Mongabay.co.id

Fokus Liputan: Warga Morotai Protes Rencana Reklamasi Pantai Daruba (Bagian 2)

Reklamasi sebagian lahan di Daruba Morotai sudah berlangsung, ratusan meter pantai di kawasan ini telah ditimbun. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Pulau Morotai, Maluku Utara, jadi kawasan ekonomi khusus (KEK) dengan fokus pengembangan pariwisata. Berbagai infrastruktur pendukung pun dibangun dari jalan sampai berbagai sarana. Pengembangan ini pun cukup jadi daya tarik pemilik modal datang. Lahan-lahan warga lokal pun mulai lepas satu per satu. Pemerintah daerah pun bikin proyek-proyek berelasi seperti Daruba, mau menata pesisir pantai dengan bangun water front city (WFC). Reklamasi akan dilakukan dengan menggusur sebagian warga yang tinggal di pesisir. Warga mulai resah karena lahan hidup mereka terancam.

 

 

 

Wati Muhammad, asyik bermain dengan Fitri , anaknya berusia tujuh tahun. Rumah perempuan 30 tahun ini di Daruba Pantai (Darpan). Ada beberapa tetangga ikut nimbrung di teras rumah panggung itu.

Masleha, tetangga Wati bersama cucu juga ada di rumah itu. Mereka antara lain warga yang protes ke Pemerintah Morotai atas rencana reklamasi untuk WFC Morotai.

Wati dan Masleha bersemangat bicara. “Kami heran tidak ada pertemuan atau apapun bentuknya, tiba-tiba Pemkab Morotai datang mau mengusir warga karena akan mereklamasi Darpan,” kata Wati.

Mestinya , pemerintah daerah datang baik-baik buat pertemuan atau meminta tanggapan masyarakat. Yang terjadi, katanya, malah bupati datang membentak dan mengancam warga. “Pak Bupati Beny Laos datang ke Darpan. Melihat suami saya sedang memperbaiki atap seng rusak, dia langsung melarang dan meminta tak perlu memperbaiki atau membangun bangunan baru, karena daerah itu akan direklamasi,” cerita Wati.

Karena teriakan itu, suaminya, Muhammad, turun dari atap rumah bermaksud menghampiri bupati. Bupati melihat Muhammad agak emosi setelah ditegur, langsung ngacir.

Dari informasi yang menyebar, kata Wati, warga Darpan terdampak reklamasi akan kena relokasi.

Warga menolak. Mereka nelayan, katanya, akan sulit kalau hidup jauh dari pantai. “Yang tinggal di sini (Darpan-red) mayoritas nelayan. Jika direlokasi jauh dari pantai bagaimana kami bisa hidup? Perahu nanti mau ditaruh di mana?”

Warga merasa aneh dengan pemerintah karena bikin rencana tumpang tindih. Sebelum kabar reklamasi untuk WFC, Dinas Permukiman datang ke Darpan sosialisasi menata pantai dengan memberikan bantuan renovasi rumah kurang lebih 17 keluarga.

“Yang kami tahu ada sosialisasi dari Permukiman akan menata kawasan Darpan. Mereka meminta kami merenovasi depan rumah menghadap ke laut agar terlihat rapi. Warga mulai membenahi rumah. Warga makin bingung ketika tiba-tiba ada rencana reklamasi lagi,” katanya.

Wati mengatakan, rencana Pemkab Morotai ditolak keras, karena sama dengan membunuh masa depan mereka. Di tengah kesulitan ekonomi warga, katanya, rumah mereka akan tergusur dan lahan tereklamasi.

“Kami akan pertahankan dan meminta sikap jelas dari Pemkab Morotai. Jangan mengorbankan warga karena rencana reklamasi ini.”

Reklamasi sempadan pantai bak tren di Maluku Utara, seperti Ternate dan Morotai.

 

Rencana rekalmasi kawasan baru: Rumah di atas air di Daruba Pantai (Darpan) akan menjadi sasaran reklamasi untuk program Water Front City (WFC) Morotai. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Pulau Morotai seluas 695 mil persegi atau sekitar 1.800 km persegi. Ia pulau sekaligus kabupaten definitif di Kepulauan Halmahera. Pulau paling utara di Indonesia ini, di beberapa titik dilakukan reklamasi, seperti Daruba.

Pemerintah daerah akan membangun sarana bisnis di wilayah tak jauh dari Pelabuhan Imam Lastori Daruba ini. Di Daruba, pada 2017, sudah reklamasi pantai 100 meter untuk pembangunan beberapa sarana..

Setelah reklamasi pertama, Pemerintah Morotai, berencana melanjutkan proyek reklamasi tahap dua di Darpan. Desa Darpan, sebagian pantai sudah ada pemukiman warga.

Pemkab Morotai beralasan Darpan kumuh hingga akan ada penataan pantai dengan menimbun dan menggusur sebagian pemukiman di atas air.

Aswan Kharie, warga penolak reklamasi mengatakan, upaya menghimpun kekuatan dan warga membentuk Barisan Orang Morotai (BOM). Sudah berulangkali mereka protes.

Mereka tak hanya protes renccana reklamasi juga mengkiritisi reklamasi pertama yang jalan tanpa bisa memperlihatkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Hingga kini, protes mereka belum mendapat tanggapan Pemkab Morotai.

Meski begitu, katanya, mereka akan tetap protes proyek ini sepanjang reklamasi tak setop. Kalau reklamasi, katanya, warga juga khawatir sejarah desa mereka hilang.

”Kami melakukan aksi berulangkali. Pemkab Morotai melaporkan kami ke polisi karena ada fasilitas di kantor bupati rusak. Meski ada laporan itu, kami tak akan berhenti sepanjang rencana masih lanjut,” kata Aswan.

Atas laporan dari Pemkab Morotai, warga menjalani proses pemeriksaan di polisi.  “Ada beberapa kawan sudah diperiksa. Tapi perjuangan memprotes reklamasi tidak terhenti.”

Mereka heran dengan Bappeda, saat dengar pendapat warga meminta kajian reklamasi Morotai. Mereka mengatakan, masih dalam pengkajian. “Kami juga meminta dokumen amdal atau UKL/UPL tapi mereka tidak bisa diberikan,” katanya.

 

Reklamasi. Proses reklamasi sebagian lahan di Daruba Morotai masih berlangsung ratusan meter pantai di kawasan ini telah ditimbun. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Lebih aneh , katanya, mereka beralasan dokumen lingkungan itu ada jika pembangunan sudah berjalan. “Itu Kepala Bappeda kepada kami. Kami juga bingung dengan kajian yang mereka lakukan.”

Protes mereka sudah empat kali bahkan dengar pendapat dengan DPRD tetapi tak ada penyelesaian.

“Di Bappeda, kami temukan data rencana reklamasi dari garis pantai sampai 30 meter ke laut, sementara dari pantai ke darat ada sekitar delapan meter. Jika reklamasi tahap kedua ini dipastikan mengorbankan masyarakat, terutama mereka di Darpan.”

Dia bilang, warga mendukung rencana renovasi dan perbaikan rumah oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta tegas menolak reklamasi.

Dampak reklamasi sebelumnya, banyak keluhan datang dari warga beberapa pulau seperti di Kolorai, Dodola dan Galo-galo. Saat ini, mereka mengalami abrasi cukup serius.

Warga di beberapa pulau itu ikut terancam abrasi . Hal ini, katanya, harus diperhatikan Pemkab Morotai.

“Kami protes pertama Agustus 2018 setelah mengetahui rencana reklamasi dengan rencana penggusuran rumah warga,” kata Aswan.

“Selain tempat tinggal dan berlabuh perahu, pantai ini juga tempat mencari umpan. Umpan ini bisa untuk mengail ikan karang terutama kerapu dan ikan ekor kuning atau dolosi. Majid, tokoh Pemuda Darpan khawatir lahan kena gusur buat reklamasi.

 

Kawasan pencadangan konservasi laut Kolorai yang indah ini banyak memiliki potensi ikan dan biota lainnya. Sayangnya, saat ini terganggu dengan berbagai aktivitas penangkapan.  Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Picu abrasi pulau kecil di Morotai?

Ada dugaan warga Morotai, terutama di Kolorai dan Galo-galo, dampak reklamasi, pulau yang mereka huni ikut terancam. Pantai bagian barat Pulau Kolorai, misal, alami abrasi parah.

Pantauan Mongabay, bagian barat Kolorai sudah terkikis hampir 20 meter. Menurut warga setempat, hampir 10 tahun ini Kolorai yang punya luas delapan hektar itu nyaris habis.

Maryani Husen, warga Desa Kolorai mengatakan, pantai barat itu terkikis hampir 20  meter. Dulu, rumah warga itu masih jauh dari pantai. Sekarang , pemukiman warga tinggal beberapa meter dari pantai. Sebelum ada reklamasi di Daruba, katanya, abrasi pantai sudah ada tetapi tidak parah seperti sekarang.

Kondisi sama terjadi di bagian utara Kolorai. Kini pohon- pohon mati tersapu air pasang. Air pasang naik mencapai 100 meter dari pantai. Pantai bagian utara itu, kata warga, dulu pemukiman. Karena air laut masuk saat pasang, warga  pindah ke tempat lebih aman.

Di kawasan ini, tersisa pasir yang naik terbawa gelombang pasang, seluas satu lapangan bola kaki.

Tembok penahan air juga ikut hancur tersapu gelombang pasang.   Sebagian besar tembok penahan ombak di Kolorai rusak parah karena tersapu gelombang saat air pasang. Abrasi di Kolorai ini, katanya, harus segera diantisipasi.

“Kami curiga reklamasi   di Daruba juga memberikan dampak abrasi di Kolorai,” kata Maryani.

Dia cerita, sekitar delapan tahun lalu beberapa gugusan pulau di depan ibukota Daruba seperti Kokoya, Kolorai dan Pulau Dodola itu bisa dijangkau dengan jalan kaki jika air surut.

Saat ini, katanya, tidak bisa lagi karena air tinggi,   membuat warga tak bisa melintas ke beberapa pulau itu. Mereka pun tak bisa menyeberang meskipun air surut.

Dulu, warga sering mencari kerang dari satu pulau ke pulau lain hanya dengan jalan kaki. Sekarang, sudah tidak bisa lagi.

“Kami warga tidak bisa memastikan apakah ini dampak reklamasi atau bukan, kenyataany air sudah tinggi. Meskipun air surut sudah tidak bisa jalan kaki saat mencari kerang atau menuju ke pulau- pulau sekitar.”

Kepala Desa Kolorai Abdul Rauf Tariwi bilang, sudah melaporkan soal abrasi pantai ke Pemkab Pulau Morotai. Mereka meminta dibangun talud atau penahan ombak.

Sayangnya, hingga kini belum ada realisasi. Kondisi Kolorai, sangat miris makin lama makin terkikis habis. “Harapan kami Pemkab Morotai mengambil langkah menahan laju abrasi dengan tembok penahan ombak.”

 

Abrasi di Pulau Kolorai cukup serius. Tampak bagian barat pulau itu sudah jatuh puluhan meter dan sudah dekat ke perumahan warga.Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Masalah lain

Pulau Kolorai di Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, telah ditetapkan sebagai pencadangan konservasi perairan di Maluku Utara.

Pulau Kolorai berdekatan dengan kawasan konservasi Pulau Rao di Kecamatan Morotai Selatan Barat, yang ditetapkan pada 2012 seluas 330 hektar meliputi zona perlindungan penyu (110 hektar), zona penangkaran penyu (90 hektar) dan zona pemanfaatan  terbatas (130 hektar).

Wilayah-wilayah ini menghadapi masalah menyangkut penangkapan penyu oleh nelayan.

Meski masuk salah satu pencadangan konservasi namun perambahan belum berakhir. Saat Mongabay mengunjungi Kolorai Oktober lalu, menemukan ada penangkapan penyu sisik oleh warga   beberapa wilayah sekitar Kolorai.

Penyu sisik yang berusia sekira tiga tahun itu ditangkap lalu dibiarkan di atas Kolorai. Saat ditemukan,   penyu itu masih hidup.

Husain, seorang nelayan mengaku menangkap penyu sisik itu di Pulau Dodola, saat turun ke laut malam hari untuk memanah ikan. Dia beralasan , menangkap penyu ini bukan untuk konsumsi tetapi diambil sisik buat aksesori.

Kalau sudah sisik diambil, penyu dilepas lagi. “Kita tidak makan penyu, tetapi mengambil sisik saja setelah itu dilepas lagi,” katanya.

Kepala Desa Kolorai Abdul Rauf Tariwi mengatakan, selalu mengingatkan warga agar tak menangkap satwa langka terutama penyu. Sayangnya, warga masih saja menangkapnya.

Dia mengaku kadang kecolongan dan akan terus sosialisasi kepada warga.

Anghany Tanjung, anggota DPRD Morotai juga warga Daruba bilang, berulangkali meminta dokumen amdal atau UKL/UPL reklamasi. Sayangnya, tak ada dokumen sampai. Dinas Lingkungan Hidup, katanya, sudah berulangkali dimintai dokumen UKL/UPL atau amdal, tetapi mereka tidak menyerahkan dokumen itu.

“Kecurigaan saya dokumen itu tidak ada. Amdal reklamasi di Daruba tidak ada,” katanya.

Menurut dia, rencana WFC dengan reklamasi akan menimbulkan masalah besar di kemudian hari. Melihat cara pengerjaan saja sangat semrawut. Mereka menimbun tanpa menyiapkan saluran pembuangan air.

“Sebagai warga, berharap semoga saja bisa bermanfaat. Tetapi dari apa yang dikerjakan ini akan lebih banyak mudaratnya. Itu artinya proyek reklamasi belum bicara kerusakan lingkungan, baru soal kehadiran proyek ini saja sudah menimbulkan persoalan di lapangan.”

Anghany bilang, selain sebagai wakil rakyat dan warga setempat sudah tinggal hampir 51 tahun di Darpan tetapi tak pernah banjir.

 

Air yang naik di bagian utara Kolorai telah mematikan pepohonan dan tumbuhan pantai lain. Air yang naik di kawasan ini hingga sekitar 100 meter ke darat. Akibatnya, puluhan rumah harus pindah ke tengah pulau. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Masih kajian?

Abjan Sofyan, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan dan Litbang mengatakan reklamasi khusus penataan Darpan itu masih dalam kajian lingkungan. Reklamasi sebelumnya sepanjang 100 meter lebih di Pelabuhan Imam Lastory Morotai itu sudah memiliki dokumen amdal. Meski begitu, dia tak bisa menunjukkan dokumen itu.

Reklamasi ini , katanya , dibangun jadi ruang terbuka hijau. “Seperti di Ternate, memperbaiki depan rumah agar tak kelihatan kumuh.”

Reklamasi kedua nanti di Darpan , katanya, masih menanti hasil kajian. Meski demikian, dia menganggap reklamasi itu baik karena dapat menahan abrasi ke pemukiman. “Terutama menata daerah pesisir pantai dan menahan gelombang serta membuka akses jalan. Sekali lagi saya sampaikan ini masih dalam kajian.”

Dia klaim, rekalmasi tak akan mengubah kondisi lingkungan dan ekonomi masyarakat. Dia anggap, masalah ini dibesar- besarkan hingga ada protes.

Dia meyakinkan warga terdampak bakal pindah ke lokasi baru yang memadai. Saat ini , ada sekitar 17 rumah dibangun di atas air.

“Padahal ini sangat dilarang,”katanya.

Nurhalis Wahidin, pakar kelautan dan perikanan Universitas Khairun Ternate mengatakan, reklamasi bisa menyebabkan beberapa hal dari perubahan arus laut, kehilangan ekosistem penting, kenaikan muka air sungai terhambat masuk ke laut yang memungkinkan banjir makin parah. Juga kondisi lingkungan di wilayah tempat bahan timbunan, sedimentasi, perubahan hidrodinamika yang semua harus tertuang dalam amdal.

Dampak sosial budaya , katanya, antara lain kemungkinan pelanggaran HAM kala pembebasan lahan, perubahan kebudayaan, konflik masyarakat, dan isolasi masyarakat. Sementara dampak ekonomi antara lain masyarakat dan nelayan bisa kehilangan mata pencaharian.

Apapun alasannya, reklamasi memberikan dampak fisik maupun sosial ekonomi bagi masyarakat maupun lingkungan laut dan isinya. Hanya saja,  soal besaran dampak dari penimbunan kawasan pantai ini perlu riset lebih lanjut. (Selesai)

 

Keterangan foto utama:    Reklamasi sebagian lahan di Daruba Morotai sudah berlangsung, ratusan meter pantai di kawasan ini telah ditimbun. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Tembok penahan ombak Kolorai yang roboh menyebabkan air naik cukup jauh ketika air pasang. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version