Mongabay.co.id

Transformasi Petani Bunga Wanagiri, demi Mengurangi Perambahan Hutan Lindung

Wayan Ardiyasa memegang seikat bunga pelung (hydrangea) berwarna biru hasil panenannya. Jika batangnya disatukan, jadilah buket bunga yang rimbun dan indah. Berdua bersama istrinya, bunga pelung sudah ia budidayakan sejak tahun 2012. Namun siapa nyana, bunga ini pula yang menjadi penyebab perambahan hutan lindung di Desa Wanagiri, Kabupaten Buleleng, Bali.

Jika berjalan masuk ke area Air Terjun Banyumala di Desa Wanagiri, sangat mudah menemukan ladang bunga pelung. Tumbuhan semak yang juga suka disebut bunga pecah seribu atau bunga bokor ini warnanya mencolok. Warnanya menyesuaikan dengan keasaman tanah. Meski indah, ironisnya jika dibiarkan, resiko perambahan hutan pun dapat makin meluas.

Adapun bunga telah jadi kebutuhan harian warga Hindu di Bali. Dipersembahkan tiap hari saat sembahyang dan ritual upacara di pura. Bunga merupakan bagian dari canang, atau sarana sembahyang yang terbuat dari rangkaian bunga, daun, sirih, pinang dan janur kelapa.

Baca artikel sebelumnya:  Desa Wanagiri: Air Terjun dan Harumnya Kopi Bali

Dalam sehari bisa sampai 50 buah canang yang diperlukan, sesuai jumlah tugu atau titik persembahyangan di rumah dan tempat kerja. Sebenarnya, bunga pelung bukanlah bunga jenis wajib. Bisa diganti dengan jenis apa saja.

 

Bunga Pecah Seribu adalah komoditas ekonomis bagi warga Desa Wanagiri karena cepat panen, namun berisko menambah perambahan untuk menanamnya di hutan lindung. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Namun bunga inilah yang paling mudah didapatkan di pasar, karena paling banyak dibudidayakan petani. Warnanya yang biru cerah secara artistik disukai, kontras dengan bunga berwana kuning gemitir dan pacah warna merah, ungu, dan lainnya.

Menurut istri Ardiyasa, Luh Dani, bunga adalah penghasilan ratusan keluarga di desa Wanagiri. Bunga pelung ini dapat dipanen tiap beberapa hari. Keunggulannya adalah masa hidupnya yang lama, dan bunga baru yang terus muncul di dahan baru.

Agar terus berbunga, tanaman ini harus cukup dengan cahaya. Pepohonan yang menaunginya harus dijarangi.

Sejak ada program penanaman pohon, di ladang bunga Wayan Ardiyasa mulai dijumpai pohon-pohon kopi.  Dia menyadari kebun bunganya berada di hutan lindung. Dia pun tahu jika kelak tanaman kopi semakin rindang, tanaman bunganya akan mati dengan sendirinya.

“Ada larangan tanam bunga, sekarang masih bisa dengan syarat tanam bibit kayu. Biar lestari hutannya,” urai laki-laki paruh baya ini.

Walau bisa memberi penghasilan harian, sebenarnya harga bunga sangat fluktuatif, Pernah jatuh hanya Rp500/kg, atau sebaliknya bisa naik sampai Rp10 ribu/kg. Tergantung persediaan dan permintaan. Jika harga terlalu murah, bunga lebih banyak dibiarkan di ladang. Tidak dipetik oleh petani.

Ardiyasa pun turut berkebun kopi. Luasnya sekitar satu hektar. Namun, kopi adalah penghasilan setahun sekali. Untuk mencukupi kebutuhan, dia perlu penghasilan tambahan atau istilahnya uang harian.

Luh Dani, juga menambah uang dapur sebagai pekerja di pos tiket wisata air terjun di desanya. Dia bekerja seminggu sekali, bergiliran dengan warga lain. Kadang ia pun mengumpulkan rumput untuk pakan ternaknya.

Menurut Ardiyasa, ada sekitar 80 KK petani bunga di desanya. “Mohon perlindungan BUMDes yang kelola hutan desa,” tuturnya.

 

Mengembalikan Fungsi Hutan Lindung

Sampai 19 November 2018, di Bali tercatat ada 22 Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) dengan luas total 6.852 hektar tersebar di 4 kabupaten yakni Buleleng, Jembrana, Karangasem, dan Bangli.

Diantaranya Desa Wanagiri-Buleleng (250 ha), Galungan-Buleleng (712 ha), Desa Selat-Buleleng (552 ha), Tejakula-Buleleng (353 ha), Desa Pangeragoan-Jembrana (1.325 ha), Desa Lemukih (988 ha), Sukawana-Bangli (315 ha), dan lainnya. Mereka mendapat hak pengelolaan seperti jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu.

Akhmad Fauzi, pejabat di Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara menyebut alasan pentingnya menjaga hutan lindung di Wanagiri adalah persoalan menjaga keutuhan aliran air kawasan hulu.

“Kita pelan-pelan mengurangi tanaman bunga. Nilai ekonomisnya memang tinggi tapi masih banyak tanaman ekonomis lain, yang sekaligus bisa menjaga air,” ujarnya.

Dari pemetaan tahun 2017 lalu sebutnya, sekitar 40 persen punggung bukit ditanami bunga.

Berdasarkan data Direktorat Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (KLHK, 2015), luas kawasan hutan di Bali sekitar 127,3 ribu ha atau sekitar 22,5% dari luas daratan Pulau Bali. Tutupan lahan berupa hutan lindung 72,4 ribu ha, hutan konservasi 12,6 ribu ha, dan hutan produksi 1,3 ribu ha.

 

Air Terjun Banyumala adalah yang paling ramai, area pusat ekowisata Dewa Wanagiri. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Hesti Sugiri, petugas kehutanan yang mendampingi warga Desa Wanagiri meyakini warga mau berubah dari menanam bunga asal dilakukan koomunikasi intensif. Juga ditawari alternatif lain dalam pengelolaan hutan.

“Jangan takut mengelola asal terorganisir, tertata, dan lestari,” seru pria yang dekat dengan warga desa ini.

Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Eka Giri Karya Utama I Made Darsana yang menjadi pengelola Hutan Desa Wanagiri angkat bicara. Menurutnya, mengelola sumberdaya air adalah prioritas utama saat ini dalam mengembalikan fungsi hutan lindung.

Dia menyebut, saat debit air mengecil di musim kemarau, maka akan timbul potensi konflik air antar desa.

Dengan mengembalikan fungsi hutan lindung, dia optimis debit air akan mencukupi saat musim kemarau. Apalagi saat ini, masyarakat mendapat insentif dari dibukanya wanawisata air terjun di tiga kompleks air terjun di Wanagiri. Yaitu, air terjun Banyumala, Banyu Wana Amertha, dan Puncak Manik.

“Banyak perambahan hutan lindung, akibat ditanami bunga,” akunya. Hal itu menjadi sebab dan masalah turunnya ketersediaan air bersih, terutama saat kemarau.

Sejak tahun 2015, Darsana memimpin upaya pengembalian fungsi hutan lindung. Upaya penghijauan pun dilakukan. Di tahun 2018, pohon-pohon kayu keras ditanami di area tangkapan air.

IB Putera Pertama Dirjen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDSHL) KLHK, dalam pertemuan Festival Hutan Sosial menyebut, pihak KLHK mendorong agar warga desa dapat memanfaatkan potensi ekowisata dan hasil hutan bukan kayu, seperti madu, jamur, kopi dan lainnya.

Perhutanan Sosial sebutnya, membuka peluang warga untuk terlibat dalam mengelola hutan lindung dengan lebih aktif. Termasuk, membangun program kebun bibit rakyat untuk memperkaya vegetasi yang menghasilkan.

 

Jalan di Hutan Desa, menuju area Banyu Wana Amertha Waterfall. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Luh Ayu Aryani, Kadis Kehutanan Provinsi Bali menyebut pengelolaan hutan di Bali dapat dilakukan dengan berbagai model, dengan memperhatikan tatanan adat dan sosial yang ada. Inovasi pengelolaan hutan pun menjadi penting untuk menyiasati tekanan terhadap kawasan hutan, khususnya dari sebab faktor tekanan ekonomi masyarakat.

Untuk itu, tuturnya setelah aturan di tingkat pusat selesai, maka daerah diharapkan dapat menindaklanjuti dengan Perda Pemanfaatan Hutan dan Perlindungannya. Termasuk pengelolaan hutan desa oleh masyarakat lewat pola jejaring dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang ada di Bali.

Bagi Darsana, Desa Wanagiri telah mantap memilih pengembangan wisata alam, seperti air terjun, trekking dan mengelola pertanian kopi. Ia meyakini warga bisa melakukan sesuatu untuk hutan, tantangannya adalah memastikan aspek kelestarian dengan dampak ekonomi dari hasil hutan.

 

Video: Hutan Desa Wanagiri, Penyangga Kehidupan Masyarakat

 

 

Exit mobile version