Mongabay.co.id

Bagaimana Praktik Perusahaan Pengolahan Tuna di Indonesia Sekarang?

Lembaga nirlaba Greenpeace Asia Tenggara merilis data terbaru peringkat pengalengan tuna di wilayah Asia Tenggara. Dari data yang dirilis dua pekan lalu itu, lima dari 23 perusahan yang ikut dalam survei, dinyatakan sudah masuk dalam peringkat hijau dan bisa naik kelas. Namun, sisanya dinyatakan tidak lolos memenuhi kriteria hijau yang ditetapkan.

Juru Kampanye Laut Greenpeace untuk Indonesia dan Asia Tenggara Arifsyah Nasution mengatakan, negara-negara yang diikutsertakan dalam survei berlokasi di Indonesia, Filipina, dan Thailand. Semua perusahaan tersebut, dinilai berdasarkan komitmen dan kebijakan mereka dalam pemenuhan aspek berkelanjutan, keterbukaan, dan keadilan etika perikanan.

Dari lima perusahaan yang mendapatkan nilai hijau dan dinyatakan sudah naik kelas, dari data Greenpeace Asia Tenggara, tiga perusahaan di antaranya berlokasi di Indonesia. Sementara, dua perusahaan lainnya masing-masing berlokasi di Thailand dan Filipina. Semua perusahaan yang lolos dan tidak tersebut diungkap dalam sebuah laporan khusus “Dari Laut ke Kaleng: Laporan Peringkat Pengalengan Tuna Asia Tenggara 2018”.

Arifsyah merinci, kelima perusahaan tersebut adalah PT International Alliance Foods Indonesia, PT Samudera Mandiri Sentosa, PT Sinar Pure Foods International (Indonesia, Alliance Select Foods International (Filipina), dan Tops Supermarket (Thailand).

baca :  Ternyata, Industri Pengalengan Ikan Tuna di Indonesia Masih Buruk

 

Nelayan melakukan bongkar muat ikan hasil tangkapan, termasuk ikan tuna di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada akhir November 2015. Foto : Jay Fajar

 

Menurut Arifsyah, hingga saat ini tuna masih terus menjadi salah komoditas ikan paling berharga di dunia. Dan, dari semua produsen tuna di dunia, negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam tercatat masuk dalam sepuluh besar negara eksportir tuna olahan dalam kaleng.

“Keempat negara tersebut menghasilkan USD3,016 miliar dan pada 2017, total ekspor produk tuna kaleng tercatat sebesar USD7 miliar,” jelasnya.

Arifsyah mengatakan, pemeringkatan yang dilaksanakan oleh Greenpace Asia Tenggara dilakukan melalui proses pendekatan yang pro aktif selama tiga tahun. Selama proses tersebut, merek dan perusahaan yang dilibatkan akhirnya mulai terbuka dan bisa lebih baik dalam bekerja sama dengan lembaga nirlaba tersebut.

“Selama tiga tahun, merek dan perusahaan juga lebih terbuka dan kolaboratif dengan konsumen dalam memperbaiki rantai pasok mereka,” tuturnya.

 

Perikanan Bertanggung Jawab

Akan tetapi, menurut Arifsyah, walau sudah jauh lebih baik dalam memberikan respon, merek dan perusahaan tersebut dinilai belum cukup tepat melakukan aksi perubahan yang dibutuhkan untuk melindungi lautan dan mendukung perikanan yang lebih bertanggung jawab dan adil. Fakta itu menjadi pekerjaan rumah yang harus diperbaiki oleh merek dan perusahaan yang dimaksud.

Sebelum merilis data pada 2018, Arifsyah menyebutkan, Greenpeace lebih dulu merilis data serupa pada 2015. Pada tahun tersebut, Greenpeace mulai mengevaluasi sejumlah perusahaan pengalengan tuna dan merek di Asia Tenggara. Pemeringkatan yang dilakukan saat itu, didorong oleh dampak praktik penangkapan ikan yang ilegal dan merusak, serta penangkapan ikan berlebihan terhadap stok tuna global.

Arifsyah menambahkan, hampir empat tahun lalu, Greenpace merilis laporan tentang pemeringkatan tersebut ketika persediaan tuna secara global mengalami tekanan hebat. Hal itu terjadi karena saat itu praktik penangkapan ikan berlangsung secara berlebihan dan dilakukan dengan cara merusak (destruktif).

“Saat itu, penangkapan ikan secara ilegal, tidak tercatat, dan tidak diatur atau Illegal, Unreported, Unregulated fishing atau IUUF masih merajalela di wilayah Asia Tenggara,” ungkap dia.

Atas dasar di atas, Uni Eropa (UE) yang menjadi salah satu pengimpor tuna terbesar untuk Asia Tenggara, mengeluarkan sanksi kartu kuning terhadap Thailand pada 2015 dan kemudian disusul Vietnam pada 2017. Kedua negara tersebut diberi sanksi, karena gagal memerangi IUUF. Hingga saat ini, sanksi dari UE masih diberlakukan kepada kedua negara tersebut, karena dinilai masih belum memenuhi aspek kepatuhan yang ditetapkan oleh UE.

baca juga :  Industri Pengalengan Tuna Masih Jauh dari Keberlanjutan. Kenapa?

 

Ikan tuna hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Lampulo, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Adapun, peringkat tuna yang dikeluarkan Greenpeace mengevaluasi perusahaan pengalengan dengan melihat tujuh hal dalam proses memperoleh tuna mereka. Untuk itu, perusahaan sangat didorong untuk mendukung penangkapan tuna dengan metode yang lebih bertanggung jawab, seperti huhate (pole and line), pancing (handline), pancing tonda (troll) atau tidak menggunakan rumpon (Fish Aggregating Devices/FADs) terutama untuk kapal jaring lingkar (purse seines).

Sementara, untuk penilaian yang dilakukan pada 2018, Arifsyah menjelaskan, adalah beberapa perbaikan penting yang sudah dilakukan pada sektor penangkapan tuna. Di antaranya, kini semakin banyak perusahaan yang memiliki kebijakan lebih ketat dalam ketertelusuran dan keberlanjutan, yang menghasilkan peningkatan pengadaan tuna yang ditangkap secara berkelanjutan.

Pada momen tersebut, saat ini tercatat sudah ada sebelas perusahaan yang menggunakan huhate, dan sebelas perusahaan yang menggunakan kapal jaring tanpa memakai rumpon. Kemajuan tersebut, menjadi bukti bahwa kesadaran perusahaan semakin meningkat terhadap isu-isu yang berkaitan dengan keberlanjutan dan terhadap isu-isu perbudakan di laut.

“Terjadi juga peningkatan langkah-langkah untuk menghindari tuna yang diperoleh dengan melanggar hak asasi manusia dan penyalahgunaan tenaga kerja,” ucapnya.

Arifsyah juga menyatakan, kampanye penyadartahuan tentang pentingnya menerapkan prinsip berkelanjutan dan kepatuhan terhadap hukum, melahirkan kemudahan bagi konsumen untuk mendapatkan akses dan informasi yang lebih lebih banyak terhadap produk. Informasi tersebut, mencakup juga pelabelan yang lebih baik pada titik penjualan yang bertujuan untuk mengidentifikasi jenis dan bagaimana proses penangkapan tuna tersebut.

baca juga : Produk Tuna dari Indonesia Harus Penuhi Prinsip Ketertelusuran, Seperti Apa?

 

Anak buah kapal membongkar ikan tuna beku di Pelabuhan Benoa, Bali. ABK termasuk yang rentan menjadi korban perdagangan manusia dan eksploitasi tenaga kerja. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Anakan Tuna

Dalam membangun perikanan tuna yang lebih baik, Greenpeace terus membangun dialog konstruktif dengan perusahaan tuna besar melalui komunikasi reguler. Dari komunikasi itu, terungkap bahwa Indonesia dan Filipina hingga saat ini masih terus menangkap anakan (juvenile) Tuna Sirip Kuning (yellowfin tuna), dan Tuna Mata Besar (bigeye tuna) yang berukuran panjang 20 hingga 50 centimeter.

Umumnya, kata Arifsyah, praktik tersebut dilakukan dengan armada jaring lingkat (purse seiner). Praktik seperti itu, akan mengancam dan memberi dampak buru terhadap kesehatan stok tuna dan sekaligus ekosistem laut. Untuk itu, aktivitas seperti itu harus bisa dikendalikan dengan sangat ketat oleh perusahaan.

“Transparansi adalah kunci. Ketika kita mengapresiasi dialog yang konstruktif dengan perusahaan-perusahaan pengalengan ini, kami ingin melihat akuntabilitas dan tanggung jawab mereka terhadap konsumen di kawasan Asia Tenggara. Jika tidak ada yang disembunyikan, maka informasi mendasar mengenai produk mereka itu penting untuk dibagikan,” tegasnya.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Nilanto Perbowo mengatakan, praktik penangkapan tuna hingga saat ini memang masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Indonesia. Hal itu terutama, karena tuna adalah komoditas perikanan yang paling diunggulkan di pasar internasional. Pemanfaatannya, harus dilakukan dengan cara yang benar dan baik.

“Ini memang yang menjadi perhatian bersama, siapapun yang independen untuk melakukan evaluasi. Ini penting, untuk mendukung, terutama untuk memastikan bahwa praktik SOP (standard operating procedure) di dalam pengalengan itu dilaksanakan secara ketat,” ungkap dia.

Adapun, Nilanto menjabarkan, dalam praktik perikanan tuna, ada SOP yang harus dipatuhi oleh perusahaan, yakni mendapatkan sertifikat Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan sertifikat kelayakan pengolahan (SKP). Kedua sertifikat tersebut akan menjelaskan bagaimana proses penangkapan dan pengolahan tuna hingga menjadi produk yang dikalengkan.

“Semua negara mengikuti ketentuan dari codex palmintarius, yaitu kode praktik atau code of practice untuk ikan dan produk perikanan lain. Yang kedua, lebih penting lagi, bagaimana kesadaran dan kepatuhan para operator tadi, untuk tidak membuang sampah sembarangan. Ini yang kita pelototin. Mudah-mudahan dengan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) kita bisa perbaiki semuanya ya,” pungkasnya.

 

Exit mobile version