Mongabay.co.id

Standar Baru RSPO Lindungi Gambut dan Nol Deforestasi, Bagaimana Pandangan Mereka?

Sawit disebut-sebut sebagai produk andalan devisa negara. Untuk memproduksi bulir-bulir buah ini menciptakan begitu banyak masalah, dari perizinan tak sesuai prosedur, menciptakan deforestasi, bencana sampai pelanggaran HAM. Indonesia perlu pembenahan kebun sawit serius, hingga tak perlu lagi ekspansi, cukup membenahi tata kelola dan produktivitas dari kebun-kebun yang sudah ada. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Ruang pertemuan hotel dan resort The Magellan di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, pertengahan November lalu dipenuhi peserta pertemuan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Dari pemimpin perusahaan, lembaga keuangan, pembuat kebijakan, akademisi, organisasi lingkungan dan sosial dari berbagai belahan dunia. Hari itu, pertemuan RSPO ke-16 dibuka.

Pada R-16 dengan tema, A Renewed Commitment to Achieving Market Transformation, ini berhasil meratifikasi dan adopsi standar prinsip dan kriteria RSPO baru guna memperkuat pembangunan sosial, perlindungan lingkungan dan kemakmuran ekonomi di seluruh rantai minyak sawit berkelanjutan.

RSPO revisi lagi terhadap prinsip dan kriteria (principles&criteria/P&C), mulai dari nol deforestasi lewat mengimplementasikan pendekatan cadangan karbon tinggi (high carbon stock approach), perlindungan ekosistem gambut.

“RSPO tidak berhenti berinovasi, kita menciptakan ekosistem hingga semua orang bisa terlibat dan berinovasi,” kata Darrel Webber, Chief Executive Officer RSPO.

RSPO bersama High Carbon Stock Approach (HCSA) Steering Group membahasnya dan mengupayakan langkah penghentian deforestasi.

“Kami melakukan identifikasi, memelihara, dan meningkatkan rasio hutan dengan nilai konservasi tinggi dan stok karbon tinggi,” kata Webber.

RSPO mengakui banyak operasi perkebunan di lahan gambut dengan fungsi lindung termasuk untuk sawit. Aturan baru RSPO, yang disahkan memperhitungkan berapa lama waktu yang diperlukan memindahkan kebun sawit itu ke area non gambut.

Webber memperkirakan, proses pemindahan itu memakan waktu panjang, sekitar 40 tahun.

Poin penting lain dalam revisi persyaratan sertifikasi perkebunan sawit, soal sertifikasi khusus petani swadaya yang akan dibuat standard khusus. Dia bilang, sekitar 40% lahan sawit dunia dipegang petani swadaya, karena itu penting ada standard sertifikasi RSPO..

“Kami berkomitmen pada elemen-elemen utama dari prinsip dan kriteria RSPO baru, yaitu menghentikan deforestasi, melindungi lahan gambut, memperkuat hak asasi manusia dan tenaga kerja,” kata Webber.

Dia bilang, dalam proses peninjauan kolaboratif dan multipihak telah mulai Maret 2017 hingga Oktober 2018. RSPO mendapatkan 11.500, tanggapan dari pemangku kepentingan untuk dibahas, diratifikasi dan pemungutan suara pada General Assembly RSPO.

P&C 2018 ini, katanya, akan mulai berlaku segera. Para pemilik perkebunan anggota RSPO akan mendapatkan waktu transisi satu tahun untuk perubahan.

Skema ini, katanya, akan ditinjau setiap lima tahun dan mengacu pada International Social and Environmental Accreditation and Labelling Alliance (ISEAL), sebuah asosiasi keanggotaan global untuk standar keberlanjutan yang kredibel.

Webber bercerita perjalanan RSPO. Dia membandingkan, revolusi telepon pintar seperti yang dilakukan RSPO dengan sawitnya. RSPO, katanya, belajar dari telepon pintar. Ketika banyak telpon pintar masuk ke pasar, kala itu belum ada merek Iphone. Ketika muncul, perusahaan terus berinovasi tanpa henti, membuka banyak gerai, hingga jadi arus utama.

“Revoluasi sawit berkelanjutan pada 2004 ketika RSPO menciptakan ekosistem hingga membawa stakeholder dan revolusi serta ide bersama menuju sawit berkelanjutan,” katanya.

 

Darrel Webber, CEO RSPO dalam keterangan pers di Kinabalu. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Ketika pada 2005 muncul definisi sawit berkelanjutan, pada 2007, mulai kaji ulang standar dengan membuat mekanisme pengaduan. Pada 2008, RSPO membuat prosedur penanaman baru mencadangkan sebagian lahan buat konservai, hingga kini sudah berhasil menyelamatkan 400 lapangan sepakbola.

Pada 2013, RSPO memasukkan gas rumah kaca, budidaya sawit di lahan gambut dan mulai memperkenalkan standar hak asasi manusia, kerja paksa dan korupsi. Tahun 2014, lembaga ini membuat skema batasan konsesi agar bisa terakses publik.

“RSPO satu-satunya yang paling transparan, saat ini berbagai pihak bisa melihat di mana wilayah produksi dan kebakaran lahan, bahkan 2015 diluncurkan RSPO Next,” kata Webber.

Khusus RSPO Next, sebagai mekanisme sukarela bagi anggota untuk melakukan hal-hal melebihi standar biasa. Pada 2016, rilis sertifikasi jurisdiksi. Dalam 2017, terbentuk gugus kerja penjaminan, dan menyetujui strategi petani swadaya.

Tahun ini, Webber mengklaim, RSPO sudah berhasil melakukan upaya perlindungan terhadap 263.000 hektar lahan bernilai konservasi tinggi yang sudah dikelola langsung anggota atau naik 39% dibandingkan tahun lalu.

Bilge Daldeniz , Direktur Program Proforest mengatakan, pelarangan penanaman sawit di lahan gambut dalam P&C terbaru memperkuat pembaruan standar ini. Dengan pelarangan ini, petani swadaya, mandiri dan perusahaan mitra bersertifikasi RSPO tak lagi dapat menanam baru sawit di lahan gambut. Jika ada lahan gambut, pemilik lahan harus mendokumentasikan dan melaporkan kepada Sekretariat RSPO.

“RSPO akan melakukan prosedur penilaian drainase setidaknya lima tahun sebelum penanaman kembali,” kata Daldeniz.

RSPO menegaskan, pembakaran lahan pada perkebunan tak boleh dalam hal apapun, namun ada pengecualian khusus pengontrol hama dan penyakit. Pembakaran boleh dengan persetujuan pemerintah, hanya jika metode-metode pencegahan hama dan lain sudah dilakukan dan tak berhasil. Jika terdapat lahan gambut, pemilik lahan harus mendokumentasikan dan melaporkan kepada Sekretariat RSPO.

Selain itu, RSPO akan melakukan prosedur penilaian drainase setidaknya lima tahun sebelum dilakukan penanaman kembali.

Anggota RSPO mengelola perkebunan sawit yang sudah ada dan memastikan mempertahankan kawasan konservasi lahan gambut.

RSPO menilai, subsidensi lahan gambut terbukti menciptakan tantangan jangka panjang untuk pertanian berkelanjutan. Hal itu, katanya, karena penurunan tanah tak bisa dihindari dan meningkatkan risiko banjir.

Tiur Rumondang, Direktur RSPO Indonesia berkomentar soal PnC baru. Dia terlibat banyak dalam proses itu. Baginya, proses konsultasi sangat baik, ditunjang teknologi baik, semua pihak bisa bersuara, walau tak sempurna, tetapi lebih baik dari sebelumnya.

Tiur bilang, implementasi tak akan mudah, terutama dengan berbagai masalah di Indonesia, mulai dari petani hingga pemasok.

“Kami terbuka jika ada klarifikasi ketika ini diimplementasikan, paling penting ketika Indonesia membuat interpretasi nasional. Kami berhadap pemerintah Indonesia ikut duduk bersama, menyinkronkan aturan di Indonesia yang sudah mendukung standar RSPO,” kata Tiur.

Dia berharap, kesepakatan semua pihak ini bisa berjalan di lapangan. Pemerintah, asosiasi termasuk organisasi mayarakat sipil bekerja bersama-sama hingga kualitas konsultasi baik.

Mengenai P&C baru nol deforetasi, kata Tiur, sejalan dengan aturan di Indonesia. Kini, Indonesia tak mendukung perluasan sawit tanpa ukuran dan asesmen jelas. Dengan ada kebijakan moratorium izin sawit, jadi signal jelas bagi pelaku bisnis.

Profesor Kai Can dari Universitas British Columbia jadi pembicara tamu pada pertemuan lalu. Dia secara umum bicara soal konsumen, pendekatan jurisdiksi, perubahan iklim dan RSPO.

Menurut Can, persoalan sawit tak bisa terpisah dari perubahan iklim dan penurunan populasi biodiversiti.

Dia pun menyambut baik P&C baru RSPO, walaupun implementasi akan berat di masing-masing negara anggota RSPO.

Banyak orang berpikir negatif pada produk sawit, terutama Uni Eropa hingga perlu upaya. Can bilang, tak masalah harga naik, asalkan komitmen berkelanjutan berjalan baik, dan perlu ada pelabelan khusus.

Dia mencotohkan, Forest Stewardship Council (FSC). Mekanisme sertifikasi kayu lestari ini, katanya, banyak dikenal orang, terutama industri kayu.

Can menyarankan, RSPO melabeli produk anggota seperti “earth positif.” Kala orang membeli produk itu, tahu kalau perusahaan punya komitmen menjaga habitat orangutan, dan merestorasi hutan.

Konsumen, katanya, mungkin akan bayar lebih, tetapi pengaruh rantai pasokan dapat memitigasi dampak perubahan. Untuk mencapai perubahan, katanya, juga harus menjangkau konsumen agar peduli minyak sawit berkelanjutan.

“Gunakan satu lebel, lama kelamaan orang akan membeli yang lebih mahal itu biasa saja. Karena tahu ini berkelanjutan dan ramah lingkungan,” katanya.

 

Para petani penerima penghargaan dan sertifikasi RSPO di Kinabalu. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Sertifikasi RSPO

Dalam pertemuan itu juga dilakukan penyerahan sembilan sertifikat perkebunan sawit berkelanjutan, enam dari kelompok tani Indonesia, sisanya dari Thailand.

Webber memberikan langsung kesembilan sertifikasi ini. “Saya berharap kami dapat terus melihat kemajuan seperti sepanjang tahun,” katanya.

Keenam kelompok tani Indonesia yakni Asosiasi Petani Sawit Swadaya Amanah (Amanah), memperoleh sertifikasi penghargaan dari RSPO karena berhasil mempertahankan prinsip dan kriteria perkebunan sawit berkelanjutan untuk kedua kali pada Oktober 2018.

Amanah jadi kelompok tani swadaya pertama dari Indonesia yang memperoleh sertifikasi RSPO Juli 2013. Sebelumnya, asosiasi beranggotakan 349 orang, kini jadi 510 orang dengan lahan tersertifikasi 1.048 hektar. Kelompok tani dari Riau ini jadi pemasok tandan buah segar (TBS) dengan volume 23.000 metrik ton.

Adapun kelima kelompok tani lain yang baru memperoleh sertifikasi RSPO yakni Kelompok Tani Sawit Tenera dari Katingan Hilir, Kalimantan Tengah, KUD Permai Jaya dari Sumatera Selatan, KUD Mekar Sari dari Sumatera Selatan, KUD Permura dari Sumatera Selatan dan KUD Sungkan Urip dari Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Menurut Webber, total area bersertifikasi dari anggota RSPO sepanjang 2018 mencakup 3,2 juta hektar terhitung hingga 30 Juni 2018, tersebar pada 16 negara. Ia mewakili volume produksi tahunan bersertifikat 13,6 juta ton Certified Sustainable Palm Oil (CSPO). RSPO mencatat area bersertifikasi di Indonesia hingga Juni 2018 mencapai 1.555.847 hektar. RSPO memiliki 3.920 anggota di 91 negara per 30 Juni 2018, atau naik 15% dari tahun sebelumnya.

“Keanggotaan bertambah, melampaui 4.000 dari 92 negara pada Oktober 2018. Ini pencapaian untuk RSPO,” kata Webber.

 

Apa kata mereka soal standar baru RSPO?

Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia kepada Mongabay mengatakan, kebijakan tanpa deforestasi ke dalam standar RSPO merupakan langkah penting guna memutus hubungan antara minyak sawit bersertifikat dan perusakan hutan.

Namun, katanya, aturan baru ini akan memakan waktu setidaknya dua tahun untuk berlaku efektif. Apalagi, katanya, masih ada anggota RSPO yang menghancurkan hutan memiliki kekebalan atau impunitas.

“RSPO harus segera memberlakukan hal ini jika ingin membuat perbedaan nyata di lapangan,” katanya.

Dalam catatan Greenpeace, pada September 2018, laporan hitung mundur terakhir Greenpeace International mengungkap, deforestasi terjadi baru-baru ini atau pelanggaran lain oleh 14 anggota RSPO atau pihak terkait, termasuk Bumitama Agri Limited. Pada Panel Pengaduan RSPO dan Felda atau FGV FGV Holdings Berhad dan IOI Group, keduanya anggota RSPO Board of Governors.

 

Alat berat membersihkan lahan dan membangun kanaldi konsesi sawit PT. Ladang Sawit Mas, anak usaha Bumitama Gunajaya Agro Group di Nanga Tayap, Ketapang, Kalimantan Barat, pada November 2013. Foto: Kemal Jufri/Greenpeace

 

Ada pula kelompok produsen, Gama Plantation, sangat terkait erat dengan anggota RSPO, Wilmar International.

“Sikap Greenpeace sejak awal tak pernah antisawit dan percaya minyak sawit sangat penting bagi petani serta ekonomi Indonesia. Namun Greenpeace mendorong sawit bersih dan berkelanjutan,”katanya.

Ada Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit, katanya, tak langsung meyakini ada permasalahan di sektor sawit.

Dia bilang, persoalan utama terletak pada pedagang minyak sawit yang masih terkait praktik perusakan hutan, salah satu, Wilmar, sebagai pedagang sawit terbesar dunia.

Pada 2013, Wilmar pernah mengumumkan kebijakan tanpa deforestasi, tanpa pembukaan gambut, tanpa eksploitasi. Sayangnya, temuan Greenpeace yang terangkum dalam laporan `Hitung Mundur Terakhir’ menemukan, Wilmar masih mendapatkan minyak sawit dari kelompok-kelompok perusahaan yang menghancurkan hutan dan menyerobot lahan masyarakat adat maupun komunitas lokal.

Sementara itu, pada 2010, anggota Consumer Goods Forum  berjanji membersihkan deforestasi dari rantai pasok seluruh komoditas pada 2020. Bukan hanya minyak sawit juga kedelai, bubur kertas, kayu dan daging. “Waktu terus berjalan bagi mereka memenuhi janji itu. Kurang 500 hari lagi, kita tak dapat membiarkan industri sawit gagal.”

Seharusnya, pemerintah dan DPR menyoroti dan mengawasi perilaku pedagang-pedagang minyak sawit. Dampak perilaku mereka, katanya, sawit Indonesia menghadapi risiko pengurangan drastis ke negara-negara Uni Eropa.

Jika sawit ditanam mengedepankan pelestarian alam, tanpa merusak hutan atau lahan gambut, dan bebas konflik sosial, kata Kiki, akan jadi solusi bagi permasalahan kesejahteraan ekonomi rakyat. ”Greenpeace berkampanye untuk mengakhiri deforestasi, bukan mengakhiri minyak sawit.”

Dia bilang, melarang ekspor minyak sawit tak sama dengan mengakhiri deforestasi. Perkebunan sawit, katanya, tanaman efisien penggunaan lahan. Satu hektar sawit menghasilkan minyak nabati lebih banyak dibandingkan tanaman lain seperti soya ataupun bunga matahari.

Kalau minyak sawit dilarang, perusahaan atau pemerintah bisa jadi beralih ke tanaman lain. Ia juga berisiko mengalihkan masalah ke tempat lain, misal, tanaman lain mungkin menggantikan peran sawit dalam deforestasi, bahkan memperburuk.

“Ini salah satu alasan mengapa Greenpeace tak mengadvokasi perusahaan atau pemerintah menghentikan atau melarang produksi minyak sawit.”

“Kami berkampanye memastikan perusahaan tidak memproduksi atau memperdagangkan sawit yang mengorbankan hutan dan lahan gambut,” kata Kiki.

Abdullah dari Walhi Jambi mengatakan, pelibatan multi pihak pada pertemuan ini patut diapresiasi. Dia berharap, PnC baru dapat terimplementasi baik.

P&C ini, katanya, jangan hanya hasil perundingan RSPO, perusahaan dan pemerintah tetapi penting sosialisasi ke masyarakat tentang mekanisme komplain, maupun fungsi RSPO. Jadi, ketika ada konflik, masyarakat tahu mekanisme yang bisa mereka lakukan.

Selama ini, katanya, ketika ada konflik antara masyarakat dengan perusahaan sawit anggota RSPO, tim pengaduan RSPO tak turun ke bawah. Dia bilang, tak hanya menerima komplain, tetapi kedatangan tim ke lapangan guna memastikan tindakan yang dapat dilakukan bersama.

Dia contohkan, kasus dampingan Walhi Jambi, di Desa Batu Ampar. Tak ada monitoring dan evaluasi RSPO.

“Hingga kini pasca kasus ditutup, tak ada tim yang menyatakan diri perwakilan RSPO turun ke lapangan,” kata Abdullah.

Soal komitmen nol deforestasi, katanya, di Jambi, memang tak ada perusahaan baru, tetapi ada penanaman kembali dan akuisisi perusahaan. Jadi, khusus wilayah gambut, sudah ada kawasan prioritas gambut. “Kalau ditemukan di konsesi sawit anggota RSPO, harus ada tindakan tegas untuk mendesak perusahaan memenuhi P&C baru.”

Sekar Banjaran Aji, dari Advokasi Lembaga Studi dan Hak Asasi Manusia (Elsam) menyambut baik P&C baru ini. Banyak masukan kolega di Indonesia, katanya, lalu diadopsi, seperti kelompok rentan dipertegas dalam P&C baru.

Awalnya, kata Sekar, meminta empat kelompok, yakni perempuan, anak, penyandang disabilitas dan masyarakat adat.

“Dalam P&C baru, hanya perempuan dan masyarakat adat diakomodir. Berikutnya akan berupaya memasukkan penyadang disabilitas dan anak,” katanya.

“Kami yakin tantangan selanjutnya ada gap antara pelaksanaan dengan aturan. Implementasi yang perlu didorong”

Terkait perlindungan bagi pembela hak asasi manusia atau para pejuang lingkungan juga masuk dalam salah satu point P&C, walaupun masih ada pertanyaan soal proses pemberlakuan.

Elsam mengapresiasi RSPO mau mengadopsi ini. Selama ini, katanya, perusahaan sulit menerima, dan tak mengenal persoalan pembela HAM. Bisa dibilang, kata Sekar, standar P&C baru ini tinggi hingga penting mengawal implementasi di lapangan.

Andi Muttaqien dari Elsam memberikan apresiasi serupa. Kini, katanya, RSPO telah menyetujui dan mengadopsi P&C dengan standar lebih tinggi baik soal perlindungan hutan dan peningkatan perlindungan HAM.

Setelah ada standar baru, yang jadi tantangan mengimplementasikan di lapangan. Selanjutnya, kata Andi, RSPO juga perlu memperbaiki pada sistem komplain dan audit.

“Harapannya, perubahan-perubahan dalam RSPO bisa langsung berdampak pada masyarakat,” katanya.

Senada dikatakan Ditta Wisnu dari Yayasan Pusaka. Dia mengapresiasi P&C baru, terlebih konteks perlindungan pembela HAM. Dia bilang, ada banyak ancaman pembela HAM, atau masyarakat yang berkonflik dengan perkebunan sawit.

 

Keterangan foto utama:    Sawit disebut-sebut sebagai produk andalan devisa negara. Untuk memproduksi bulir-bulir buah ini menciptakan begitu banyak masalah, dari perizinan tak sesuai prosedur, menciptakan deforestasi, bencana sampai pelanggaran HAM. Indonesia perlu pembenahan kebun sawit serius, hingga tak perlu lagi ekspansi, cukup membenahi tata kelola dan produktivitas dari kebun-kebun yang sudah ada. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Prof. Kai Can dari Universitas British Columbia. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version