Mongabay.co.id

Bupati Lamandau Bahas Wilayah Kinipan, BPN: Masih Bisa Dikeluarkan dari Konsesi

Pembukaan lahan untuk kebun sawit yang berkonflik dengan Komunitas Adat Laman Kinipan di Lamandau. Kinipan, perlu pengakuan dan perlindungan wilayah adat. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

Pemerintah Kabupaten Lamandau akhirnya menggelar pertemuan ‘mediasi sengketa’ lahan antara komunitas adat Laman Kinipan dan PT Sawit Mandiri Lestari, meskipun begitu belum menemukan titik temu. Pemerintah Lamandau meminta kedua belah pihak bernegosiasi soal tatabatas antardesa Kinipan dan Batangkawa.

 

Pertemuan antara komunitas adat Laman Kinipan dan PT Sawit Mandiri Lestari (SML), berlangsung di Aula Kantor Bupati Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Rabu sore (5/12/18). Mediasi ini merespon warga Laman Kinipan, yang memprotes hutan adat mereka diterabas SML. Pertemuan ini juga sejatinya tindak lanjut dari permintaan Kantor Staf Presiden (KSP), setelah menggelar pertemuan dengan SML dan Pemerintah Lamandau pada 10 Oktober 2018.

Baca juga:   Warga Laman Kinipan Minta Pemimpin Lamandau Lindungi Hutan Adat Mereka

KSP yang sebelumnya sudah beberapa kali menanyakan soal pertemuan kepada Pemerintah Lamandau, tak bisa hadir dalam mediasi sore itu. Abetnego Tarigan, Tenaga Ahli KSP mengatakan, undangan pertemuan mereka terima sehari sebelum mediasi. “Jadi secara teknis tidak memungkinkan [datang],” katanya melalui pesan Whatsapp, Jumat (7/12/18).

Baca juga:   SML Bantah Tudingan Caplok Lahan, Begini Jawaban Tetua Adat Kinipan

Komunitas Laman Kinipan pun merasa undangan pertemuan mendadak. Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, baru menerima undangan juga sehari sebelum acara berlangsung. “Sudah pukul 5.00 sore saya dapat informasinya. Itu pun dari WA (Whatsapp-red). Mendadak,” katanya.

Kendati begitu Buhing mengapresiasi undangan ini karena sejak 2012 ketika pertama kali SML ingin membuka plasma sawit di Kinipan dan berbuah penolakan, baru kali ini Pemeirntah Lamandau, adakan pertemuan.

 

Tanpa media

Sayangnya, dalam pertemuan itu wartawan dilarang menyaksikan langsung. Mongabay yang sempat berada di ruangan beberapa menit sebelum acara dimulai, diminta keluar oleh staf Pemkab Lamandau.

Baca juga:   Begini Nasib Hutan Adat Laman Kinipan Kala Investasi Sawit Datang

Di luar ruangan, juga sempat terjadi adu argumentasi antara wartawan yang dilarang masuk dengan petugas Satpol PP.

Para undangan dari Laman Kinipan pun dibuat kaget karena petugas Satpol PP bikin aturan ketat. Bak masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas), mereka dilarang membawa masuk tas dan telepon seluler.

Sebagian besar undangan terlihat mematuhi aturan, walau tampak terlihat raut muka terpaksa. Namun, beberapa orang tak menggubris, tetap membawa telepon seluler ke dalam ruangan.

“Kami ini orang hulu, orang udik, tidak bisa dibeginikan. Jangan bikin kami takut. Kalau hilang atau diapa-apakan siapa yang tanggung jawab?” komentar Emban, warga adat Laman Kinipan yang menolak meninggalkan telepon selulernya.

Pertemuan itu berlangsung selama sekitar tiga jam, mulai pukul 14.30. Tampak hadir, selain warga Desa Kinipan, Bupati Lamandau Hendra Lesmana, Chief Operation SML, Haeruddin Tahir dan staf, perwakilan Kejaksaan Negeri dan Kepolisian Lamandau.

 

Deforestasi, salah satu penyebab makin cepat pelepasan emisi karbon. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Yang menarik, dari Kinipan, bukan hanya perwakilan komunitas adat dan pengurus desa yang hadir, juga sejumlah warga Kinipan yang mendukung perusahaan, dan yang bekerja di SML. Di luar aula pertemuan, tampak belasan karyawan SML. Sebagian kerja di bagian sekuriti. Turut pula keluarga, anak dan istri mereka.

Usai pertemuan, Haeruddin Tahir, sangat irit bicara pada media. “Apa yang mau kusampaikan. Coba minta notulennya,” kata Tahir.

Setelah didesak sejumlah wartawan, Tahir mengatakan juga beberapa patah kata. “Kami dengan Kinipan tidak bermusuhan. Mereka saudara-saudara kami. Cuma mungkin sedikit berbeda pendapat saja. Nanti juga akan ketemu. Kami berbeda pendapat karena izin lengkap. Tapi itu sudah difasilitasi oleh pemerintah daerah,” katanya.

Dia mengatakan, SML tak akan mundur dari rencana pembukaan kebun di Kinipan, kendati masih ada penolakan masyarakat. “Ya enggak boleh [mundur]. Masa’ masalah sedikit, ngalah. Masyarakat tinggal kita edukasi. Kan bukan peran perusahaan saja, pemerintah juga.”

 

Kata Bupati Lamandau…

Ditemui di ruang kerja usai pertemuan, Hendra Lesmana mengatakan, SML telah memiliki izin sejak 2012. Kinipan, katanya, diplot jadi bagian kebun plasma dengan produktivitas tinggi dalam sistem kluster SML.

“Dengan adat, pemerintah daerah sudah panjang lebar mendorong kedua belah pihak untuk sama-sama, di tingkat tahapan bawahnya lagi untuk mencari win win solution. Gimana Kinipan, bagaimana SML, dengan plasma yang akan dibuka di daerah mereka. Jadi harus jelas ya. Di sana itu lahan plasma, bukan inti,” kata Hendra.

Dia beranggapan warga Kinipan, tidak menolak sawit karena sudah ada warga yang akan bekerja sama dengan SML, melepaskan tanah seluas 90 hektar. “Tadi hadir warga dengan motif mungkin ekonomi, bagaimana lahan ini agar bisa dimanfaatkan. Dengan kesulitan larangan membakar segala macam, ya sudah mengerjasamakan dengan SML saja. Jadi di masyarakat pun, ada dua opsi,” katanya.

Bupati yang terpilh dalam pilkada serentak 2018 ini mengatakan, dulu lahan yang diklaim milik adat Kinipan itu bekas hak pengusahaan hutan (HPH), PT Amprah Mitra Jaya. ”HPH sudah selesai, dikembalikan ke negara. Negara melepaskan lagi,” kata Hendra, juga mantan direktur perusahaan HPH yang disebutkan itu.

Dengan begitu, katanya, sulit bagi pemerintah daerah memberikan pengakuan hutan adat yang diminta Komunitas Laman Kinipan, sejak periode bupati sebelumnya, Marukan.

“Kita harus dudukkan, tidak mungkin mengeluarkan SK hutan adat di atas izin. Itu pasti akan jadi polemik hukum,” kata Hendra.

Meskipun begitu, katanya, soal warisan adat dan budaya masyarakat, bisa dibicarakan lebih lanjut antara SML dan Laman Kinipan.

“Nanti permufakatan antara SML dengan Kinipan, apakah mereka menyisihkan seperti yang camat (Batangkawa) sampaikan, enclave situs, tanaman buah yang bernilai ekonomi tinggi. Sama juga seperti Bu Pendeta yang dari Kinipan, juga menyampaikan seperti itu.” “Artinya mereka tidak saklek-lah.” Dalam pertemuan tertutup buat wartawan itu, menurut bupati, Camat Batangkawa dan Pendeta dari Kinipan, menyampaikan usul seperti itu.

Soal peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, bupati menanti inisiatif DPRD Lamandau. “Ya, kita lihat rancangan peraturan inisiasi dewan ya. Kita lihat karena penyampaian di sana. Dalam penjaminan hak adat tetap bisa kita aspirasikan.” Kembali dia menegaskan, dalam konteks menetapkan hutan adat, tidak mungkin tumpang tindih.

Selain itu, katanya, dalam menyelesaikan sengketa SML dan Kinipan, terlebih dahulu harus menuntaskan masalah tata batas antara Kinipan, di Kecamatan Batang Kawa, dan Desa Karangtaba, di Kecamatan Lamandau. Hal itu, katanya, akan dilakukan setelah kepala desa definitif Kinipan dilantik dalam waktu dekat.

Setelah tata batas selesai, bupati meminta SML bermusyawarah dengan Kinipan di desa itu.

Dari notulen pertemuan, bupati mengingatkan kepala desa untuk bersikap selaras dengan pemerintah daerah. “Untuk Kades Kinipan, terkait dipilih langsung hanyalah cara, namun kepala desa tetap merupakan perpanjangan tangan pemerintah daerah,” katanya sebagaimana tercatat dalam notulensi pertemuan.

Tertulis juga dalam notulensi, bupati meminta Laman Kinipan berhenti menyerang pemerintah. “Jangan berpikir negatif terhadap pemerintah daerah. Kami juga selalu memikirkan kesejahteraan masyarakat.”

 

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Penyelesaian secara adat

Laman Kinipan mengatakan serupa dengan bupati, bahwa penyelesaian sengketa lahan diawali dengan penyelesaian batas Desa Kinipan dan Batu Tambun, setelah pelantikan kepala desa definitif.

“Jadi bupati mengarahkan, perusahaan harus datang ke Kinipan. Kita pun meminta mereka datang ke Kinipan. Supaya berurusan di Kinipan. Yang memfasilitasi, mengarahkan, camat, dengan kades terpilih setelah dilantik. Diselesaikan dulu, masalah batas itu dulu,” kata Buhing.

Dia bilang, soal urusan tata batas karena masalah adat, harus selesai secara adat pula. “Misal, betabur beras kuning, besolam becolupm, untuk menentukan apa benar itu wilayah Kinipan (atau bukan). Apa benar di situ Karangtaba.”

Mantan Kepala Desa Kinipan ini mengatakan, ada warga Kinipan pro ke perusahaan, setuju dengan rencana pembangunan plasma dan sebagian bekerja pada SML. Dia tak mempersoalkan keinginan pribadi sebagian warga itu.

Yang dia dan Laman Kinipan permasalahkan, perusahaan membuka lahan tanpa melalui persetujuan terlebih dahulu dari warga.

“Kita dari 2012, mereka sosialisasi sudah kita tolak. Mereka tetap garap terus, dengan alasan sudah punya izin, sudah punya HGU. Sebenarnya kita enggak mau perlebar masalah. Kalau kita pertanyakan HGU-nya, seharusnya yang berbatasan harus clear dulu. Sudah itu, mana HGU-nya? Yang kulihat itu cuma SK,” kata Buhing.

Bersama Emban, Buhing sempat diminta berjumpa bupati di ruang kerja usai mediasi. Dalam pertemuan singkat itu, kata dia, bupati menanyakan apa solusi yang ditawarkan Laman Kinipan. “Ya saya bilang selesaikan yang tiga ribuan hektar ini, yang berada dalam wilayah adat Kinipan.”

Menurut dia, masalah jadi pelik karena lahan yang sudah tergusur itu perusahaan telah memberi kompensasi kepada Karangtaba. “Nah, ini kan salah. Justru itu akan deadlock juga.”

Buhing mengatakan, meski mediasi itu berjalan lancar, namun Kinipan merasa digiring dapat menerima pemahaman bahwa perusahaan penting masuk di Kinipan. “Katanya untuk plasma. Tapi plasma bukan cuma untuk orang Kinipan. Desa lain masuk di situ. Sementara itu wilayah Kinipan. Kalau memang seperti itu ditolak. Maka (bisa) deadlock.”

Hal senada juga dipersoalkan Junedi, Ketua Badan Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Lamandau. Menurut dia, seharusnya perusahaan datang terlebih dahulu ke masyarakat adat, bukan langsung buka lahan begitu saja. Keberadaan masyarakat adat, katanya, lebih tua daripada perusahaan bahkan negara.

“Karena sebelum negara merdeka, masyarakat sudah ada. Sudah mempunyai hak di situ. Jadi kalau saya artikan dalam pertemuan tadi, pemerintah sama sekali tidak menghargai keberadaan masyarakat adat.”

AMAN pun, katanya, tetap mendesak pemerintah memberikan perlindungan hak masyarakat Kinipan. “Instruksi Presiden Joko Widodo pun kita masyarakat harus mendesak pemerintah daerah supaya membuat perda dan SK Bupati dikeluarkan.”

 

Bupati Lamandau Hendra Lesmana. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Bisa dikeluarkan dari konsesi

Bahrunsyah, Staf Ahli Menteri Bidang Masyarakat Adat dan Kemasyarakatan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN menyebutkan, secara umum kasus ini bisa melalui mediasi antara masyarakat dan perusahaan serta dapat dikeluarkan dari konsesi izin.

”Itu (pengembalian lahan masyarakat yang sudah ber-HGU) bisa. Hanya datanya disampaikan kepada ATR, nanti kita ke lapangan,” katanya.

Langkah ini, katanya, sebagai bentuk penghormatan pada hak masyarakat adat di wilayah itu. Dia bilang, masyarakat harus bisa menunjukkan batas jelas dan pembuktian lahan itu milik masyarakat hukum adat.

Prasetyo Hadi, Kasubdit Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, telah bersurat kepada masyarakat adat Kinipan untuk berhubungan langsung dengan bupati soal pengakuan masyarakat adat dan wilayah mereka.

Tujuannya, untuk memperkuat posisi masyarakat adat dengan para pihak lain. ”Kawasan ini sebagian besar di areal penggunaan lain, sebagian lain hutan produksi konversi.”

Hingga kini, KLHK masih menunggu laporan tim yang berwenang di lapangan. Menurut dia, kecukupan data ini akan menentukan apakah kasus ini akan melewati mediasi atau menempuh jalur lain. ”Ini masih dalam proses.”

Abetnego Tarigan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden mengatakan, bisa didudukkan kembali tata batas dalam perkara ini dengan peta yang ada. “Klarifikasi kembali beberapa peta, peta HGU, peta pelepasan kawasan hutan dan yang belum ber-HGU, peta klaim masyarakat maupun peta untuk sawit plasma,” katanya.

Esensinya, perkara ini masih terbuka ruang untuk mengeluarkan lahan warga dari konsesi (enclave). Artinya, ada kebebasan warga untuk mengelola lahan itu buat komoditas lain, seperti kopi dan buah-buah lain.

Kasmita Widodo, Kepala Badan Resgistrasi Wilayah Adat (BRWA) menyatakan, patut diduga proses perizinan tidak sesuai peraturan. ”Menurut saya ini cacat prosedur karena tidak ada persetujuan masyarakat di desa mereka terkait perizinan sawit.”

Wilayah adat Laman Kinipan sudah pemetaan dengan verifikasi data lapangan dan berita acara tata batas. Adapun penentuan sudah disepakati antardesa dan persetujuan dari pemerintah desa.

”Mereka masih menjalankan adat, mengikuti aturan adat mereka dan terdapat bukti dalam mengelola hutan dan tanaman mereka, serta kesepakatan lintas desa tentang tata batas. Jika sekarang kesepakatan berubah perlu dipertanyakan kenapa itu bisa terjadi, dilihat dengan bukti yang ada,” katanya seraya bilang sejak awal masyarakat adat Laman Kinipan menolak sawit.

Wilayah masyarakat Laman Kinipan yang terbebani izin berupa hutan produksi dan APL. Untuk hutan produksi, katanya, BRWA akan bantu buat surat resmi ke KLHK untuk pengajuan usulan resmi wilayah adat mereka. Tujuannya, mengamankan dan mencadangkan hutan Kinipan.

Untuk wilayah adat di APL, BRWA mendesak penyelesaian konflik melalui gugus tugas dalam reforma agraria.

 

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Bersurat ke BPN

Noer Fauzi Rachman, pakar agraria mengatakan, kasus semacam ini banyak terjadi di berbagai daerah, di mana lahan masyarakat dianggap lahan negara. Kemudian dengan kuasa yang dimiliki pemerintah memberikan izin konsesi kepada perusahaan hingga muncul konflik.

”Yang jadi pertanyaan ketika kita telah memiliki komitmen politik agraria bahwa wilayah adat adalah milik masyarakat adat,” katanya.

Dia merekomendasikan, masyarakat membuat dokumen riwayat tanah, dilengkapi koordinat dan batas wilayah yang tumpang tindih antara lahan masyarakat dan HGU.

Selanjutnya, dilengkapi peta spasial disertai narasi kondisi lapangan sebelum dan sesudah perusahaan datang.

”Riwayat tanah dan peta spasial ini jadi alat pembelaan,” katanya. Tak lupa, bukti otorisasi pengakuan wilayah terdahulu yang sudah dilegitimasi pun perlu disertakan.

“Oleh siapa legitimasi dan bagaimana cara membuatnya.”

Setelah itu, persyaratan ini laporkan kepada Badan Pertanahan Negara dan meminta menggelar perkara serta meminta bukti penerimaan surat untuk gelar perkara.

Gelar perkara dilakukan untuk mendapatkan pembatalan bahwa wilayah itu milik masyarakat adat, bukan negara.

BPN, katanya, merupakan satu-satunya lembaga pemerintah yang bisa mengakui klaim masyarakat. Meski demikian, bupati harus menyurati BPN bahwa HGU perusahaan SML telah mengambil wilayah masyarakat adat. Sulitnya, kalau ada konflik kepentingan.

“Jika ada suatu perbuatan mendukung kepada perusahaan dan bupati mendapat suatu manfaat dari posisinya dalam suatu perusahaan, ini namanya konflik kepentingan.”

 

Keterangan foto utama:    Pembukaan lahan untuk kebun sawit yang berkonflik dengan Komunitas Adat Laman Kinipan di Lamandau. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Petugas Satpol PP memeriksa barang tamu undangan dari Laman Kinipan sebelum memasuki aula tempat mediasi. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version