Mongabay.co.id

Penyelundupan 40 Kontainer Kayu Merbau Asal Papua Digagalkan, Bukti Pembalakan Liar Marak

 

Sebanyak 40 kontainer kayu ilegal asal Sorong, Papua Barat, diamankan petugas Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kayu gergajian jenis merbau yang diangkut menggunakan Kapal Hijau Jelita, dari Sorong pada 25 November 2018 dan tiba di Surabaya tanggal 1 Desember 2018, tidak dilengkapi dokumen resmi dan tidak pula tercatat pada sistem tata usaha kayu (SIPUH).

“Setelah dilacak, tidak ada dalam sistem,” kata Sustyo Iriyono, Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan, sekaligus Kepala Satgas Penyelamatan Sumber Daya Alam, KLHK di Surabaya, Jawa Timur, baru-baru ini.

Operasi gabungan itu juga mengungkap dua industri, yakni CV. MAR di Pasuruan, dan PT. SUAI di Gresik, yang diduga kuat sebagai penadah kayu-kayu haram tersebut. Masing-masing industri telah menerima paket 3 kontainer, sedangkan 34 kontainer masih tertahan di depo pengangkutan pelayaran milik PT. SPIL.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani menuturkan, langkah ini merupakan komitmen pemerintah menyelamatkan sumber daya alam Indonesia dari ancaman kerusakan dan bencana ekologis. Perdagangan kayu ilegal merupakan kejahatan serius terorganisir.

“Hitungannya, negara dirugikan sekitar Rp12 miliar. Setiap kontainer diperkirakan berisi 16 kubik kayu gergaji berbagai ukuran. Bentuk kejahatan ini mengganggu ekosistem dan merusak kekayaan hayati,” ujarnya.

 

Petugas dari KLHK memeriksa kontainer berisi kayu ilegal asal Soring, Papua, yang diselundupkan ke Surabaya. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Ridho menjelaskan, penyidik KLHK masih melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah orang yang terlibat dan akan terus mengembangkan kemungkinan keterlibatan korporasi. “Kami tengah periksa dua perusahaan di Gresik dan Pasuruan tersebut,” jelasnya.

Persoalan illegal logging kata Ridho, memiliki beberapa modus, seperti bekerja sama dengan perusahaan yang punya izin yang kemudian kayu itu “dicuci”. Sementara pengiriman ke kota tujuan, termasuk ke Surabaya, menggunakan dokumen atau surat-surat yang dipalsukan. Dua perusahaan IUIPHHK yang kedapatan menampung kayu ilegal ini diancam hukuman Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, tentang Pencegahan dan Pemberatasan Perusakan Hutan.

Dalam 3 tahun terakhir, KLHK telah menggugat belasan perusahaan yang merusak lingkungan, khususnya hutan. “Ada perusahaan yang dinyatakan bersalah, bayar ganti rugi dan biaya pemulihan sebesar Rp18,4 triliun, itu yang perdata. Untuk pidana ada yang sudah dipenjara, semuanya terkait kebakaran hutan dan lahan, maupun perusahaan tambang,” paparnya.

 

Petugas menunjukkan jenis kayu merbau gergajian di dalam kontainer. Foto Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Bersikap Tegas

Koordinator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Jawa Timur, Muhammad Ichwan, mengapresiasi upaya KLHK yang melakukan penegakan hukum tersebut. Penindakan ini harus ditindaklanjuti dengan menelusuri pihak-pihak yang terlibat, terutama perusahaan penyuplai dan penerima atau penadah pasokan kayu ilegal.

“Perusahaan itu harus diaudit khusus oleh lembaga sertifikasi, lalu dibekukan atau dicabut izinnya karena tidak patuh pada aturan SVLK. Penyelundupan ini bukti pembalakan kayu di Papua masih marak. Perlu keseriusan para pihak mengawasi, baik pemerintah, penegak hukum maupun civil society, praktik pembalakan maupun perdagangan kayu ilegal,” katanya.

Ichwan menyebut dua perusahaan tersebut merupakan “pemain” lama industri perkayuan. Menurut dia, para “pemain” itu mudah berganti nama industri dan menghilangkan jejak asal kayu ilegal yang diterimanya. “Untuk kasus illegal logging di Surabaya, didominasi pemain lama semua, jaringannya sama. Nantinya, kayu tersebut diolah lagi dengan tujuan ekspor.”

Ichwan menyebut, sepanjang 2018, aktivitas ekspor produk kayu terbanyak di Indonesia dilakukan melalui Pelabuhan Tanjung Perak. Tujuannya, China, Eropa, Timur Tengah dan Australia. Untuk itu, KLHK harus bersikap tegas, menggugat pidana pelaku disertai mencabut izinnya.

“Selama ini kita hanya tahu pengungkapan barang bukti saja, sedangkan hukuman sering samar. Terakhir itu kasus Labora Sitorus, setelahnya kita belum mendengar sanksi untuk perusahaan dan hukuman pidana perusak hutan,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version