Mongabay.co.id

Jelang Natal, Aktivis Serukan Penyelamatan Satwa Liar di Pasar Tomohon

Jelang Natal dan Tahun Baru, sejumlah aktivis konservasi menggelar kampanye di pasar Tomohon, Sabtu (22/12/2018). Di sana, mereka membagi informasi tentang penyelamatan satwa dan bahaya konsumsi daging satwa liar, hewan domestikasi, serta status perlindungan satwa jenis tertentu.

Kampanye itu digelar oleh gabungan sejumlah organisasi yang menamakan diri Solidaritas untuk Bumi. Mereka di antaranya, Kaum Muda Pecinta Alam (KMPA) Tunas Hijau Airmadidi, Yayasan Selamatkan Yaki, Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST) dan Animal Friends Manado Indonesia (AFMI).

Pesan-pesan penyelamatan satwa liar itu dibagikan lewat stiker dan kalender. Selain itu, mereka juga mendirikan stand informasi di sekitar pasar Tomohon. Aksi tersebut tentu mengundang pro dan kontra. Beberapa orang di sekitar pasar mengapresiasi, tapi ada juga yang merespon negatif.

“Ada yang ambil stiker, lalu merobeknya. Ada juga yang mengusir kami, dengan alasan tak ada masalah di pasar Tomohon,” ujar Kasa Abdullah Kaunang, Ketua KMPA Tunas Hijau kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (22/12/2018).

“Tapi ada juga yang minta kalender dan stiker. Ada yang baru tahu jenis satwa dilindungi, lalu bilang ‘kalau so nimbole makang yaki (kalau tidak boleh makan yaki), kita bole makang tikus toh?’” demikian Kasa menirukan pertanyaan salah seorang pengunjung pasar.

baca :  Begini Nasib Satwa-satwa Ini di Pasar Ekstrem…

 

Aktivis menyusuri pasar Tomohon untuk menyampaikan pesan penyelamatan satwa liar. Foto : PPS Tasikoki/Mongabay Indonesia

 

Di pasar Tomohon, mereka menyaksikan secara langsung berbagai jenis daging satwa liar maupun domestikasi yang diperdagangkan. Namun, tak satupun peserta kampanye menemukan daging satwa liar dilindungi. Kata mereka, sebagian besar pedagang dan pengunjung pasar telah mengetahui jenis satwa dilindungi. Contohnya yaki (Macaca nigra).

Meski, di luar pasar Tomohon, Yayasan Selamatkan Yaki masih menerima laporan perburuan satwa dilindungi, namun angka itu terbilang menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Diyakini, salah satu faktor yang mendorong fenomena itu adalah membaiknya kesadaran masyarakat dalam aspek konservasi.

“Sudah banyak pengguna sosial media yang membantu menyampaikan pesan-pesan konservasi. Mereka meneruskan laporan-laporan itu ke pihak berwenang,” terang Prisillia Morley Loijens, Education Coordinator Yayasan Selamatkan Yaki.

Jelang Natal, Yayasan Selamatkan Yaki juga menyampaikan keterkaitan antara kekristenan dengan konservasi. Memang, beberapa kurun waktu belakangan, mereka memiliki program Green Gospel. Menyertakan lembaga dan tokoh-tokoh gereja di Sulawesi Utara untuk terlibat dalam upaya penyelamatan yaki.

baca juga :  Jelang Hari Raya Paskah, BKSDA Sulut dan Aktivis Antisipasi Perdagangan Satwa Dilindungi. Ada Apakah?

 

Aksi Penyelamatan satwa liar di pasar tomohon menimbulkan pro dan kontra. Foto : PPS Tasikoki/Mongabay IndonesiaFoto : PPS Tasikoki/Mongabay Indonesia

 

Pada bulan November, mereka menggelar kegiatan Green Gospel di kelurahan Duasudara, Bitung. Kemudian, Desember dengan pendekatan serupa, menyertakan anak-anak sekolah minggu di kelurahan Pinangunian.

Prisillia mengatakan, pendekatan itu beranjak dari penilaian bahwa, masih ada sebagian besar masyarakat yang menganggap tidak ada pantangan dalam hal konsumsi. Pandangan itu, seringkali dianggap jadi pembenaran untuk mengkonsumsi daging satwa liar. Padahal, manusia juga punya tugas dan tanggungjawab untuk melindungi segala ciptaan Tuhan.

“Tapi, kita seringkali menyalahgunakan kekuasaan dengan mengeksploitasi sumberdaya alam, hingga beberapa spesies kunci, endemik Sulawesi Utara, sudah menghadapi ancaman kepunahan. Padahal Tuhan mau kita menjaga dan melestarikan alam ini,” ujar Prisillia.

 

Minim Pengawasan

 Animal Friends Manado Indonesia (AFMI), dalam kesempatan tersebut, menyampaikan lemahnya pengawasan daging hewan non-ternak yang diperdagangkan di pasar Tomohon. Fenomena itu beresiko menularkan penyakit dari hewan ke manusia.

Berdasarkan survei pada bulan Juli 2018, mereka mendapati bahwa hewan domestikasi khususnya anjing, dikirim dalam keadaan mati. Ditambah lagi, dari lokasi tujuan, misalnya Sulawesi Selatan atau Sulawesi Tengah, jarak rata-rata menuju Tomohon sekitar 3 malam. Dalam 2 kali pengintaian yang mereka lakukan, es-es itu diketahui sudah mencair ketika tiba di lokasi tujuan.

Persoalannya, menurut Frank Delano Manus, Program Manajer AFMI, pengawasan dalam distribusi hewan non-ternak ini terbilang minim. Tak ada proses karantina juga surat keterangan sehat dari daerah asal. Apalagi, hewan tersebut dikirim dalam keadaan mati.

“Otoritas pasar bilang, kewenangan mereka hanya di pasar. Sementara, Dinas Peternakan hanya mengawasi hewan ternak yang masuk ke pasar. Untuk membatasi pasokan daging, kewenangannya ada di Pemerintah Provinsi,” tutur Frank.

baca juga :  Jelang Pengucapan Syukur Kabupaten Minahasa, Diduga Daging Yaki Dijual Di Pasar Langowan

 

Kampanye penyelamatan satwa liar di pasar Tomohon. Foto : PPS Tasikoki/Mongabay Indonesia

 

Temuan AFMI dalam survei itu, daging ular paling mendominasi perdagangan di pasar Tomohon, yang mencapai 1,7 ton. Angka itu lebih tinggi dari perdagangan daging jenis lain di pasar Tomohon dan pasar-pasar yang jadi lokasi survei.

“Daging ular meningkat 22-23%. Itu yang sudah diperjual-belikan di pasar Tomohon. Jenis daging lain tidak ada peningkatan signifikan. Bahkan, daging anjing turun 11%,” papar Frank. “Itu baru hari normal. Jelang Natal atau Tahun Baru angkanya pasti lebih tinggi, walau belum tentu hingga 2 kali lipat. Tapi sayang pengawasannya belum maksimal.”

 

Menolak P92

Dalam kampanye Solidaritas untuk Bumi, aktivis juga menyerukan penolakan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.92/2018. Sebab, peraturan itu dinilai minim kajian akademik serta mengabaikan satwa endemik dan terancam di Sulawesi Utara.

Billy Gustafianto Lolowang, Manager Wlidlife Rescue & Endangered Species Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST) mengatakan, beberapa jenis satwa endemik yang sebelumnya dilindungi, kini tidak lagi tercatat dalam peraturan tersebut. Padahal, tingkat keterancamannya terbilang tinggi serta wilayah sebaran yang terbatas.

Contohnya, kuskus beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) dan Macaca nigrescens. Kedua satwa ini, oleh daftar merah IUCN dikategorikan vulnerable (rentan), dengan tren populasi yang terus menurun.

Dulu, dalam PP No.7/1999, Macaca nigra dan Macaca nigrescens merupakan spesies dengan nama yang sama yaitu Cynopithecus niger. “Macaca nigra diperjelas, nigrescens tidak. Padahal lingkup sebarannya terbatas,” terang Billy.

Dia khawatir, tidak dilindunginya satwa liar endemik akan semakin meningkatkan keterancaman akibat perburuan dan perdagangan. “Orang-orang mungkin sudah sadar, tidak berburu, memperdagangkan, memelihara atau konsumsi Macaca nigra. Tapi bagaiamana dengan Macaca nigrescens?

Keanehan lain, tambah Billy, dikeluarkannya burung Anis-bentet Sangihe dari daftar lindung. Sebab, burung ini tidak termasuk jenis yang ditangkarkan dan dipelihara. Bahkan, populasinya di alam pun sulit ditemukan.

“Besar harapan kami jenis-jenis endemik, juga satwa yang tingkat keterancamannya tinggi, perlu diperhatikan kembali, terkait status konservasi dan perlindungannya,” pungkas Billy.

 

Exit mobile version