Herman Tanoy, Kepala Badan Musyawarah Kampung Waninggap Nanggo, Merauke, Papua, kesal tak bisa berbuat apa-apa kala melihat truk lalu lalang membawa pasir lewat depan rumahnya.
Halaman rumah itu rindang. Pohon mangga menutupi halaman depan rumah. Ada juga sagu dan pisang. Mangga rindang dan berbagai tanaman inilah yang melindungi dia dan keluarga terkena langsung debu-debu truk yang lalu lalang.
Menurut Herman, truk angkut pasir beroperasi 24 jam, meninggalkan debu tebal di perumahan sepanjang jalan ini. Kampung ini sekitar 320 keluarga.
Di tikungan Paal Putih, nama sejak zaman Belanda, sebagai tambatan perahu para misonaris Katolik. Ia menghubungkan semua kampung sepanjang jalur ini.
Pada ujung jalan keluar dari Paal Putih, kondisi makin parah dan membentuk lubang besar. Jalan terputus. Bila hendak menuju ke sana, satu-satunya pakai kendaraan roda dua ke Kampung Wendu, masuk Dusun Bahor. Ke sana, perlu ojek Rp100.000. Awalnya saya agak sulit ke sana, lalu minta bantuan Herman agar bisa ikut truk pasir. Kalau carter mobil bayar Rp200.000-Rp300.000.
Dampak penggalian pasir, dua dusun lumpuh. Paling parah kalau ada perempuan hendak melahirkan. Herman bilang, harus menyetop mobil atau ojek agar mengantar ke Puskesmas atau si ibu melahirkan di jalan.
Dulu, katanya, waktu jalan masih bagus, transportasi antar kampung hanya perlu Rp10.000.
Pemerintah Merauke, seakan tutup mata melihat kondisi jalan warga yang rata-rata orang Marind ini. Dari Paal Putih, mata saya tertuju pada pemandangan aneh di sebelah kiri. Tampak beberapa kelapa dengan bagian bawah tergerus hingga akar terlihat. Juga tampak beberapa batang kelapa tergeletak di tempat ini. Di sebelah kanan, tumbuh bakau, tetapi sudah rusak bekas tebangan untuk pagar. Penggalian pasir lebih parah lagi.
Herman bilang, hampir setiap hari, siang dan malam warga menggali pasir untuk mendapatkan uang. Mereka, katanya, hanya tergantung dari jual pasir. “Mereka bekerja sama dengan makelar pasir, tetapi ke depan tak punya pendapatan lagi karena air laut kasih habis [pasir]. Penggali mendapatkan izin dari pemilik tanah,” katanya.
Penggali juga bekerja sama dengan sopir truk. Sopir truk selain membawa pasir juga memasok makanan untuk para penggali. Sopir juga kerjasama dengan makelar. Penggali pasir kadang sekaligus pemilik ulayat di kampung itu. “Sopir telah tahu harga pasir dan tempat-tempat mengangkutnya, karena sopir penduduk setempat.”
Dia khawatir, kalau badai atau air pasang laut melanda pesisir pantai ini karena Merauke lebih rendah dari Laut Arafura. Kampung-kampung ini seperti Kuler, Ndalir, Nasem, Yobar, Lampu Satu, Waninggap Nanggo, Wendu, Anasai, Onggari, dan Okaba, bila terjadi penggalian pasir akan berhadapan langsung dengan laut.
Tak hanya jalan rusak, beberapa jembatan putus seperti Kali Anasai, Matara dan Ndalir.
“Untung jembatan yang menghubungkan Matara, Wendu dan Anasai, dalam perbaikan.”
Secara alami, letak Merauke, berhadapan dengan Laut Arafura, kontur tanah berpasir dan lebih rendah air laut. Bila terus tergali, satu saat ombak menyapu bersih kampung-kampung yang terus menggali pasir.
Harga pasir pantai berkisar Rp50.000 per sekali angkut, ada yang lebih rendah. Bila pasir di darat, harga Rp150.000-Rp200.000.
Herman pernah melarang warga kampung menggali pasir. “Karena merusak pantai, baik bercocok tanam, toh masih ada pisang, ikan, sagu, kelapa, umbi-imbian, padi. Bila lewat tanaman lumayan banyak, ditambah ikan dari parit, luar biasa. Atau udang atau ikan di laut sangat kaya.”
“Jangan tergantung pasir saja, karena bukan makan pasir, bercocok tanam, lebih bagus lagi.”
Herman tak terima seakan membiarkan kerusakan alam terjadi. “Mencari cari uang gampang jadi makelar pasir, penggali dan tinggal terima,” katanya, seraya bilang, makelar pasir ini mencari kesempatan karena Dinas Pertambangan, belum menindak.
Setiap penggalian pasir golongan C harus diketahui Dinas Pertambangan Papua. “Yang terjadi di Merauke, zaman masih kewenagan ada dari kabupaten, izin keluar atas nama tanah timbun tetapi berubah galian pasir.“
Yoseph Gebze, Kabag Hukum Pemerintah Merauke menyebut, terkait izin tambang bahan galian golongan C atau bahan mineral logam dan batuan soal itu kewenangan Pemerintah Papua. Di Merauke, katanya, Pemerintah Merauke menerapkan pengawasan gunakan Perda Ketertiban Umum.
Di dalamnya mengatur, siapapun baik perorangan atau badan hukum, yang menambang pasir tanpa izin bisa kena pidana ketertiban umum.
Pemerintah Merauke masih punya kewenangan pengawasan bahan tambang bahan mineral bukan logam. Pemerintah Merauke, beberapa kesempatan memberikan laporan ke Papua, bahwa di Merauke tejadi penambangan pasir pantai.
Gebze bilang, sedang menunggu Suku Dinas Pertambangan Papua buka cabang di Merauke. ”Kita berpikir semua lakukan pengawasan termasuk lembaga adat Marind.”
Perlu tegas
Elias Refra, Kasatpol PP menilai, sebagai penegak Perda Merauke, bilang pengambilan pasir ini bukan berarti pelaksana Perda Merauke, diam. Dia setuju, pelaku harus ditindak tegas agar ada efek jera.
Dia mengingatkan, jangan sampai pengalaman di Muting– sawit sudah tumbuh—, sekarang tanah tandus. “Mungkin burung juga sudah tidak ada tempat berteduh dan hinggap.”
Albertus Moywen Gebze, anggota Majalelis Rakyat Papua, Pokja adat asal Merauke mengatakan, salah satu dosa besar warga adalah mengambil pasir dan menjual.
Bila warga gali terus, katanya, berarti mereka anggap tanah ini bukan milik mereka. “Padahal, tanah dianggap ibu… Oknum warga seperti ini tak punya penghargaan terhadap mama dan leluhur.”
Amin Suprajitno, dari Balai Taman Nasional Wasur sependapat dengan ini. Dia bilang, penggalian pasir serupa di Kampung Kuler—dalam Taman Nasional Wasur–, makin meluas. “Illegal logging, penebangan hutan, dan perburuan satwa makin marak.”
Petugas, katanya, tak bisa menindak karena mereka bilang wilayah itu turun temurun hak ulayat. “Penggalian pasir sangat merusak lingkungan, jalan dan jembatan rusak, roda perekonomian lumpuh total.”
Keterangan foto utama: Kondisi Pantai Lampu Satu sekarang abrasi, karena pengambilan pasir laut, rumah penduduk hampir roboh. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia