Mongabay.co.id

Desa Wanagiri: Air Terjun dan Harumnya Kopi Bali

Berjarak sekitar dua jam lebih berkendara roda empat dari Kota Denpasar, Desa Wanagiri, Buleleng menawarkan kombinasi wisata yang menyegarkan jiwa dan raga. Tak hanya itu, Desa Wanagiri pun turut mengkombinasikan antara perlindungan hutan dan alam, ekowisata alam pegunungan dan pengembangan ekonomi lewat ragam hasil tanaman hutan.

Ada tiga area kompleks air terjun yang dikelola sebagai daya tarik area hutan desa. Masing-masing kompleks air terjun Banyu Wana Amertha (sedikitnya ada 4 air terjun di sini), kemudian Banyumala, dan Puncak Manik.

Ketiga destinasi wisata air terjun sebenarnya masih relatif baru dibuka, yaitu sekitar pertengahan tahun 2015. Inisiatif ini dilakukan sebagai bagian dari skema perhutanan sosial di area seluas 250 hektar.

Air terjun yang paling terkenal di Wanagiri adalah Banyu Wana Amertha. Dari jalan raya Wanagiri, sebuah papan petunjuk memandu pengunjung ke jalan aspal menurun. Sekitar 10 menit berkendara, terdapat pos dan tiket masuk. Di lokasi itu, ada petugas yang akan memberi infomrasi soal akses jalan, jarak tempuh berjalan kaki, akses sepeda motor dan lainnya.

Di sekitar area air terjun Banyu Wana Amertha di beberapa titiknya akan dikembangkan taman gumi banten. Sebuah taman dengan tumbuhan aneka bahan ritual Bali, misalnya intaran, sudamala, kelapa jenis khusus, dan tanaman langka lainnya untuk sarana pembuatan sesajen dan kegiatan spiritual.

 

Air terjun Banyumala, Desa Wanagiri, Sukasada, Buleleng, Bali. Pada saat-saat tertentu pelangi akan muncul di dasar air terjun menambah keindahan. Foto : Ahmad Muzakky/Mongabay Indonesia

 

Keperluan untuk bahan sesajen di Bali cukup besar. Untuk Desa Wanagiri saja, sedikitnya empat upacara agama besar dihelat tiap tahun yang memerlukan aneka bahan ritual tersebut.

Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Eka Giri Karya Utama I Made Darsana, menyebut pengembangan wisata alam nanti akan berpusat di air terjun Banyumala. Di sini akan digabungkan antara kegiatan wisata dan kemah edukasi.

Sedangkan area air terjun terjauh yaitu Puncak Manik, -yang paling terjal dan ekstrim jalurnya, menurut Darsana amat berpotensi untuk dikembangkan wahana trekking dan outbound.

“Kami tinggal di daerah penyangga air, warga harus terlibat dalam kelestariannya,” urai Darsana menyebut alasan perlindungan hutan. “Karena desa ada di kawasan hutan lindung, warga tak bisa asal tebang pohonnya. Namun dari hutan harus ada nilai manfaat tambahan.”

Wanagiri sendiri bermakna di tengah hutan (wana) dan pegunungan (giri). Tercatat ada 943 KK dengan 3908 tersebar di 3 banjar atau dusun yakni Asah Panci, Bhuanasari, dan Yeh Ketipat. Sejak 2015, desa ini mendapat izin hutan desa dalam skema perhutanan sosial oleh pemerintah. Fokus utamanya adalah pengembangan jasa lingkungan.

 

Ketua Badan Usaha Milik Desa Wanagiri I Made Darsana, sosok anak muda yang memimpin pengelolaan hutan desa sejak 2015. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dari sisi masyarakat, pengembangan jasa lingkungan dipilih karena menjadi satu solusi untuk sumber ekonomi desa, mengurangi urbanisasi generasi muda, dan membuka lapangan pekerjaan baru selain bertani.

Darsana yang menjadi pengelola hutan desa ini melihat peluang sekaligus tantangan dalam mengelola sejumlah sumber air di desanya. Salah satunya konflik air saat musim kemarau, saat debit mengecil. Untuk itu telah ada rembug antar desa untuk mencari solusi pembagian air.

“Kami ingin ikut kelola air,” ujarnya. Dengan mempertahankan alam, Darsana meyakini bonusnya adalah pariwisata selain cadangan air.

Juga akan dirintis penanaman bambu di lokasi hutan desa yang sistem pemanenannya tak menyalahi aturan perlindungan kawasan. Bambu dianggap salah satu komoditas yang menjanjikan, karena mudah diolah jadi kerajinan dan akarnya mampu menjaga air.

“Selain wisata air terjun, juga ada potensi pengembangan ekonomi lainnya,” jelas pria berusia 35 tahun ini. Salah satunya adalah pembudidayaan tanaman kopi.

 

Petani kopi

Selain pengembangan jasa hutan, di Desa Wanagiri juga banyak djumpai tanaman kopi. Kopi pun diolah warga untuk menjadi kopi bubuk yang lalu dipasarkan.

Menurut Suastini,seorang pengolah kopi, kopi lokal Wanagiri disebut dengan kopi tua, sementara Robusta dan Arabika disebut sebagai jenis unggul. Menurut beberapa pecinta kopi, kopi tua Wanagiri memiliki rasanya yang harum dan aromanya yang khas.

 

Kopi Wanagiri. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Eeng, seorang pengunjung wisata, menyebut keistimewaan kopi tua ala Wanagiri adalah bijinya yang berwarna kehijauan, green bean.

“Ini Tipika, jenis antara Robusta dan Arabika. Kemungkinan tumbuh secara alami,” cerita pria muda yang mengaku bekerja di sebuah cafe di Ubud.

Ia menunjukkan hasil gilingan kopi tersebut. Ada yang berwana coklat lembut dan tua mengarah gelap. Profil rasa dapat disesuaikan dengan pesanan saat menggiling atau roasting biji kopi. Menurutnya, untuk menggiling biji kopi tua yang pohonnya tinggi-tinggi di Wanagiri ini lebih bagus dengan mesin khusus besi cor, bukan mesin biasa.

Meski belum ada sejarah kisah tertulis kapan pertama kopi mulai ditanam di Wanagiri. Namun, dari tuturan singkat disebut awalnya adalah 10 KK yang membuka perkebunan kopi jadi jalan setapak untuk menghubungkan ke desa-desa lain.

Siang itu, Ni Nyoman Dening, anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Sari Amertha Giri, terlihat memanggang biji kopi di sebuah pabrik kecil yang dikelola kelompoknya. Aroma kopi meruap di pabrik sederhana ini. Ada yang sedang menyangrai biji kopi dan ada yang mengemas kopi bubuk. Diberi nama Kopi Wanagiri. Bergambar dua perempuan penari Legong.

Ia mengaku sudah 8 tahun menekuni kegiatan ini bersama rekan lainnya. Usaha kopi dari hulu ke hilir, mulai dari petik, jemur, selip kulit, biji, sangrai, jadi bubuk dan memasarkannya. Pada September lalu, kelompok ini mengolah sekitar 1 ton hasil panenan kopi.

 

Banyu Wana. Air terjun ini lebih tenang, dengan taman indah dan pahatan batu alami di tebingnya. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Komang Budiani dan Kadek Putri disebut sebagai duo perempuan desa yang merintis KWT Sari Amertha Giri, termasuk usaha pengolahan kopinya.

“Sering gagal juga goreng kopi, ada yang gosong dan mentah,” seru Anik, panggilan Budiani menceritakan proses awal pengolahan menggunakan kayu bakar di masa lalu.

Keteguhan dan semangat kelompok ini memperkenalkan di arena pameran produk-produk desa menghasilkan sejumlah bantuan seperti mesin sangrai dan grinder. “Keuntungan sudah masuk ke KWT. Kalau perempuan pegang uang lebih terperinci dan pasti berhasil jika didampingi,” yakin Anik.

Saat ini, selain dipasarkan ke luar desa, kopi dan beragam produk tanaman masyarakat turut dijual di warung-warung dekat pos air terjun.

Selain kopi, produk KWT Wanagiri lainnya adalah aneka keripik umbi seperti talas dan ubi, selai buah mangga, srikaya, murbei, juga madu alam. Sejumlah lembaga dan perusahaan turut mendampingi dan membantu pengembangan produk seperti Pelindo dan ITDC.

Kepala Desa Wanagiri Wayan Gumiasa menyambut baik model pengelolaan hutan lindung lewat perhutanan sosial. Tiga kompleks air terjun sebutnya telah menjadi daya tarik masuk ke area hutan lindung.

“Padahal dulu, melintas saja takut,” ujarnya. Ia pun meyakini warga bisa menjaga kelestarian hutan yang ada di Wanagiri.

 

Video: Hutan Desa Wanagiri, Penyangga Kehidupan Masyarakat

 

 

Exit mobile version