Mongabay.co.id

Katowice, Janji Perubahan Iklim dan Nasib Generasi Mendatang

“Maybe they will ask why you didn’t do anything  while there still was time to act.” 

Greta Thunberg (aktivis muda perubahan iklim Swedia)

 

Menginjak Rem Peradaban

Asa umat manusia digantungkan di Konferensi Perubahan Iklim (COP24) Katowice, Polandia. Kurang dari dua bulan sejak laporan IPCC mutakhir menyatakan bahwa kita cuma punya waktu 12 tahun untuk memastikan bahwa suhu atmosfer akan naik 1,5 derajat Celsius di akhir abad ini. Mengapa 1,5, bukan 2 derajat Celsius dari Kesepakatan Paris yang menjadi patokan? Laporan IPCC yang diluncurkan di awal Oktober lalu itu semakin jelas memperlihatkan bahwa perbedaan petaka di antara keduanya sungguh besar.

Climate Action Tracker menganalisa bahwa bila dunia tidak melakukan tindakan apa-apa, maka kondisi business as usual ini akan menghasilkan kenaikan suhu 4,1-4,8 derajat Celsius di atas masa pra-Revolusi Industri. Itu adalah masa depan yang tak terbayangkan beratnya bagi umat manusia. Apabila kebijakan perubahan iklim yang dimiliki oleh seluruh negara sekarang diterapkan, maka suhu akan memanas antara 3,1-3,5 derajat Celsius. Lebih ringan tampaknya daripada skenario pertama, tetapi kesengsaraan yang ditimbulkan sudahlah sangat berat.

baca :  IPCC : Hanya Tersisa 12 Tahun untuk Mencegah Bencana Ekstrim Akibat Perubahan Iklim

Perjanjian Paris telah membuat negara-negara yang ada di dalamnya untuk meninjau ulang kebijakan masing-masing dan memasukkan janji perubahan yang dilakukan di dalam nationally determined contribution (NDC). Kalau diasumsikan seluruh negara benar-benar mengubah kebijakan dan tindakannya sesuai dengan NDC masing-masing, maka suhu akan memanas 2,7-3,0 derajat Celsius. Masih sangat jauh dari target yang disarankan oleh IPCC, juga dari angka 2 derajat Celsius yang mengikat dalam Perjanjian Paris.

Gambaran itu tentu jauh dari menyenangkan. Siapa pula yang percaya bahwa seluruh negara akan secara konsisten mewujudkan seluruh janjinya? Sementara, total seluruh janji itu saja sama sekali tidak memadai untuk menyelamatkan generasi mendatang. Tak mengherankan bila Greta Thunberg, aktivis iklim dari Swedia, yang baru berumur 15 tahun tak menutupi kegeramannya ketika diberi kesempatan berbicara di hadapan para delegasi COP24.

You only talk about moving forward with the same bad ideas that got us into this mess, even when the only sensible thing to do is pull the emergency brake. You are not mature enough to tell it like it is. Even that burden your leave to us children. Our civilization is being sacrificed for the opportunity of a very small number of people to continue making enormous amounts of money. Our biosphere is being sacrificed so that rich people in countries like mine can libe in luxury. It’s the sufferings of the many which pay for the luxuries of the few.” Demikian pernyataannya yang sangat mengusik mereka yang masih memiliki hati dan mau menggunakan benak.

Baca : COP24: Sitting down to take a stand for real climate action

 

Greta Thunberg (kanan) aktivis perubahan iklim muda Swedia bersama Sekjen PBB Antonio Guterres (kiri) dalam satu sesi COP24 Katowice, Polandia, Desember 2018. Foto : Kiara Worth/enb.iisd.org/Mongabay Indonesia

 

Thunberg benar. Kita seharusnya mengerem laju peradaban yang telah membawa kita ke kondisi seperti sekarang. Betul bahwa banyak kemajuan yang sudah bisa kita hasilkan, dengan indikator-indikator ekonomi dan juga sosial yang meyakinkan. Namun, kita juga tahu bahwa indikator-indikator lainnya, terutama lingkungan, menunjukkan betapa kita sedang mengarah kepada masa depan yang sangat suram. Dan, ketika lingkungan sudah terlampaui batas-batasnya, maka kemajuan ekonomi dan sosial akan tak lagi berarti. Perubahan iklim adalah ancaman terbesar atas batas-batas itu.

Tetapi, menginjak rem itu bukanlah berarti kemudian kita berhenti di tengah jalan. Sebagaimana yang banyak digambarkan para pakar, kita perlu mengambil jalur peradaban yang berbeda—bukan seperti jalur ‘bebas hambatan’ sebagaimana kita berada sekarang. Jalur yang tampaknya akan beragam, masing-masing lebih kecil, dengan kecepatan yang lebih rendah, namun dengan pemandangan sepanjang jalan yang jauh lebih indah dan bisa dinikmati semua orang.

 

Menimbang Pilihan Lain

Kalau kita membayangkan sebuah diagram dua dimensi dengan empat kuadran, di mana sumbu x-nya adalah upaya mitigasi dan sumbu y-nya adalah upaya adaptasi, dan masing-masing dibagi menjadi tingkatan dangkal dan dalam—maka peradaban yang sedang kita jalani adalah peradaban dengan mitigasi dan adaptasi yang dangkal. Peradaban ini ditandai dengan pembangunan tinggi karbon di seluruh sektornya. Energi dihasilkan terutama dari sumber-sumber fosil, hutan-hutan terus dibuka sehingga simpanan karbonnya terus menurun. Yang akan terjadi adalah kondisi yang disebut Will Steffen, dkk (2018) sebagai Hothouse Earth, yaitu rentetan kejadian yang saling menguatkan hingga akhirnya Bumi tak dapat lagi memanfaatkan mekanisme homeostasis untuk memulihkan dirinya.

Artikel tersebut, yang berjudul Trajectories of the Earth System in the Anthropocene, menyatakan bahwa kondisi perubahan iklim yang dihadapi umat manusia sekarang “…would almost certainly flood deltaic environments, increase the risk of damage from coastal storms, and eliminate coral reefs (and all of the benefits that they provide for societies) by the end of this century or earlier.” Tentu saja, yang terjadi di daratan juga akan membuat situasi semakin buruk. Gambaran masa depan yang akan kita hadapi itu sedemikian parahnya, sehingga Johan Rockström, salah satu penulisnya menyatakan “Fifty years ago, this would be dismissed as alarmist, but now scientists have become really worried.

Di sisi lain kita juga tak bersiap-siap dengan tindakan adaptif yang diperlukan. Kita lebih banyak berkutat dengan mitigasi, yang ternyata hingga sekarang tidak menghasilkan keseriusan yang dibutuhkan—dan melupakan bahwa adaptasi itu setidaknya sama pentingnya, kalau bukan malah lebih penting, daripada mitigasi. Baru beberapa tahun belakangan saja upaya adaptasi mendapatkan perhatian yang (hampir?) memadai dari berbagai kalangan. Tetapi, perhatian itu belum mampu menempatkan adaptasi dalam tingkat keseriusan yang tinggi di dalam NDC, apalagi di dalam praktiknya.

baca juga :  Pergerakan Global Mencari Percepatan Solusi Adaptasi Iklim

 

Skenario dampak perubahan iklim global dengan tingkat mitigasi dan adaptasi yang dilakukan. Sumber : Jalal

 

Kuadran 1—mitigasi dangkal; adaptasi dangkal—adalah peradaban yang menjamin kondisi katastrofik bagi anak-cucu kita. Kita sendiri telah diberikan icip-icip-nya, namun tentu belum seberapa dibandingkan yang bakal dihadapi mereka bila kita terus hidup di kuadran tersebut. David Attenborough, orang yang membawa kesadaran lingkungan kepada jutaan, atau mungkin miliaran, penduduk Bumi melalui acara-acara yang dia buat, mengingatkan para delegasi di Katowice bahwa “collapse of civilization is on the horizon”, dan bahwa kita adalah generasi terakhir yang punya peluang untuk mencegahnya.

Kuadran 2—mitigasi dalam; adaptasi dangkal—tampaknya adalah jalur perubahan yang lebih mungkin terjadi. Mengapa demikian? Lantaran beragam teknologi rendah karbon sekarang sudah tersedia secara massif. Kalau 14 tahun lampau saja Stephen Pacala dan Robert Socolow sudah menjelaskan bahwa pilihan teknologi yang ada ketika itu sudah bisa menyelesaikan kebutuhan mitigasi lewat apa yang mereka sebut sebagai stabilization wedges, sekarang teknologi yang tersedia sudah jauh lebih banyak variasinya, dengan kemampuan mitigasi yang lebih dalam.

Tahun lalu, Paul Hawken telah menerbitkan Drawdown: The Most Comprehensive Plan Ever Proposed to Reverse Global Warming, sebuah buku sangat terkenal yang menjelaskan seluruh teknologi mutakhir yang sudah bisa dimanfaatkan oleh umat manusia untuk menurunkan emisi. Optimisme yang sangat besar bisa kita dapatkan bila kita jumlahkan keseluruhan pilihan tersebut—ada 80 yang diajukan, yang seluruhnya siap ditingkatkan skalanya. Tetapi, apakah secara ekonomi ini bisa dilaksanakan? Project Drawdown memastikan bahwa keseluruhan solusi yang diajukan itu memiliki business case yang menjanjikan. Beragam laporan dari organisasi New Climate Economy juga menekankan bahwa mengikuti jalur pembangunan rendah karbon itu sesungguhnya juga menguntungkan secara ekonomi, apalagi bila diwujudkan sesegera mungkin.

Tetapi, jelas juga terlihat bahwa pembicaraan mengenai pembangunan rendah karbon masih didominasi oleh upaya mitigasi. Kuadran 3—mitigasi dangkal; adaptasi dalam—bukanlah jalur yang cukup popular sekarang. Pada kenyataannya, adaptasi memang masih kurang dan terlambat mendapatkan perhatian. Tetapi bukan berarti tak ada yang lebih menekankan jalur ini. Beberapa ilmuwan terkemuka melihat bahwa umat manusia tak cukup serius, dan mungkin tak memiliki cukup waktu, untuk memastikan keberhasilan mitigasi. Mereka lalu menyerukan perlunya sesegera mungkin upaya-upaya yang disebut sebagai deep adaptation.

Kalau adaptasi biasanya identik dengan tindakan-tindakan untuk mengelola dampak jangka pendek dan langsung dari perubahan iklim seperti membangun tanggul di pantai, konservasi air minum, membangun gedung yang tahan badai, dan memastikan orang mendapatkan asuransi atas kerugian yang terjadi; beberapa ilmuwan telah memikirkan tindakan yang lebih jauh. Jonathan Gosling, misalnya, telah menuliskan makalah tentang membangun sistem air dan komunikasi yang tetap berfungsi manakala aliran listrik padam lantaran bencana iklim. Pasokan pangan juga ia pikirkan secara masak untuk skenario bencana iklim terburuk. Jem Bendell, yang mengusulkan istilah deep adaptation tersebut, mengusulkan pemindahan penduduk besar-besaran dari pantai, menutup fasilitas industri yang terpapar risiko bencana iklim, merencanakan penjatahan pangan dan air, menghentikan berbagai tipe konsumsi, dan mengusulkan teknik-teknik yang mengembalikan berbagai habitat ke kondisi alamiahnya sebagai cara manusia bertahan hidup dalam jangka panjang.

Tetapi, mengingat kita sebetulnya masih memiliki waktu untuk tetap berada di kenaikan maksimal 1,5 derajat Celsius, atau setidaknya 2 derajat Celsius, tak seharusnya kita membuang asa untuk berada di Kuadran 4—mitigasi dalam, adaptasi dalam. Sekali lagi, seluruh teknologi mitigasi dalam yang dibutuhkan sudahlah tersedia. Sementara, adaptasi dalam juga sebetulnya sudah pula diketahui apa saja tindakan yang perlu diambil. Tindakan mitigasi dalam itu akan menghasilkan keuntungan ekonomi dari peluang-peluang baru yang tercipta. Tindakan adaptasi dalam itu akan membuat kita membayar harga yang jauh lebih rendah dibandingkan alternatifnya. Hanya di kuadran inilah sebetulnya umat manusia bisa menikmati kehidupan yang flourishing. Bukan peradaban bak satu jalan bebas hambatan di mana seluruh manusia seperti memacu kecepatan menyongsong maut; tetapi peradaban bak jalan kecil yang berbeda-beda, namun sama memukaunya.

menarik dibaca :  Akankah Ekonomi Hijau Terwujud?

 

Michał Kurtyka (tengah) Presiden COP 24, melompat dari podium disaksikan kepala delegasi COP24 setelah ‘Katowice Climate Package’ diadopsi pada Sabtu (15/12/2018) malam waktu setempat. Foto : Kiara Worth/enb.iisd.org/Mongabay Indonesia

 

Capaian COP24

Kalau memang secara teknologi sudah tersedia dan memang menguntungkan secara ekonomi, mengapa bukan Kuadran 4 yang dipilih oleh umat manusia? Mengapa masih ada anggota delegasi Amerika Serikat yang hadir untuk mempromosikan ‘kebaikan’ energi fosil? Mengapa negara itu—bersama dengan Rusia, Arab Saudi, dan Kuwait—berusaha mati-matian melawan rekomendasi ilmiah yang sudah dihasilkan oleh IPCC? Tentu lantaran ada pihak-pihak yang dirugikan apabila umat manusia sepakat untuk berpindah ke ekonomi yang kompatibel dengan Kuadran 4. Mereka yang ingin tetap makmur dengan ekonomi tinggi karbon—seberapa pendeknya pun waktu yang tersisa—tampaknya belum tersentuh hati dan benaknya.

Oleh karenanya, apa yang dicapai di Katowice akan tampak mengecewakan bagi pihak-pihak yang menginginkan kita semua bisa segera berada di Kuadran 4. Kesepakatan yang dihasilkan di Katowice terutama ‘hanyalah’ kerangka transparansi, di mana seluruh negara yang berada di Perjanjian Paris akan menyediakan informasi mengenai tindakan mitigasi dan adaptasi sebagaimana yang telah dituangkan di dalam NDC masing-masing.

Paket Katowice itu mencakup juga petunjuk mengenai bagaimana meningkatkan sokongan pembiayaan perubahan iklim bagi negara-negara berkembang setelah tahun 2025. Kini, yang sudah disepakati adalah bahwa mulai tahun 2020 negara-negara maju akan memobilisasi USD100 miliar per tahun. Lainnya, soal bagaimana seluruh negara melakukan global stocktaking dari hasil tindakan-tindakannya untuk dilaporkan di tahun 2023, serta bagaimana menilai kemajuan pengembangan dan transfer teknologi. Mengomentari hasil tersebut, Laurence Tubiana, salah seorang arsitek Perjanjian Paris, menyatakan rasa puasnya. Kini Perjanjian Paris benar-benar bisa ditegakkan lantaran aturan main yang jelas, dan negara-negara bisa ditagih janjinya.

Tetapi, tentu saja, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hasil analisis Climate Action Tracker, Perjanjian Paris itu masih berkutat pada apa yang mungkin disepakati oleh seluruh negara melalui NDC masing-masing, bukan benar-benar apa yang dibutuhkan untuk menyelamatkan generasi sekarang dan mendatang dari bencana akibat perubahan iklim. Laporan IPCC mutakhir lantaran perlawanan dari keempat negara—yang mungkin akan dianggap sebagai axis of evil baru—hanya direkomendasikan menjadi rujukan belaka. Sense of urgency yang sangat kuat terasa di laporan tersebut benar-benar seperti menguap begitu saja di akhir dokumen yang disepakati di Katowice. Kita seakan masih punya waktu yang panjang untuk bisa berada di dalam Kuadran 1 seperti sekarang, padahal, seperti kata Attenborough, keruntuhan peradaban sudah ada di depan mata.

 

Aksi masyarakat sipil terbesar di COP 24, Katowice, Polandia, ratusan orang berkumpul di tangga, meminta delegasi ‘di pihak mana Anda berada’ dan mengatakan bahwa mereka ‘berdiri bersama orang, bukan pencemar’. Foto : Kiara Worth/enb.iisd.org/Mongabay Indonesia

 

Tindakan Setelah Katowice

Di akhir pidatonya di hadapan delegasi COP24, Thunberg membayangkan bahwa di tahun 2078 dia akan berusia 75 tahun dan ditanya oleh anak-cucunya soal para perunding perubahan iklim yang berkumpul di Katowice. “Maybe they will ask why you didn’t do anything while there still was time to act.” Pertanyaan itu seharusnya dianggap sebagai gugatan kepada seluruh manusia dewasa yang hidup sekarang, lantaran kita secara bersama-sama menciptakan kondisi iklim seperti sekarang beserta trajektorinya yang mengerikan. Hanya ada sekitar 25.000 orang yang berkumpul di Katowice, yang walaupun konon mewakili kepentingan negara dan kelompok kepentingan tertentu, jumlah itu tak sebanding dengan 7 miliar umat manusia yang hampir seluruhnya bersama-sama menjalani hidup di Kuadran 1.

Thunberg kemudian melanjutkan, “Until you start focusing on what needs to be done, rather than what is politically possible, there is no hope. We cannot solve a crisis without treating it as a crisis. We need to keep the fossil fuels in the ground, and we need to focus on equity. And if solutions within the system are so impossible to find, then maybe we should change the system itself.” Apa yang Thunberg sampaikan itu bersandarkan pada konsensus ilmu pengetahuan tentang perubahan iklim. Namun, konsensus ilmu pengetahuan tersebut tampaknya belum menjadi konsensus sosial, apalagi konsensus politik. Perubahan sistemik memang dibutuhkan untuk mengatasi kesenjangan antara tindakan yang dibutuhkan versus tindakan yang disepakati. Sudah 24 tahun COP diselenggarakan, dan Thunberg serta generasi setelahnya tak juga mendapatkan peluang masa depan cerah yang seharusnya bisa mereka terima dari kita.

Oleh karenanya, dia kemudian menyatakan dengan tegas, “We have not come here to beg world leaders to care. You have ignored us in the past, and you will ignore us again. We have run out of excuses, and we are running out of time. We have come here to let you know that change is coming, whether you like it or not. The real power belongs to the people.” Kelugasan Thunberg seharusnya menampar kesadaran kita semua. Apakah setiap tindakan kita benar-benar mencerminkan rasa cinta kita kepada anak dan cucu? Ataukah sesungguhnya kita hanya merasa dan berucap demikian, sambil terus melakukan tindakan-tindakan yang memastikan kesengsaraan mereka?

Ketika Thunberg mengatakan perubahan sedang terjadi dan kekuatan ada di tangan rakyat, apakah kita menjadi bagian perubahan itu ataukah jadi hambatannya? Kita perlu bertanya juga apakah kita bersama rakyat yang disebut Thunberg, ataukah kita jadi bagian yang menentang mereka? Jawabannya terpulang pada masing-masing orang.

 

Michał Kurtyka (tengah) Presiden COP 24, berfoto bersama kepala delegasi setelah ‘Katowice Climate Package’ diadopsi pada Sabtu (15/12/2018) malam waktu setempat. Foto : Kiara Worth/enb.iisd.org/Mongabay Indonesia

 

Dalam konteks perundingan perubahan iklim, bila secara jujur kita menimbang apa yang dihasilkan oleh COP24 dengan kata-kata Thunberg, rasanya COP kali ini bakal terhitung sebagai bad COP, lantaran tak cukup menimbang nasib Thunberg dan generasinya.

COP24 telah berakhir, namun perjuangan untuk pengendalian perubahan iklim masih panjang. Tindakan kita masing-masing dan secara kolektif setelah perhelatan di Katowice berakhir akan menentukan apakah kelak kita mampu menatap mata anak-cucu dengan pesan bahwa bahwa kita memang telah menyayangi mereka dengan sungguh-sungguh, atau kita bakal menghindari kontak mata dengan mereka lantaran hanya bisa tertunduk menyesal dan meminta maaf.

***

*JalalReader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

Exit mobile version