Suaranya pelan, tampangnya kalem. Tapi, siapa sangka dibalik penampilannya yang sederhana itu, Lamijo adalah keeper badak sumatera. Lelaki 47 tahun tersebut merupakan “pengasuh” satwa bercula dua di Sumatran Rhino Sanctuary (Suaka Rhino Sumatera, SRS), Way Kambas, Lampung.
Dua puluh tahun menjalani profesi tidak lazim, tidak kebanyakan orang bisa melakukannya, membuat Goce, biasa dipanggil, bangga setengah mati. Kenapa? “Saya orang beruntung, menjadi penjaga mamalia langka Indonesia. Jumlahnya juga terbatas dan hanya di SRS kita bisa melihat langsung Dicerorhinus sumatrensis,” ujarnya mantap.
Sesungguhnya, warga Desa Plang Ijo Labuhan Ratu IX, Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur, Lampung, ini tidak pernah menyangka hidupnya bakal berwarna begini. Kisah berawal, saat Goce muda, bekerja di SRS pada 1996, sebagai pembuat pagar. Tahun yang dicatat sebagai awal penangkaran badak dibangun.
Dua tahun berjalan, ketelatenannya membuahkan hasil. Manager SRS menawarinya pekerjaan “menantang” yang langsung disambut gembira Lamijo, tanpa bertanya target apa yang harus diselesaikan. “Merawat” Torgamba, badak pertama penghuni SRS yang datang pada 8 Januari 1998, adalah misi berat yang ternyata harus diembannya.
“Jangankan menyaksikan langsung, melihat gambar badak saja saya belum pernah. Perkiraan awal saya, ukurannya sebesar gajah,” kenangnya saat menjadi pembicara tamu pada “Pelatihan Jurnalistik Lingkungan” yang digelar Universitas Lampung – Mongabay Indonesia, di Lampung, awal Desember 2018.
Torgamba adalah badak pertama yang ditangkap di hutan Riau, 25 November 1985, lalu dikirim Kebun Binatang Howletts and Port Lympne, Inggris. 12 tahun hidup di negeri “The Three Lions” akhirnya ia dipulangkan ke Indonesia lagi. Torgamba merupakan bagian dari Program Penyelamatan Badak Sumatera ke Kebun Binatang Indonesia, Malaysia, Eropa, dan Amerika pada rentang waktu 1985-1992. Jantan ini mati pada 24 April 2011.
Baca: Zulfi Arsan yang Tidak akan Pernah Bisa Melupakan Delilah
Dag dig dug kah Goce? Pasti. Tidak ada catatan pengalaman yang menunjukkan ia pernah bersentuhan langsung dengan dunia perbadakan. Ia juga bukan pawang satwa, yang mampu mengendalikan gajah atau menjinakkan buaya. Satu keyakinan yang membuat ayah tiga putra ini percaya diri adalah keseriusannya merawat sapi.
“Di rumah, saya terbiasa memberi makan sapi. Jadi, dalam pemikiran saya saat itu, tidak ada perbedaan antara sapi dan badak. Mungkin hanya pada jenis pakan yang tidak sama.”
Secara otodidak, Goce belajar lebih dekat perilaku Torgamba. Mulai dari bagaimana cara makan hingga tidur dan berkubang, ia catat lengkap. Pengalaman panjang yang akhirnya menuntun Goce menjadi perawat badak hebat, yang bukan hanya mengamati perilaku tetapi juga terbiasa memandikan badak setiap hari. Tanpa pernah lupa pula memeriksa suhu tubuh makhluk langka itu dan kuku kakinya, sebagai bagian pemeriksaan rutin.
Baca: Harapan, Badak Sumatera yang Patut Kita Banggakan
Sudah lima badak di SRS yang diasuh tangan dingin Goce. Selain Torgamba, ada Ratu, Andatu, Delilah serta Harapan, badak jantan kelahiran Cincinnati Zoo, Ohio, Amerika, 27 Mei 2007, yang tengah belajar kawin.
“Saya senang, jadi pengasuh Ratu saat mengandung Andatu dan Delilah. Lebih beruntung lagi, ketika Andatu dan Delilah lahir, saya mendampingi proses mendebarkan tersebut.”
Andatu dan Delilah merupakan kakak beradik yang lahir dari pasangan Ratu (betina) dan Andalas (jantan). Andatu lahir pada 23 Juni 2012. Ia menyandang rekor sebagai badak sumatera jantan pertama yang lahir di penangkaran semi alami (in-situ) SRS, dalam 124 tahun terakhir di Asia.
Sementara Delilah, adalah badak betina yang lahir pada 12 Mei 2016 pukul 05.40 WIB. Nama Delilah diberikan langsung Presiden Jokowi pada 27 Juli 2016, saat peresmian Taman Nasional Way Kambas (TNWK) sebagai Asean Heritage Park (AHP) ke-36 di Lampung.
Apakah keluarga mendukung? “Tentu saja,” jawab Goce. Tidak ada protes dari mereka meski waktu untuk bersama terbatas, hanya dua hari dalam seminggu berkumpul.
“Saya akan terus menjaga badak sumatera selama mendapat kepercayaan penuh,” tegasnya.
Baca: Andatu dan Delilah, Badak Sumatera yang Kian Mencuri Perhatian di Way Kambas
Do’a yang diamini Rahman, Koordinator Rhino Protection Unit (RPU) Yayasan Badak Indonesia (YABI) untuk Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Genap 17 tahun menjaga badak sumatera untuk wilayah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan TNWK, ayah tiga anak ini juga tidak pernah merasa lelah.
Perburuan dan perambahan hutan adalah musuh utama yang harus dituntaskan tim Rahman setiap kali patroli. Tahun 2003/2004 perburuan badak di TNBBS yang pelakunya divonis penjara 2 tahun lebih berhasil dibongkar. Sementara di Way Kambas, di 20018 ini, ada 2 kasus perburuan rusa yang digagalkan. Tentu saja, koordinasi dengan balai taman nasional setiap kali RPU patroli, juga pihak kepolisian tidak lupa dikerjakan.
“Menjaga kehidupan badak sumatera yang hampir punah adalah tantangan sekaligus kebanggaan. Saya selalu semangat bekerja untuk konservasi,” jelasnya.
Baca: Fakta Menarik, Mengapa Kehidupan Badak Harus Kita Jaga…
“Semoga badak di SRS bertambah dan semua dalam kondisi sehat,” timpal Zulfi Arsan, dokter hewan SRS, yang sudah jatuh cinta pada badak sumatera sejak magang di suaka badak ini tahun 1999.
Saat ini ada tujuh individu badak di SRS yaitu 3 badak jantan (Andalas, Andatu, dan Harapan) serta 4 betina (Bina, Ratu, Rosa, dan Delilah). Khusus Delilah, Zulfi tak akan pernah lupa, karena dia menangani langsung detik-detik kelahirannya. “Bukan hanya saya, keluarga juga bangga saya menjadi dokter badak. Bahkan, anak kembar saya yang usia 4 tahun, yang satu ingin berprofesi sebagai dokter hewan dan satunya lagi ngotot menjadi badaknya,” tuturnya tersipu.
Baca: Opini: Keberhasilan Peningkatan Populasi Badak Sumatera Itu Nyata
Tanaman pakan badak
Masyarakat pun tak tinggal diam akan hidup matinya badak sumatera. Sunandar, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Gerbang Way Kambas, Dusun Margahayu, Desa Labuhan Ratu VII, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, menuturkan kelompoknya telah menanam tumbuhan pakan badak. Labuhan Ratu VII merupakan satu dari 33 desa penyangga TNWK.
Di areal seluas 400 meter persegi di belakang Rumah Konservasi, yang merupakan lahan percontohan, sudah ditancap tegak 7 jenis tanaman, awal 2018. Ada waru, ara lebar, putihan, sirihan, pulai, akar elang, dan laban kapur (Vitex quinata). Setiap hari, 10 anggota pokdarwis merawatnya sukarela.
“Badak sumatera itu kebanggaan kami, kalau punah apa yang bisa kami ceritakan? Badak itu penjaga ekosistem, andai hilang kondisi lingkungan pasti terganggu,” paparnya.
Sunandar mengatakan, tanaman itu mulai menghasilkan dalam dua hingga tiga tahun kedepan. Syarat mutlak yang tidak boleh dilanggar adalah pohon harus bebas bahan kimia. Jika program ini berhasil, masyarakat terutama anggota pokdarwis sudah berjanji akan menanam lagi di kebun mereka. “Ini bentuk kepedulian kami terhadap badak sumatera, melakukan dari yang kami bisa,” jelasnya.
Baca: Cula Badak Itu Tak Ubahnya Kuku Manusia, Bukan Obat Mujarab!
Elly L. Rustianti, Dosen Biologi Fakultas Matematika – Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Lampung (Unila), menjelaskan Labuhan Ratu VII merupakan desa binaan Unila. Masyarakatnya, sebelumnya sudah belajar dari desa yang berhasil mengembangkan potensi wisata yaitu Braja Harjosari.
Awalnya, masyarakat ingin mengembangkan potensi desa. Namun, terkendala konflik satwa, yang hampir tiap malam wilayah ini didatangi rombongan gajah liar. Setelah dilakukan kajian, juga pertimbangan posisi desa yang dekat SRS, kami tawarkan untuk menanam pakan badak. “Warga setuju, meski hasil menanam tersebut tidak langsung dinikmati hasilnya.”
Inisiasi dengan YABI dan TNWK, lanjut dia, dibuat dalam bentuk kesepakatan pendampingan. Masyarakat pun diberi bibit pakan badak. “Harapannya, bila berhasil, kedepannya mereka bisa menanam di lahan sendiri,” jelas Elly.
Baca juga: Sesuai Harapan, Badak Sumatera di Kalimantan Timur Berhasil Diselamatkan
Kepala Taman Nasional Way Kambas, Subakir, mengatakan badak merupakan payungnya satwa. Bila badak lestari, satwa liar lain akan terjaga kehidupannya. “Way Kambas yang luasnya 125 ribu hektar merupakan tempat hidupnya lima mamalia besar yaitu gajah, harimau, tapir, beruang, dan badak,” terangnya pada acara Training of Trainer Konservasi Badak Sumatera, di Rumah Konservasi, Labuhan Ratu VII, Way Kambas, 31 Juli 2018 lalu.
Terkait badak sumatera, menurut dia, upaya konservasi di Way Kambas telah dilakukan semaksimal mungkin. Pelestarian badak sumatera di SRS, penanaman pohon pakan, pengamanan kawasan, pemantauan keberadaan badak, hingga penegakan hukum adalah sejumlah bentuk perlindungan nyata yang terus dijalankan. “Menjaga kehidupan badak sumatera sudah tentu kita harus mengamankan habitatnya.”
Untuk segala perburuan dan pelanggaran hukum, lanjut Subakir, semuanya diproses hukum. Tidak ada toleransi. Sejauh ini, sudah ratusan jerat satwa yang dimusnahkan oleh tim patroli. “Saya senang berkolaborasi dengan berbagai mitra di Way Kambas. Dengan begitu, taman nasional akan lebih maju pengelolaannya dan kehidupan badak beserta habitatnya makin terjaga,” tandasnya.