Mongabay.co.id

Merawat Hutan Sagu di Sentani

Seorang pemuda membersihkan pohon sagu yang hendak ditebang. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Luas lahan sagu yang teridentifikasi pada enam distrik di Kabupaten Jayapura, sekitar 3.302,9 hektar. Hampir 90% lahan sagu alam ini terancam hilang. Sementara hutan sagu yang terlindungi merupakan buah upaya warga adat, salah satu di Kampung Yoboi.

 

Obee, begitu nama rumah adat Kampung Yoboi, Jayapura, Papua. Di rumah itu, warga bercerita tentang sagu. Bergantian mereka mengingat dan menyebut beragam jenis sagu. Ada sekitar 22 jenis. Mereka mengelompokkan jadi sagu duri dan tak berduri.

Sagu berduri ada 10 jenis yaitu bhara, ebesung, ruruna, rondo, mangno, waliha, yakhalobhe, phui, habhelea, dan mongging. Sedang sagu tak berduri 12 jenis, yaitu yebha, folo, wani, phane, osukhulu, hili, yakhe, ebung yebha, hopholo, yokhuleng, folo wakhe dan phane wakhe.

Dari 22 jenis, ada empat mereka sebut sebagai sagu utama yaitu bhara, rondo, yebha dan folo. Mereka sebut utama karena karena sagu kualitas terbaik dan simbol kebesaran ondoafi, pemimpin tertinggi di kampung.

Kampung Yoboi, terletak di Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Ia berada di pinggir Danau Sentani. Rumah-rumah warga dibangun di atas air, memanjang di tepi danau. Di bagian belakang, tampak hamparan hutan sagu, biasa disebut dusun sagu.

Menuju kampung ini pakai speedboat kurang lebih lima menit dari Dermaga Yahim Sentani. Jalan darat sebenarnya bisa dibangun tetapi warga memilih jalan air karena khawatir menggusur sebagian dusun sagu mereka.

Dengan ongkos Rp5.000, tiap hari waga keluar masuk ke kampung ini pakai speedboat.

Kampung Yoboi, adalah salah satu kampung di Sentani dengan dusun sagu masih utuh. Kepala Kampung Yoboi, Sefanya Wally mengatakan, luas dusun sagu sekitar 1.600 hektar. Ia merupakan milik warga dari tiga kampung yaitu Babrongko, Simporo dan Yoboi.

Dusun sagu ini milik komunal. Di Yoboi, ada 10 keret, masing-masing memiliki lokasi komunal dalam dusun ini.

Bagi masyarakat di sini, sagu memiliki banyak fungsi. Secara eknomi, pati sagu jadi makanan utama warga dan sumber penghasilan. Sagu juga biasa dipakai dalam upacara-upacara adat. Selain pati, bagian lain sagu memiliki banyak fungsi. Batang bisa membuat dinding, lantai rumah atau jadi kayu bakar. Daun bisa dianyam jadi atap, dinding dan wadah penyimpanan barang.

Fungsinya, untuk kehidupan sehari-hari masyarakat membuat keberadaan dusun sagu melekat dengan kampung terutama kampung adat.

 

Kampung Yoboi. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Hidup dari sagu

Di Kampung Yoboi, masyarakat bercerita tentang bagaimana sagu memberi manfaat bagi kebutuhan ekonomi mereka.

Mama Leonora Tumkoye, punya enam anak. Satu anak di perguruan tinggi, tiga di sekolah menengah atas. Keperluan membayar biaya sekolah dari menjual sagu.

“Misal yang kuliah bilang bayar Rp7 juta uang masuk. Kita ramas sagu sampai 30 karung, bisa dapat itu,” katanya.

Sagu dijual masih bentuk tepung basah. Dalam wadah karung 15 kg, tepung sagu Rp250.000. Satu batang sagu bisa menghasilkan sampai 10 karung, tergantung kualitas. Proses kerja bisa memakan waktu sampai tiga hari tergantung tenaga kerja.

Di Yoboi, masyarakat mulai mencoba pakai teknologi baru untuk mempersingkat waktu kerja. Mereka pakai mesin sensor untuk penebangan dan mesin parut buat meramas. Teknologi baru ini pelan-pelan mengikis nilai sosial dan pengetahuan lokal dari proses kerja pengolahan sagu.

Meski begitu, masyarakat di Yoboi memiliki kesadaran mempertahankan pengetahuan dan nilai lokal sagu mulai dari pembibitan, budidaya hingga pengolahan. Dengan potensi dusun, mereka ingin jadikan lokasi ini wisata sagu.

 

Dusun sagu di Kampung Yoboi. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Ke depan, di tempat ini, bisa menyaksikan bagaimana budidaya dan olahan sagu secara tradisional. Dengan cara ini mereka percaya, dusun sagu tetap terjaga, bisa mempertahankan pengetahuan dan tradisi lokal sekaligus pendapatan masyarakat bertambah

Warga Yoboi percaya, selain perlndungan dengan kesepakatan tingkat kabupaten, adat level kampung jadi kunci kelestarian lahan-lahan sagu.

“Kalau kita sudah punya kesepakatan di parapara adat berarti itu sudah satu keputusan mutlak. Jika ada komitmen di tingkat bawah buat perlindungan hak-hak ulayat, itu jadi kuat,” kata Sefanya Wally, Kepala Kampung Yoboi.

Walaupun tidak tertulis, katanya, hukum adat dipakai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

“Di Sentani, banyak dusun sagu hilang. Itu tergantung lembaga adat masing-masing. Ada yang kuat, ada yang apa adanya. Kalau kita di sini solid.”

Melalui program kampung, Sefanya dan masyarakat Yoboi berencana mengembangkan wisata hutan sagu yang menyatu dengan pemancingan dan memanfaatkan air danau.

Industri pengolahan sagu juga masuk ke tempat ini, namun masih tahap pembicaraan. Sefanya ingin masyarakat sendiri yang mengolah jadi tepung, bukan menjual batang sagu atau lahan kepada perusahaan.

 

Tamu yang sedang menikmati makan papeda dan ikan di Balai Kampung Yoboi. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Perda kampung adat

Pada 2013, Matius Awoitauw, Bupati Jayapura, mencanangkan kebangkitan adat. Adat jadi kekuatan pembangunan daerah. Kearifan masyarakat adat terbukti menjaga kelestarian tanah dan hutan termasuk hutan sagu.

“Di Papua, tanah dimiliki masyarakat adat. Lain dengan di Indonesia dikuasai negara. Ini kekuatan sebenarnya kalau kita mau membangun Papua. Adat tidak boleh diobrak-abrik. Ini harus jadi satu kekuatan terintegrasi,“ kata Awoitauw.

Dia bilang, penguatan sistem adat perlu. Perda Kampung Adat Nomor 8/2016 sudah disahkan dengan tujuan antara lain, menguatkan peran adat dalam pembangunan dan pemerintahan daerah, melindungi dan melestarikan adat istiadat yang hidup dan diwariskan turun temurun. Juga memberi ruang bagi pemerintaha adat dalam penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan daerah serta pelayanan kepada msayarakat.

“Adat ini harus bangkit mengambil tanggungjawab pembangunan. Kampung adat ini harus diangkat supaya jadi alat percepatan pembangunan untuk kesejahteraan.”

Konsep-konsep baru seperti perhutanan sosial, katanya, sudah ada dalam sistem kampung adat. Tugas pemerintah secara teknis, katanya, memberikan dukungan bagi masyarakat adat.

“Kalau bicara soal hutan, dia sudah tau, hutan mana dia boleh tebang dan mana tak boleh. Tinggal nanti, Dinas Kehutanan kasi tambahan pengetahuan lagi.”

Mengintegrasikan konsep-konsep baru dalam sistem adat inilah yang sedang diupayakan melalui kampung adat.

 

 

 

Hutan sagu menyusut dan terus terancam

Pemerintah Kabupaten Jayapura, bekerjasama dengan Universitas Negeri Papua melakukan kajian mengenai pengembangan dan pemanfaataan lahan sagu di Jayapura.

Tim ini survei di Distrik Sentani Timur, Sentani, Sentani Barat, Waibu, Demta dan Bonggo Timur. Pada enam distrik ini, luas lahan sagu sekitar 3.302,9 hektar. Lahan sagu terluas ada di Distrik Sentani 1.964,55 hektar, Sentani Timur 473 hektar, Demta 375 hektar, Unurum Giay 277,3 hektar, Waibu 138,9 hektar dan Sentani Barat 277,3 hektar.

Kajian ini menemukan, potensi pengurangan luasan bisa sampai 2,832 hektar karena dalam peta pola ruang Papua, lewat Perda Nomor 23/2016, kawasan-kawasan itu masuk areal budidaya.

Udang-undang Nomor 26/2007 menyebutkan, yang termasuk kawasan budidaya antara lain peruntukan hutan produksi, hutan rakyat, pertanian, perikanan, pertambangan, dan pemukiman. Juga industri, pariwisata, tempat ibadah, pendidikan maupun pertahanan keamanan. Berdasarkan RTRW, lahan-lahan sagu ini terbuka buat berbagai macam budidaya.

Distrik Sentani, dengan luas lahan sagu terbesar merupakan ibukota Kabupaten Jayapura. Pengembangan kota bisa mengorbankan luasan ini. Ada bandara, pusat perkantoran dan bisnis serta perumahan.

Sebenarnya, Kabupaten Jayapura punya peraturan daerah guna perlindungan sagu sejak 2000. Kala itu Kabupaten Jayapura dipimpin Yan Pieter Karafir, insinyur pertanian. Perda No 3/2000 ini mengatur tentang pelestarian kawasan sagu.

Dalam perda ini juga memuat larangan, antara lain larangan penebangan, pengrisakan, pembakaran dengan tujuan memusnahkan atau mematikan sagu pada hutan sagu. Ada juga larangan menjual dan melepas tanah hutan sagu baik sebagian maupun seluruhnya, baik hak milik perorangan maupun hak milik 
bersama atau hak ulayat.

Pemerintah, badan hukum dan perorangan juga dilarang membeli tanah pada kawasan yang ada hutan sagu. Aparat pemerintah juga dilarang menandatangani surat-surat pelepasan tanah atau surat izin membangun pada lokasi yang ada sagu.

Perda ini tak jalan. “Memang kita juga akui, kita di tim pemerintah ini belum solid memberikan informasi yang baik dari waktu ke waktu supaya masyarakat bisa berperan dengan apa yang kita sudah sepakati,” kata Matius Awatouw, Bupati Kabupaten Jayapura, Kamis (6/12/18).

Sosialisasi perda ke masyarakat juga minim. Di Yoboi, misal, kepala kampung mengatakan masyarakat tak banyak tahu tentang perda ini. Dusun sagu masih utuh lebih karena kesepakatan internal adat kampung.

 

 

Warga membuat wadah penyimpanan serat sagu dari daun sagu. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Awatouw berpendapat, kondisi ekonomi masyarakat adat pemilik ulayat mendesak mereka melepas kawasan sagu. Satu sisi masyarakat menggantungkan kebutuhan sehari-hari dari alam. Saat sama, mereka memerlukan uang.

“Anak-anak perlu sekolah, perlu masuk universitas. Atau dia sendiri mau jadi calon anggota DPR. Ini tuntutan. Di pihak lain ini persaingan cukup ketat.”

Pengembang yang memerlukan tanah pun ikut memanfaatkan situasi ini. Ada pelepasan lahan masyarakat dengan menyerahkan sejumlah uang sudah cukup jadi dasar mereka membangun meskipun di hutan sagu.

 

Revisi perda sagu

Perda perlindungan sagu pun akan direvisi. Hanna Hikoyabi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Jayapura mengatakan, terlebih dahulu merevisi RTRW. Dalam RTRW baru dusun sagu akan masuk dalam peruntukan ruang fungsi sosial budaya.

“Dalam tata ruang pembangunan di kota ini ada dusun-dusun sagu yang dimiiki masyarakat. Di dalamnya, ada fungsi hutan melekat pada komunitas adat setempat. Misal, Sentani, ada 24 kampung. Masing-masing kampung punya dusun. Berarti 24 dusun di tiga distrik ini, Sentani Timur, Sentani dan Sentani Barat.”

Selain revisi peraturan, Pemerintah Kabupaten Jayapura bekerjasama dengan Pemerintah Papua juga mendorong budidaya sagu meski masih terbatas di dusun-dusun sagu milik warga.

“Mungkin ke depan harus didorong. Ini kan permintaan lagi bagus. Ada pasar. Pemerintah bisa lahan tertentu bisa budidaya. Kalau dusun itu masyakarat mau kapan saja datang tebang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan mendorong budidaya, kita berorientasi pada ekspor.”

Semoga budaya dan tradisi adat serta upaya pemerintah bisa menjaga kelestarian  sagu di Kabupaten Jayapura.

 

Keterangan foto utama:     Seorang pemuda membersihkan pohon sagu yang hendak ditebang. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Batang sagu yang telah melewati masa panen akan roboh dan jadi media tumbuh jamur dan ulat sagu. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version