Mongabay.co.id

Ikan Belida Makin Langka, Mengapa?

Belida (belido atau lopis), makin langka tetapi masih ditemukan dijual buat konsumsi. Foto: Wikipedia

 

 

Jumat siang awal Desember, Pasar Handil di Kota Jambi, berangsur sepi setelah sepagian dipadati warga belanja. Para pedagang ikan mulai mengemasi dagangan.

Pasar ini jamak bagi warga dan para penjual tekwan, pempek, pemilik rumah makan yang meyajikan olahan ikan. Banyak ikan lokal hasil tangkapan warga dari Sungai Batanghari, seperti baung, tapah, lais, hingga belida.

Belida dijual Rp135.000-140.000 per ekor, tergantung besaran ikan. Meski tak setiap hari, tetapi belida (belido) ini kerap dijual di pasar ini.

“Kalau sekarang kosong, air (Sungai Batanghari) lagi tinggi, cari ikan susah. Kalau nggak (air sungai normal) biasa ada, dua, tiga ekor,” kata pedagang ikan di Pasar Handil.

Di Jambi, belida kerap jadi olahan kuliner rumahan hingga rumah makan Minang. Meski tak semua rumah makan di Jambi menyediakan menu belida. Saya mendapati rumah makan di Kota Jambi menjual ikan bakar belida, satu potong Rp40.000.

Dua dekade terakhir populasi belida di alam liar mulai menghawatirkan dan terancam. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, mencantumkan semua jenis dari genus Notopterus (belida Jawa dan lopis Jawa) dilindungi.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan lantas memperkuat penyelamatan satwa dilindungi termasuk belida, lewat Permen LHK No.20/2018, mencantumkan semua famili Notopteridae dilindungi: belida Borneo, belida Sumatera, belida lopis, belida Jawa.

Ironisnya, warga di kalangan bawah terutama pemancing, penjual ikan di pasar tak tahu aturan ini.

Akhir Mei 2018, Mulyadi pedagang hewan di Kecamatan Rimbo Tengah, Bungo ditangkap tim gabungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Balai Gakkum dan Polda Jambi. Mulyadi ditangkap karena kedapatan menjual belida.

Di dalam ruko milik Muyadi, tim gabungan menemukan 23 belida rata-rata 52-86 sentimeter, disimpan dalam lemari pendingin. Tim juga menemukan satu ular sanca hidup, dan tiga lembar kulit ular sanca yang dikeringkan di atas papan.

Kepala BKSDA Jambi, Rahmad Saleh mengatakan, ada dua pedagang yang jadi target operasi saat itu. Mulyadi ditangkap karena kedapatan memperdagangkan belida.

“Kalau yang satu itu tidak jual hewan dilindungi,” katanya.

Banyak penangkapan yang tak mempedulikan kelestarian, membuat populasi belida di Jambi, terancam. Di Palembang, kata Rahmad, belida terkenal dibuat pempek, kerupuk kemplang dan pindang. Karena sudah sulit didapatkan, banyak yang mengganti bahan dengan gabus.

“Sudah sangat langka, seharusnya pemerintah benar-benar melindungi, kalau tidak ini (belida) habis dari muka bumi.”

Katanya, rumah makan dan restoran yang menjual menu belida seharusnya juga diproses. Meski demikian, dia mengaku belum ada pemilik rumah makan atau restoran yang ditangkap karena menjual menu belida.

 

Pasar Handil di Kota Jambi sudah umum bagi warga dan pemilik rumah makan atau pengusaha kuliner mendapatkan ikan air tawar, termasuk belida. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Rahmad membenarkan, Mulyadi orang pertama yang ditangkap karena menjual belida.

“Kalau hasil penangkaran boleh. Kita yang keluarkan izin nanti.”

Setelah lima bulan ditahan sejak penangkapan, Pengadilan Negeri Bungo akhirnya menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara pada Mulyadi. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang ingin Mulyadi dihukum 2,5 tahun, denda Rp100 juta subsidair enam bulan penjara. Mulyadi melanggar Pasal 40 ayat (2) junto Pasal 21 ayat (2) ke-2 huruf b atau Undang-undang RI No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, dengan ancaman lima tahun penjara.

Juru Bicara Pengadilan Negeri Bungo, Rizal menceritakan, dalam persidagan Mulyadi mengakui jika belida di dalam freezer itu miliknya. Dia beli dari pemancing, dan akan menjual kembali dengan untung Rp70.000 per kilogram.

Hakim Flowerry Yulidas memutus Mulyadi lebih ringan dengan pertimbangan terdakwa jujur dalam persidangan dan belum pernah dihukum sebelumnya.

Dalam persidangan Mulyadi mengaku tidak tahu ada peraturan yang melarang perdagangan belida. Alasan itu tak dapat jadi alasan untuk meringankannya.

Rizal menjelaskan, hukum di Indonesia menganut asas fiksi hukum. Setiap peraturan perundangan-undangan yang telah diundangkan maka setiap orang wajib tahu.

Ndak boleh (alasan) saya tidak tahu, saya ndak baca Undang-undang itu. Tidak bisa seperti itu. Itu bertentangan dengan asas fiksi hukum,” kata Rizal. “Pokoknya kalau sudah diundangkan masyarakat wajib tahu.”

Namun, katanya, kalau mengaku tak tahu sebenarnya agak lucu, katanya, karena belida sudah sejak lama dilindungi. “Itu sejak PP 1999, cuma penegakan hukum sekarang mungkin kurang, mengingat ikan itu di Sumatera untuk pempek.”

Tejo Sukmono, peneliti ikan air tawar Jambi sekaligus dosen Biologi Universitas Jambi mengatakan, belida yang dijual Mulyadi kategori induk.

Dia sempat memeriksa enam ekor dengan analisa morfometri dan meristik. Dengan memeriksa sirip dada, sirip punggung, sirip anal, sisik melintang badan, gurat sisi dan duri perut.

Hasilnya, ikan Mulyani merupakan spesies Notopterus notopterus (belida Jawa) dan Notopterus chilata (belida lopis) (Kottelat, 1993). “Berdasarkan UU No.7 Tahun 1999, semua genus notop terus dilindungi.”

Di Jambi, belida dikenal dengan belido atau putak. Persebaran belida berada di perairan Sunda Land, meliputi Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.

“Tetapi sekarang ini, tidak semua area itu ada, karena menyempit lagi, kalau kita bilang Sumatera, semua Sumetera ada, kita bilang Kalimantan, semua Kalimantan ada, itu tidak. Distribusi sangat terbatas.”

Di Sumatera, belida bisa ditemukan di Sumatera Selatan, Jambi dan Riau. Di Kalimantan sebaran berada di perairan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.

“Kalau di Jawa, kemungkinan sudah punah.”

Tejo menjelaskan, ada beberapa alasan yang membuat belida masuk daftar satwa dilindungi antara lain, populasi di alam liar makin sedikit. Distribusi di alam terbatas, dan habitat yang tak mendukung karena banyak sungai rusak. Pemanfaatan berlebih juga punya dampak besar pada, karena secara ekonomi dan rasa banyak orang suka.

“Beberapa kali survei di pasar masih ada yang jual. Kemarin ketemu di Tebo, di Kaltim ada, di Kalbar ada.”

Dia berharap, ada pengumuman atau poster dipasang di pasar tentang jenis ikan dilarang. Sebab banyak pedagang pasar tak tahu jenis ikan dilindungi.

“Harapan saya seperti itu, tapi belum pernah ketemu.”

 

Kemplang bergambar belida dari Palembang banyak dijual di supermarket di Jambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Pengawasan

Hernowo, Kepala Bidang Pengawasan dan Penguatan Daya Saing Dinas Kelautan dan Perikanan Jambi, mengaku tidak tahu ada penangkapan pedagang belida di Bungo.

Selama pengecekan di kabupaten, hanya menemukan kapiat, lampam, semah, jelawat dan tapah yang dijual di pasar tradisional. Hernowo mengaku pernah menemukan belida di pasar Batanghari.

Ngakunya, ikan dari kolam.”

Beberapa penjual pempek belida dan kerupuk kemplang di Jambi juga mengaku bahan disuplai dari Sumatera Selatan. Dinas kesulitan memproses karena untuk membuktikan bahan yang digunakan benar belida harus ke Palembang.

Hernowo juga beralasan UU No.2/2014 tentang Pemerintah Daerah baru terimplementasi 2018. Hal itu membuat mereka tak bisa kerja maksimal saat semua tanggung jawab pengawasan dialihkan ke provinsi. Sebelumnya, pengawasan di perairan tawar jadi tanggung jawab pemerintah kabupaten. Dinas Perikanan dan Kelautan Jambi, fokus pengawasan laut.

“Seksi pengawasan kita juga hanya satu, sementara kita harus mengawasi laut dan perairan tawar. Tapi pelanggaran banyak di laut, maka kita banyak fokus ke laut.” “Harusnya ada tiga seksi.”

Soal sosialisasi PP No.7/1999 pada masyarakat, kata Hernowo, semestinya jadi tanggung jawab pemerintah kabupaten. Sebab tugas di provinsi sosialisasi ke petugas kabupaten.

Menurut dia, populasi belida minim bukan sepenuhnya karena penangkapan berlebih, tetapi pada reproduksi yang lambat.

“Belida termasuk ikan predator tumbuh lambat. Jumlah telur sedikit kurang dari 1.000 dalam sekali bertelur. Lele tujuhh ons bisa bertelur 100.000 sekali telur, gabus bisa ratusan ribu.”

“Kalau tidak ada makanan, anaknya sendiri di makan. Belida ini makan ikan.”

Kualitas air sungai yang tercemar limbah dan penambangan pasir juga berpengaruh pada populasi belida di Jambi. “Kalau air keruh dan berlumpur jelas tidak mau bertelur.”

Dia juga bilang, jika Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Sungai Gelam berhasil memijahkan belida.

Mongabay menghubungi Jauhari, Kepala BPBAT Sungai Gelam. Jauhari bilang, berhasil memijahkan belida, namun kondisi kekurangan induk dan susah menemukan induk belida yang bisa dipijahkan.

“Sekarang induk berkurang jadi (pemijahan) belum berjalan lagi,” katanya melalui pesan WhatsApp.

Dengan teknologi temuan BPBAT Sungai Gelam, pemijahan belida memungkinkan untuk dilakukan masyarakat.

 

Keterangan foto utama:    Belida (belido atau lopis), makin langka tetapi masih ditemukan dijual buat konsumsi. Foto: Wikipedia

 

Exit mobile version