Mongabay.co.id

Pelabuhan Laut Maluku dan Maluku Utara Rawan Penyelundupan Burung

Nuri Ternate yang siap terbang setelah dilepas dari kandang. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Perburuan dan penjualan paruh bengkok di Maluku dan Maluku Utara,  sangat tinggi. Petugas, menghadapi kendala karena wilayah kerja luas hingga pengawasan makin berat. Pintu masuk dan keluar banyak, terutama pelabuhan laut, lebih sulit terpantau dan rawan penyelundupan satwa seperti burung-burung endemik.

“Pada 2018, ada 72 kasus peredaran dan penjualan satwa liar ilegal. Dari 72 kasus 1.100 burung selamat. Sebagian besar lepas liar ke habitat asli,” kata Mohtar Amin Ahmadi, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku- Maluku Utara.

Sebagai provinsi kepulauan, katanya, Maluku dan Maluku Utara, memiliki banyak pintu masuk dan keluar, terutama pelabuhan laut dan pelabuhan udara. Dia merinci di Maluku dan Maluku Utara, ada 45 pelabuhan resmi , 21 pelabuhan di Maluku dan 24 Maluku Utara.

Ada 15 bandara di Maluku dan sembilan di Maluku Utara. Dari banyak pintu masuk dan keluar itu, kata Amin, perlu sinergitas semua pihak dalam menyelamatkan pencurian dan pengambilan serta penjualan tumbuhan dan satwa liar ini.

BKSDA, katanya, mengajak semua pihak berkomitmen membantu mencegah dan memberantas kejahatan tumbuhan dan satwa ini.

Maluku Utara, katanya, terbilang sangat rawan penjualan satwa liar ke luar negeri. Ada kasus ditangani BKSDA penyeludupan ke Filipana melalui Pelabuhan Bitung, selanjutnya ke Davao.

Penyelundupan ini, ada beberapa modus, seperti warga tempatan di wilayah banyak paruh bengkok menangkap satwa dan menjual kepada orang-orang yang sudah diberi modal jaringan mereka. Setelah itu, pemilik modal mengumpulkan burung-burung di suatu tempat penampungan. Selanjutnya mereka dijemput pakai kapal.

Burung-burung yang akan diselundupkan itu ditempatkan di berbagai wadah, seperti kandang besar, botol air mineral besar, bahkan di dalam pipa paralon. “Laut jadi salah satu jalur para penyelundup satwa. Jalur udara sudah tertutup karena penjagaan ketat.”

Selain itu, lewat laut para penyelundup satwa memiliki jalur-jalur tikus atau pelabuhan tak resmi. Untuk itu, BKSDA bekerjasama dengan berbagai pihak baik polisi terutama Polairud dan TNI Angkatan Laut.

 

Persiapan pelepasliaran di hutan lindung Tanah Putih. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, para penyelundup biasa menggunakan berbagai sarana transportasi   dari Kapal Pelni, tugboat maupun kapal kayu kecil lain.

Penangkapan tambah sulit kala mereka bertransaksi di laut. Ada yang melalui laut Morotai sebelum sampai Filipina, bertransaksi di pulau kosong dekat Filipina. Ada juga ke Bitung, lalu Davao dan dibawa ke kota lai di Filipina.

Menurut dia, penyelundupan paruh bengkok ke Filipina, tak hanya dari Maluku dan Maluku Utara, juga Papua Barat, terutama jenis kakatua raja dan kaktua kepala hitam.

Saat ini, BKSDA menangani dua kasus penyelundupan burung ke Filipina. Dari kasus-kasus ini, kata Amin, harus ada penyelesaian di hulu, yakni masyarakat perlu mendapatkan penyadaran agar tak menangkap dan jual beli satwa endemik.

Selain itu, pemerintah juga perketat jalur ke luar terutama pelabuhan dan bandara. Pengetatan juga perlu dilakukan di hilir, terutama pembeli maupun pecinta burung. Caranya, dengan sosialisasi terus menerus.

BKSDA telah membuat kesepakatan para pihak guna mendukung pemberantasan penjualan dan perdagangan satwa liar. Mereka juga menggelar rapat koordinasi dan penandatanganan kesepakatan komitmen.

“Dari komitmen ini ke depan dibentuk satuan tugas yang akan bekerja bersama menangani penjualan dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar,” katanya.

Simon Purser,   Senior Consultant   Wallacea Nature Conservation Consulting yang kini membantu Taman Nasional Aketajawe Lolobata untuk penyelamatan dan perlindungan paruh bengkok   mengatakan, persoalan jual beli satwa sangat serius.

Untuk menyelesaikan persoalan penangkapan dan penjualan burung ilegal, katanya, semua pihak mesti membantu negara terutama BKSDA, taman nasional ataupun aparat kepolisian. “Ini untuk memberantas jual beli hewan endemik serampangan.”

Maluku Utara, merupakan provinsi kepulauan hingga jangkauan pengawasan sulit. Simon bilang, penjualan paruh bengkok marak karena di luar negeri harga mahal.

 

Nuri Ternate, kembali hidup bebas di alam…Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

.

Pelepasliaran paruh bengkok

Cuaca Senin pagi ( 3/12/18) itu cukup cerah. Matahari pagi jelang siang mulai terik. Puluhan petugas Kantor BKSDA Maluku, Maluku Utara, anggota kepolisian dan TNI termasuk jurnalis berjalan agak menanjak menuju bukit di hutan lindung Tanah Putih Desa Domato Jailolo Selatan, Halmahera Barat. Di sini, telah dikumpulkan 51 paruh bengkok berbagai jenis dalam kandang besar berukuran 3×7 meter.

Burung-burung itu hendak dilepasliarkan setelah hampir setahun menempati kandang transit di Kantor Seksi BKSDA Akehuda Ternate.

Suara burung terdengar riuh. Mereka bersahut-sahutan seakan menyambut gembira pelepasliaran itu.

Setelah hampir 20 menit persiapan,   mereka melepaskan 22 kakatua putih, enam nuri bayan, 15 kasturi Ternate dan delapan nuri kalung ungu. “Burung-burung ini sitaan kepolisian dari beberapa wilayah di Maluku Utara. Ada juga sitaan petugas BKSDA dan penyerahan sukarela warga,” kata Amin.

Saat pelepasliaran ketika petugas membuka pintu kandang, tidak semua burung langsung terbang. Sebagian tetap di dalam kandang. Burung- burung nuri kalung ungu terbang setelah sekitar 30 menit pintu kandang terbuka. Jenis paruh bengkok lain langsung terbang.

“Masih butuh penyesuaian setelah cukup lama di dalam kandang transit,” kata Abas Hurasan, Kepala BKSDA Seksi Ternate.

Untuk itu, usai pelepasan, petugas BKSDA tak langsung meninggalkan kandang besar khawatir burung-burung itu kembali lagi ke kandang.

 

Keterangan foto utama:    Nuri Ternate yang siap terbang setelah dilepas dari kandang. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Kakatua putih siap lepas liar. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version