihadapi nelayan dengan keterbatasan alat tangkap yang memadai,” jelasnya.

Terkait hal ini, rekomendasi yang disampaikan Yusran adalah agar pemerintah memfasilitasi modernisasi armada perikanan tangkap bagi nelayan.

Pemerintah juga diharapkan melakukan pembenahan sistem logistik perikanan untuk menjamin keberlanjutan pasokan untuk kebutuhan konsumsi, industri pengolahan dan kebutuhan ekspor, serta memperbaiki pengelolaan pasca tangkap terutama pembenahan rantai dingin produk perikanan untuk menjamin mutu.

Direkomendasikan juga diversifikasi komoditas unggulan perikanan dengan melihat kecenderungan pasar dan tren produksi perikanan Sulsel.

“Selain itu infrastruktur dasar pendukung industri perikanan perlu dikembangkan di sentra-sentra perikanan Sulsel misalnya pabrik pakan, cold storage dan pelabuhan perikanan,” tambahnya.

Yusran juga mengusulkan perlunya revitalisasi budidaya pantai maupun perairan agar dapat mengatasi gagal panen dan rendah produksi melalui pembenahan sistem budidaya, dukungan tenaga terdidik atau penyuluh yang memadai dan tata kelola ekosistem yang ramah.

“Terakhir, terkait hal ini adalah revitalisasi bandara sebagai hub ekonomi Sulsel terutama dari sektor perikanan.”

baca juga :  Ini Harapan Masyarakat Sipil untuk Gubernur Sulsel yang Baru

 

Beberapa tahun terakhir hasil tangkapan ikan nelayan di Pulau Barrang Caddi, salah satu pulau di Kota Makassar, Sulawesi Selatan mulai berkurang. Dalam sehari mereka kadang hanya bisa menangkap beberapa ekor ikan dan bahkan kadang tidak ada tangkapan sama sekali. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Isu ketiga adalah percepatan terbitnya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) sebagai acuan pengalokasian ruang pesisir dan laut.

Saat ini, Ranperda RZWP3K sedang dibahas di DPRD Sulsel. Sebagai alat kendali pembangunan, dokumen perencanaan ini perlu segera ditetapkan agar Sulsel memiliki rujukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di pesisir dan laut.

Terkait hal ini rekomendasi untuk Pemprov Sulsel adalah memastikan peran setara dokumen RZWP3K dengan dokumen RTRW dalam pengendalian pemanfaatan ruang dengan ranah ruang berbeda.

Selanjutnya adalah mendorong percepatan pembahasan dan penetapan Perda RZWP3K.

“Namun sebelumnya, pemerintah perlu meninjau ulang beberapa alokasi ruang yang berpotensi merusak, seperti alokasi ruang zona jasa dan perdagangan yang secara khusus diarahkan untuk mengakomodir reklamasi di Sulsel sebesar 3.849.98 ha dan alokasi ruang tambang pasir laut mencapai 26.262,54 ha.”

baca juga :  Nelayan Takalar Tuntut Ruang Tambang Pasir Laut Dihapus dari RZWP3K

 

Mobilisasi warga Takalar untuk turun ke pantai diumumkan di masjid-masjid dan mendapat respon yang cukup besar. Ratusan warga di setiap desa menyatakan mendukung gerakan penolakan tambang pasir tersebut karena berdampak langsung dengan sumber mata pencaharian mereka. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Isu keempat adalah pembenahan kawasan konservasi, pariwisata dan pengendalian aktivitas berpotensi merusak.

Hingga saat ini praktek perikanan merusak masih marak terjadi. Tidak hanya di kawasan pemanfaatan atau zona penangkapan ikan, tapi juga di kawasan konservasi seperti TN Takabonerate, TWAL Kapoposang dan sejumlah Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Sulawesi Selatan.

Pencemaran laut juga menjadi masalah besar. Limbah domestik maupun industri semuanya mengarah ke laut tanpa penanganan sebelumnya.

“Malah di Sulsel sedang banyak dibangun PLTU antara lain di Lampoko, Barru, Jeneponto, rencana di Ampekale, Maros dan lokasi lainnya. Semua diletakkan di pesisir. Ini jadi persoalan tersendiri.”

Rekomendasi terkait hal ini adalah agar Pemprov Sulsel menindaklanjuti penetapan sejumlah KKPD yang menjadi kewenangan provinsi melalui penetapan Menteri Kelautan dan Perikanan.

“Beberapa di antaranya telah lengkap kajiannya dan telah dicadangkan oleh kabupaten tetapi mandek prosesnya akibat pelimpahan kewenangan,” jelas Yusran.

Selain itu, Yusran menilai perlu ada sinkronisasi rencana KKPD dengan dokumen dan menjadikan kawasan konservasi baik taman nasional, TWAL maupun KKPD sebagai kawasan pariwisata andalan provinsi Sulawesi Selatan.

Pemerintah juga diharapkan memberikan perhatian yang besar terhadap penanganan perikanan merusak melalui penguatan satgas khusus terintegrasi berbasis darat dan laut.

“Tak kalah pentingnya adalah pemerintah harus mengendalikan penggunaan ruang pesisir yang berpotensi merusak seperti pembangunan PLTU yang sebagian besar di pesisir melalui pengetatan proses perizinan dan tata laksana kegiatan di pesisir dan laut.”

 

Pulau Rajuni sebagai salah satu pulau di Kawasan TN Takabonerate hingga kini masih marak terjadi destructive fishing. Kerap terjadi konflik antara nelayan dan petugas patroli TN Takabonerate. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Isu kelima adalah pengentasan kemiskinan pesisir. Jumlah penduduk Sulsel mencapai 8,6 juta jiwa dengan tingkat kemiskinan tahun 2017 sebesar 9,83 % (813,07 ribu jiwa) yang sebagian besar berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Karenanya jika ingin menurunkan angka kemiskinan, program pengentasan kemiskinan haruslah peka dan adaptif terhadap karakter masyarakat pesisir dan pulau ini.”

Rekomendasi terkait hal ini adalah agar pemerintah mendekatkan akses pelayanan dasar bagi masyarakat pesisir dan pulau kecil.

Pemerintah juga perlu memberikan supervisi dan peningkatan kapasitas bagi desa-desa pesisir agar dapat mengoptimalkan potensi dana desa bersinergi dengan APBD kabupaten/kota dan provinsi untuk menggerakkan ekonomi desa.

“Kita juga berharap pemerintah melakukan inovasi pelayanan dasar masyarakat pesisir dan pulau kecil, misalnya sinergi reguler dan sinambung dengan KKN profesi di berbagai universitas. Begitu juga dengan sektor kesehatan dan layanan publik lainnya.”

Yusran juga menyarankan optimalisasi program layanan listrik dan kebutuhan air bersih bagi pulau kecil yang telah ada dan mengevaluasi sarana listrik dan pengolahan air di pulau-pulau yang sudah dibangun.

“Sebagian besar mangkrak karena salah satu peralatan rusak dan salah urus. Prioritas dapat berupa pembenahan dan perbaikan infrastruktur yang ada dan perbaikan manajemen.”

 

Exit mobile version