Mongabay.co.id

Belajar Hidup Ramah Alam dari Desa (Bagian 1)

Hasil kebun berupa umbi, salak, dan pisang hasil panen di desa yang dijual di Pasar Papringan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

“Saat ini banyak orang yang iri kepada saya setidaknya untuk satu hal, saya berangkat ke kantor hanya perlu 30 detik. Kalau ada yang lupa masih bisa pulang dulu,” kata Singgih Susilo Kartono, pendiri dan inisiator Spedagi Movement, di hadapan peserta Konferensi Internasional Revitalisasi Desa ketiga, akhir November lalu.

Kantor yang dia maksud adalah tempat bekerja sekaligus workshop radio kayu Magno dan Spedagi, sepeda berkerangka bambu. Kantor itu hanya belasan langkah dari rumahnya di Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah.

“Usia saya tidak pernah berkurang karena kemacetan di jalan raya. Saya bisa bertemu dengan istri setiap waktu. Saya menikmati kehidupan yang sangat baik di desa.”

Desa memberikan kualitas lebih baik dalam beberapa hal dibanding kota. Di desa, udara relatif lebih bersih dari kota. Begitupun air dan makanan konsumsi sehari-hari, lebih terjaga. Tingkat stres jauh lebih rendah, dan desa menawarkan lingkungan dengan gaya hidup lebih sehat.

 

 

Pertemuan ketiga

International Conference on Village Revitalization (ICVR) ketiga kali ini mengangkat tema coolaboration, dari kata cool dan colaboration pada 21-25 November lalu di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Temanggung.

Fransisca Callista, ketua panitia, mengatakan, maksud dari kata itu adalah kolaborasi keren. Konferensi ingin mengajak banyak pihak untuk membuat kerja sama dalam menghadapi permasalahan menimpa desa dan kota, baik lokal maupun global.

Meski berlangsung di desa pada sebuah kota kecil, peserta datang dari berbagai negara, seperti Jepang, Belanda, Jerman, Australia, India, dan segenap penjuru Indonesia. Mulai pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, dan NTT. Ada sekitar 80 orang.

ICVR adalah konferensi dua tahunan bergantian di Indonesia dan luar negeri. ICVR pertama di Temanggung, Indonesia, pada 2014. Kedua dihelat di Yamaguchi, Jepang pada 2016.

“ICVR diinisiasi Spedagi, diselenggarakan di desa, melibatkan warga lokal, dan proses berpegang pada nilai-nilai lokalitas, kesederhanaan, kemandirian, kebergunaan, dan berkelanjutan.”

 

Imam Abdul Rofiq (kaos putih), Yuli Kusworo (berkaca mata), dan Angga Sinaga (baju batik) berbicara di depan peserta. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Konservasi

Imam Abdul Rofiq, ketua kegiatan proyek prakonferensi menyebut, Pasar Papringan, upaya konservasi bambu dengan pendekatan kreatif jadi magnet bagi Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Temanggung. Pasar Papringan adalah bagian dari proyek Spedagi.

Sekitar Rp200 juta berputar di Pasar Papringan tiap bulan. Pasar ini dibuka dua minggu sekali, mulai pukul 6.000 pagi dan 12.00 siang, dengan dagangan kebanyakan kuliner. Ada seratusan warga desa terlibat langsung, dan ribuan orang dari luar mengunjungi Ngadiprono tiap bulan.

Pasar Papringan, menempati kebun bambu seluas 2.500-an meter persegi ini, kini menambah area untuk taman bambu seluas 3,5 hektar. Gunung Koang, sebutan warga untuk bukit kecil itu kini dipercantik dengan jalan trasah.

Bukit itu bersebelahan dengan area Pasar Papringan. Area banyak ditumbuhi bambu, kopi, dan tanaman perkebunan lain namun selama ini belum terawat dan tidak produktif. Dengan bantuan Arkom Jogja, warga diajak memetakan potensi dan membuat jalan trasah.

“Warga kini memiliki data, peta kebun, dan kalender musim. Mereka sendiri yang membuat. Sebelumnya, sebagian petani tidak tahu luas kebun berapa, ditanami apa saja, berapa hasil dalam setahun.”

Pengunjung Tambujatra antara lain bisa menyaksikan situs Watu Kentheng. Batu berukuran sedang dengan cerukan unik untuk menumbuk daun dilem sebagai sabun, juga abu merang untuk shampoo. Situs terletak di mata air tempat mandi, mencuci, dan bersosialisasi warga. Umumnya anak-anak dan kaum perempuan. Para pria dewasa mandi di mata air yang lain.

Beberapa jenis bambu tumbuh di area Gunung Koang. Ada apus, ampel, legi, dan petung. Pada kunjungan jelang ICVR ketiga itu, peserta diperlihatkan bunga bambu yang hanya muncul setiap 55 hingga 60 tahun sekali. Mereka yang mengunjungi Tambujatra juga dikenalkan cara membuat pupuk kompos dari daun bambu.

Menurut keterangan panitia, prakonferensi dilaksanakan di India dengan penyelenggara Kilab atau Kashmir Innovation Lab (Kilab), sebuah studio kreatif dengan bidang multidisiplin, mulai makanan hingga kerajinan ramah lingkungan.

Sejumlah pembicara tampil dalam paralel seminar di ICVR ketiga berbagi pengalaman bagaimana hidup selaras dengan alam, memakai bahan-bahan lokal, dan berkelanjutan.

Mitsuhiro Tokuda, berbicara tentang inisiatif pemanfaatan bangunan kosong akibat urbanisasi di Jepang. Anna Guegan Rahmah dari Australia berbicara mengenai komunitas Lorrina yang mandiri energi dan memanfaatkan sumber daya lokal dalam kehidupan sehari-hari. Ada Burhan Ud Din Hataeb dari India berbicara mengenai desain tradisional dan upaya melestarikannya agar tetap bernilai tinggi.

Dari Indonesia membagikan pengalaman Ugi Sugriana Rakasiwi, pemimpin adat kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi. Dia bercerita bagaimana masyarakat menjaga alam, mandiri energi dan pangan dengan tetap menjaga kemurnian berbagai varietas padi.

Ada pula Udi Hartoko, Kepala Desa Pujon Kidul, Malang, yang mengembangan desa wisata. Turut berbicara Angga Sinaga, pendiri Urban+, Jakarta, Yuli Kusworo, Direktur Arkom Jogja, Livinia Elysia, Manajer Hubungan Internasional Spedagi Japan.

 

Mujiono, pengrajin mainan anak beromzet Rp1 juta di Pasar Papringan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Sepdagi Movement

Singgih mengawali proyek Spedagi pada 2013. Dia mengajak orang berpaling ke desa lestari. Kini, Spedagi Movement menyebar hingga ke Tokyo dan Ato, di Jepang. Gerakan ini kini dalam penjajakan di Australia, India, dan Belanda.

Spedagi Movement memiliki tiga nilai dasar, yakni, mandiri, lestari, dan kreatif. Nilai mandiri antara lain tercermin dalam bentuk desa yang mengoptimalkan sumber daya lokal. Lestari karena keberlanjutan kehidupan di planet bumi bergantung cara manusia memperlakukan alam dengan bijak. Nilai kreatif muncul sebagai respon kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan manusia berkomunikasi, berkarya, dan bekerja sama dalam ruang tanpa batas.

Dalam pandangan Singgih, negara-negara maju mewakili masyarakat post-industri yang memiliki ciri-ciri kehidupan lebih sejahtera, tetapi jiwa kosong. Industrialisasi mengakibatkan kerusakan lingkungan serius hingga muncul gerakan back to nature, dan sustainability.

“Negara berkembang akan tiba pada situasi masyarakat industri yang sudah ditinggalkan negara maju,” katanya.

Negara berkembang, katanya, tak perlu mengikuti jejak negara-negara maju yang haus energi dan rakus sumber alam.

“Kita perlu shortcut,” kata Singgih. “Mengumpulkan yang baik di masa lalu, dan meninggalkan yang jelek di masa sekarang.”

Desa di masa depan yang harus diwujudkan, adalah apa yang disebut cyral, dari kata city dan rural.

“Saya hidup di desa, tapi bergaya kota. Berkarya, berkomunikasi seperti orang kota tetapi saya tak perlu beli beras, ke kantor hanya perlu 30 detik.”

Menurut dia, negara maju harus berubah. Masyarakatnya sudah ‘tua,’ hingga sudah selayaknya lebih bijaksana.

“Ini yang harus dibagi kepada dunia untuk membawa arah baru. Kalau berkompetisi sudah lelah juga. Dunia tidak bakal lestari kalau ada yang menang dan yang lain dikalahkan.”

Dia berharap sebuah tatanan baru, dengan redistribusi populasi seimbang antara kota dan desa akan membuat kehidupan lebih baik bagi desa dan kota. (Bersambung)

 

Keterangan foto utama:      Hasil kebun berupa umbi, salak, dan pisang hasil panen di desa yang dijual di Pasar Papringan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version