Mongabay.co.id

Hasil Studi Banding: Potensi Rotan Melimpah, Keterampilan Rendah

Saat itu pukul 10 pagi di akhir bulan November. Wajah Clemen Ndiken (48) penuh rasa ingin tahu. Bersama pemuka dan perangkat desa dari beberapa wilayah seperti Kalimantan Barat dan Papua, dia berkunjung ke Desa Tegalwangi, Kota Cirebon, Jawa Barat. Tujuannya: melakukan studi banding.

Mewakili Distrik Muting, di Merauke, Papua, Ndiken tertarik melihat pemrosesan rotan yang ada di Tegalwangi. Padahal di kampung kelahirannya, rotan adalah barang tak bernilai ekonomi. Paling hanya digunakan untuk kayu bakar atau tumbuh liar di alam.

“Di distrik (desa) kami, banyak sekali rotan. Tapi sampai sekarang kami tidak punya keterampilan pengolahan,” tuturnya jujur.

Dia pun tampak serius menyimak penjelasan dari Solihin, Ketua Yayasan Kampung Wisata Rotan Kampung Galmantro, Desa Tegalwangi.

Rotan alam, jelas Solihin, memang menarik untuk dikembangkan, apalagi dalam skema perhutanan sosial yang sekarang gencar dilakukan. Namun rotan tak akan menguntungkan apabila dijual dalam bentuk mentah. Rotan harusnya dibuat setengah jadi, atau sudah dipoles sehingga punya nilai tambah.

Solihin mengatakan, kemitraan antara desa dengan industri kerajinan rotan memungkinkan untuk terjalin. Khususnya untuk desa-desa yang memiliki kelimpahan bahan baku namun minim keterampilan.

 

Seorang perajin rotan sedang bekerja di bengkelnya di Kampung Wisata Rotan Galmantro, Desa Tegalwangi Cirebon. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

“Jika mau menjalin kemitraan harus ditengahi [difasilitasi] pemerintah. Pemerintah harusnya bisa memproteksi bahan baku dan harga agar distribusi hulu ke hilir bisa berkelanjutan,” ujarnya.

Jelasnya, sejak lima tahun terakhir ini di perajin Tegalwangi kerap terjadi order dibatalkan, karena bahan baku produksi rotan tidak tersedia. Selain itu, perajin di Cirebon sulit mengetahui secara pasti berapa banyak stok jenis dan ukuran bahan baku rotan yang tersedia di luar pulau.

Padahal produk rotan buatan Cirebon sebenarnya sudah dikenal oleh pasar mancanegara. Sejak tahun 1980-an produk ini telah diekspor dan diterima oleh pasar di Eropa, Australia, hingga Amerika.

Namun kejayaan industri rotan Cirebon perlahan menemui keterpurukan. Sumbernya, peraturan pemerintah yang membuka izin untuk ekspor bahan baku rotan mentah. Walhasil rotan asal Kalimantan dan Sulawesi pun ramai-ramai langsung dijual ke negara penampung, seperti Tiongkok.

Akibatnya produk kerajinan dan mebel asal Tiongkok membanjiri pasar dunia. Nilai tambah produk pun dinikmati industri di sana, meski sejatinya bahan baku rotan sendiri berasal dari Indonesia.

 

Produk rotan penuh warna yang dihasilkan perajin dari Tegalwangi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Meski sempat bangkit di awal tahun 2010-an industri rotan di Cirebon tak kunjung kembali seperti masa jayanya. Perajin pun menyebut kendala bahan baku menjadi pokok permasalahan. Padahal asal muasal kerajinan rotan di Cirebon konon sejarahnya dapat dilacak hingga akhir abad ke-14.

Menyiasati situasi tersebut, warga Kampung Galmantro pun banting setir. Mereka lalu menjadikan kampungnya sebagai kampung wisata rotan. Rumah-rumah disulap jadi bengkel kerja (workshop) produksi rotan yang dapat disaksikan langsung oleh pengunjung.

Bagi Ndiken fenomena ini menarik untuk dipelajari. Di Tegalwangi, meski dukungan bahan baku kedodoran, geliat sumberdaya manusianya mumpuni. Sebaliknya di desanya, meski sumberdaya alam melimpah, keterampilan sumberdaya manusianya belum terasah.

“Ada keinginan kami untuk bergerak ke sektor wisata atau menghasilkan sektor yang punya nilai jual seperti rotan ini. Tapi rasanya masyarakat perlu penguatan terlebih dulu. Saat nanti pulang, saya akan buat pertemuan bersama masyarakat untuk menentukan arah kedepan,” tuturnya.

 

Sesuai Potensi Dimiliki

Menurut data potensi desa (2014), dari total 73.709 desa yang ada di Indonesia, 31.957 desa diantaranya berada di sekitar kawasan hutan. Ironisnya dari 71,06 persen warga yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan, 10,2 juta orang diantaranya miskin.Ini karena mereka tidak memiliki akses pada infrastruktur, permodalan, pasar, dan keterampilan.

Undang-Undang tentang Desa Nomor 6/2014 sebenarnya menjadi peluang pengembangan potensi desa secara mandiri dan momentum pemberdayaan masyarakat. Apalagi ditambah program perhutanan sosial yang sekarang sedang digalakkan. Program ini diharapkan jadi pengungkit kesejahteraan masyarakat desa di sekitar kawasan hutan.

 

Clemen Ndiken, saat melihat berbagai kerajinan yang dihasilkan oleh warga Desa Tegalwangi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Roni Wang dari Aidenvironment, lembaga swadaya masyarakat yang memprakarsai kegiatan study tour ini, menyebut pihaknya hanya memberikan referensi baru bagi arah pengelolaan desa.

Dia tak menampik banyak kendala yang dihadapi desa, terlebih yang berada di perbatasan hutan. Hasilnya banyak potensi desa yang jadi tidak optimal tergarap.

Dia menyebut pentingnya akselerasi dan integrasi program pembangunan perdesaan sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh desa. “Setidaknya nanti mereka dapat elaborasi potensi yang sesuai kondisi riil daerah. Diharapkan nanti antara desa pun bisa berjejaring.”

Hal ini diamini oleh Suryadi, Kepala Desa Muarabaru, Sungai Baru, Kubu Raya, Kalimantan Barat yang ikut serta dalam program belajar antar desa ini. Dia menyebut antusias dengan informasi yang dia peroleh selama studi banding.

Dia menyimpukan masyarakat harus pandai melihat potensi dan memperhatikan sisi kontinyuitas produksi. Sebutnya hal itu akan berkembang jika ada pola pendampingan dan kemitraan antar pihak.

 

Exit mobile version