Mongabay.co.id

Pembudidaya Ikan Skala Kecil Kini Semakin Terlindungi

Setelah hampir dua tahun tanpa ada kejelasan, pembudidaya skala kecil untuk komoditas bandeng, nila, dan patin kini mulai mendapatkan kesetaraan untuk memperoleh perlindungan usaha. Perlindungan berupa asuransi perikanan bagi pembudidaya ikan kecil (APPIK) itu, resmi diperkenalkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pekan lalu.

Perlindungan kepada pembudidaya bandeng, nila, dan patin, merupakan perluasan cakupan APPIK yang sebelumnya terfokus kepada pembudidaya udang dan sudah diluncurkan pada akhir 2017. Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto di Jakarta. Menurut dia, ketiga komoditas tersebut mendapatkan perlindungan, karena memang ketiganya adalah komoditas unggulan bagi Indonesia.

Slamet mengatakan, pemilihan tiga komoditas tersebut untuk diberikan perlindungan APPIK, dilakukan melalui proses yang panjang dan analisa yang dalam. Kata dia, sebelum memutuskan, pihaknya melakukan analisa resiko kerugian usaha untuk mengindentifikasi resiko-resiko dalam kegiatan usaha. Cara tersebut, sekaligus menjadi dasar dalam penentuan besaran premi untuk masing-masing komoditas.

“Hingga terbitnya Izin Produk Asuransi Perikanan tersebut,” terang Slamet.

baca :  Akhirnya, Pembudidaya Ikan Kecil Terlindungi Asuransi Juga

 

Seorang pekerja sedang memberikan pakan pada ikan nila dalam budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Menurut Slamet, pemberikan perlindungan APPIK, menjadi turunan dari upaya keberlanjutan untuk perlindungan pembudidaya ikan kecil melalui asuransi perikanan. Hal itu, sesuai dengan amat dalam Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan bagi Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam

“Itulah kenapa pemberian asuransi menjadi penting,” sambungnya.

Walau sudah mendapatkan perlindungan APPIK, Slamet mengingatkan kepada para pembudidaya, bahwa hingga saat ini masih ada penilaian dari lembaga pembiayaan, yang menyimpulkan bahwa usaha pembudidaya ikan masih dianggap beresiko tinggi. Hal itu, diakuinya masih sulit untuk dihilangkan, karena memang memerlukan proses yang panjang dan tanpa henti.

 

Resiko Budidaya

Untuk mengatasinya, Slamet meminta kepada para pembudidaya untuk bisa menekan resiko yang ditakutkan lembaga pembiayaan, dengan cara menguasai teknologi dan menerapkan prinsip cara budidaya ikan yang baik (CBIB). Penerapan dua hal penting itu, menurutnya akan bisa mengurai permasalahan yang ada sebelumnya.

“Sehingga resiko bisa dihitung atau disebut calculation risk, dan sekaligus bisa meningkatkan mutu hasil perikanan budidaya,” tuturnya.

Selain dengan cara di atas, Slamet menyebutkan, Pemerintah terus berusaha untuk mengatasi persoalan tersebut dengan membuat solusi berupa pemberian premi asuransi perikanan. Pemberian asuransi tersebut, diharapkan bisa memberikan jaminan perlindungan atas resiko yang dialami para pembudidaya ikan skala kecil.

“Jadi, memang ada kaitan antara resiko usaha budidaya dan pemberian asuransi perikanan,” jelasnya.

baca juga :  Pembudidaya Ikan Skala Kecil Semakin Diperhatikan, Seperti Apa Itu?

 

Panen raya ikan patin di Desa Mentawa Baru Bapeang, Ketapang, Kotawaringin Timur, Kalteng, September 2018. Ikan patin merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya di Kotawaringin Timur, Kalteng. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Slamet menambahkan, pemberian perlindungan berupa program asuransi, juga menjadi ajang memberikan edukasi kepada para pembudidaya ikan dan masyarakat secara umum. Edukasi yang dimaksud, adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bahwa asuransi adalah hal yang sangat penting saat menjalankan usaha.

Dengan mendapatkan asuransi usaha bagi pembudidaya ikan skala kecil, Slamet mengatakan, diharapkan ada motivasi tambahan dan sekaligus bisa meningkatkan kinerja untuk melaksanakan budidaya ikan. Jika itu terjadi, maka diharapkan kepercayaan dari perbankan yang menjadi lembaga pembiayaan, akan meningkat banyak.

“Perbankan bisa memberikan bantuan permodalan kredit usahanya kepada para pembudidaya ikan kecil,” tuturnya.

Lebih lanjut, Slamet menjelaskan, bantuan premi asuransi perikanan yang diberikan kepada pembudidaya ikan, adalah bantuan untuk memberikan jaminan atas hilang atau rusaknya sarana pembudidayaan ikan yang menyebabkan kerugian atau kegagalan pada usaha pembudidaya ikan. Faktor kegagalan tersebut, bisa disebabkan oleh bencana alam yang tidak diduga sama sekali, seperti gunung meletus, banjir, ataupun gempa bumi.

“Atau, bisa juga karena ada serangan wabah penyakit ikan yang menyerang saat proses usaha budidaya sedang berlangsung,” sebutnya.

Diketahui, pengembangan program APPIK dilakukan KKP sejak 2017 atas dukungan penuh dan kerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI). Kerja sama antara ketiga lembaga tersebut, kemudian membentuk konsorsium yang terdiri dari beberapa perusahaan asuransi dan dipimpin PT Jasa Indonesia (Jasindo).

menarik dibaca :  Subsidi Perikanan Tepatnya untuk Siapa?

 

Pekerja sedang memanen ikan nila dari budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Tingkat produksi ikan nila dipengaruhi salah satunya oleh pakan ikan yang baik. Foto : Ariefsyah Nasution/WWF Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Berlipat Ganda

Setelah setahun berjalan, pada 2018, program APPIK diperluas cakupannya dan menyasar luasan yang dilindungi seluas 10.220 hektare. Pertambahan luasan tersebut menjadi upaya untuk melindungi lebih banyak usaha budidaya ikan. Pada 2018, jumlah pembudidaya yang sudah mendapatkan perlindungan mencapai 6.914 orang atau dua kali lipat lebih banyak dari 2017 yang hanya 2.004 orang saja.

Selama setahun berjalan, Slamet mengatakan, klaim asuransi yang diajukan pembudidaya nilainya sudah mencapai Rp676.151.000. Adapun, potensi komoditas yang diasuransikan pada 2018 menyebar luas di berbagai provinsi di Indonesia. Untuk udang, KKP mencatat sebaran ada di Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Maluku.

“Untuk udang, target produksi pada 2018 mencapai 806.257 ton,” jelasnya.

Kemudian, komoditas berikut adalah bandeng yang menyebar di Sulsel, Jabar, Jateng, Sultra, Kalsel, Sumsel, Aceh, Kalsel, dan Kalbar dengan target produksi 924.150 ton. Lalu, komoditas ikan patin di Sumsel, Kalteng, Kalsel, Riau, Jambi, Jabar, Lampung, Sumbar, Jatim, dan Kaltim dengan target produksi 604.587 ton.

“Dan komoditas nila di Jabar, Sumsel, Sumbar, Sulut, Sumut, Jateng, Bengkulu, Jatim, Kalsel, dan Jambi dengan target produksi 1.567.488,” tandasnya.

Secara keseluruhan, Slamet menuturkan, jumlah pembudidaya ikan saat ini sebanyak 3.740.528 orang. Potensi dan besarnya jumlah pembudi daya tersebut menjadi tantangan sekaligus peluang bagi perusahaan asuransi untuk menuju asuransi mandiri. Untuk itu, dia berjanji akan terus memberikan edukasi tentang pentingnya menggunakan perlindungan asuransi untuk keberlangsungan usaha budidaya ikan.

“Sehingga ke depan asuransi tidak hanya bagi pembudidaya dengan teknologi sederhana, tetapi lebih dari itu diharapkan juga untuk teknologi semi dan intensif, yang dapat menjangkau pembudidaya skala menengah dan besar,” tegasnya.

 

Ikan nila ini dipanen di keramba jaring apung di kawasan Haranggaol, Danau Toba. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Sementara, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan, perluasan cakupan APPIK menjadi bentuk penegas kebijakan (affirmative policy) untuk pembudidaya ikan kecil. Dengan demikian, para pembudidaya ikan kecil diharapkan bisa mendorong dirinya sendiri untuk lebih aktif mengembangkan usahanya.

Susi mengatakan, asuransi tak hanya dibutuhkan untuk melindungi stakeholder perikanan, tetapi juga untuk melindungi uang Negara. Untuk itu, semua kontrak atau bisnis, baik yang menggunakan uang pribadi maupun Negara harus mendapat perlindungan melalui asuransi.

“Melindungi uang Negara dan melindungi orang-orang dari kemungkinan force majeure, kemungkinan fraud dengan adanya asuransi di sana. Jadi every single contract or business itu semua covered by protection,” ungkapnya.

Agar pembudidaya ikan kecil berkembang dengan baik dan mampu bersaing dengan pengusaha besar, Susi menyebut, pihaknya sengaja melaksanakan berbagai program yang langsung menyentuh masyarakat. Kata dia, sebagian besar pelaku usaha budidaya merupakan pembudidaya ikan kecil dan karenanya Negara harus hadir memberikan jaminan perlindungan bagi mereka disaat menghadapi kegagalan produksi.

“Seluruh program di KKP akan didorong sebagai bentuk implementasi UU No.7/2016 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam,” tegasnya.

 

Exit mobile version