Mongabay.co.id

Nasib Warga Pungkat Setelah Ada Perusahaan Sawit

Perkuat sawit rakyat agar produktivitas meningkat. Foto: Sruyadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Setelah ada perusahaan sawit, warga Pungkat harus merasakan kesusahan. Air sungai yang dulu jernih hingga bisa dipakai untuk keperluan sehari-hari, kini sudah tercemar. Ikan-ikan juga tak ada lagi. Bukan itu saja, sengketa lahan warga di Indragiri Hilir, Riau ini, dengan perusahaan sawit, PT SAL, berlarut. Proses penyelesaian menyebutkan, perusahaan diminta setop pembukaan di lahan sengketa. Hingga kini, proses penyelesaian dari pemerintah daerah tak ada kejelasan.

 

 

Kami menyusuri Sungai Rawa, Indragiri Hilir, Riau. Kami mengayuh. Sampan bermesin tak bisa di bawa ke dalam karena rumput bakung menyempitkan sungai ditambah ranting pohon menjulur. Kami terkadang mesti menundukkan kepala.

Baca juga: Berkonflik dengan Perusahaan Sawit PT SAL,Warga Pungkat Kirim Surat ke BPN

Dulu, kedalaman Sungai Rawa sekitar tiga depa. Air jernih. Kedalaman satu meter ke bawah masih terlihat. Hamdalis, pemuda Desa Pungkat, sering cari ikan. Ada toman, tapah, lais, baung, arwana, kepar, pelompong, biawan, jalai, kusong dan banyak lagi.

Setelah ada perusahaan sawit, PT Setia Agrindo Lestari (SAL), beroperasi, kondisi jadi berbeda. Sekarang, sungai jadi dangkal. Anak usaha First Resources ini, selain tebang hutan dan tanam sawit juga gali tanah buat kanal.

Lumpur mengalir sampai ke Sungai Rawa. Pupuk sawit juga diduga mencemari sungai ini. Air sempat keruh seperti susu. Kini hitam pekat.

Mereka yang berkebun di sekitar bantaran sungai tak pernah lagi minum air ini. Bila hendak bermalam di pondok, terpaksa bawa persediaan air bersih pakai jerigen.

“Air sungai sudah pernah kami serahkan ke bupati. Sudah pernah juga diteliti. Memang sudah tercemar. Setelah tahu tercemar saya coba minum, tak berapa lama langsung sakit perut,” kata Asmar, juga warga Pungkat.

Asmar tahu betul perubahan yang terjadi di Sungai Rawa. Baik pendangkalan, pencemaran sampai makin sulit cari ikan. Sejak remaja, Asmar saban hari keluar masuk hutan cari kayu bikin kapal. Sekarang dia sudah hampir 70 tahun.

Pungkat terkenal dengan perajin kapal kayu. Hampir semua laki-laki dewasa ahli dalam hal ini. Di sebelah rumah penduduk hampir semua jadi tempat galangan kapal. Ini jadi salah satu sumber pendapatan terbesar warga selain kelapa dan pinang. Upah pembuatan kapal muatan empat ton kisaran Rp22 juta-Rp24 juta. Pengerjaan bisa satu bulan.

Sumber ekonomi ini makin terancam. Kayu sulit didapat. Lokasi cari kayu makin jauh. Terkadang sampai enam bulan baru terkumpul. Paling cepat dua bulan. “Satu tahun kadang hanya dapat buat dua kapal,” kata Udin, di sela-sela istirahat usai mengetam papan.

SAL dituding ikut menyumbang kepunahan kayu jenis meranti, kelat, malas, samak dan gading yang jadi bahan pembuatan kapal.

 

Lahan sudah dibersihkan untuk sawit PT SAL. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Warga Pungkat, meski hari-harinya menebang kayu tetapi, tebang pilih terhadap kayu yang akan dibawa keluar hutan. Mereka pilih pohon-pohon besar yang tak dapat dipeluk. Satu pohon saja, cukup menghasilkan satu kapal. Menebang pohon juga tak sampai ke akar supaya tumbuh kembali.

Kehadiran kebun sawit skala besar bukan hanya rusak sungai. Petani menuding, tanaman kelapa dan pinang mereka juga terserang hama setelah hutan hilang berganti sawit. Sebagian warga pun harus pindah kebun karena sudah tak menghasilkan lagi.

Zubaidah dan suami, salah satunya. Mereka buka kebun baru. Sebelumnya, mereka berkebun di Parit 10, berdampingan dengan kebun sawit SAL.

Sejak itu, kelapa dan pinang tak dapat digarap lagi karena terserang hama kumbang, buntut penebangan kayu dan hutan sekitar gundul.

Hamdalis dan Asmar, bilang, kumbang muncul karena kayu tebangan dibenam ke tanah. Zubaidah dan 20 petani sekitar, mau tak mau harus pindah dan cari lahan baru.

“Inilah yang kami olah sekarang. Kalau dapat jangan diganggu lagi,” kata Zubaidah.

Perjalanan menyusuri Sungai Rawa, petang itu berhenti pada ujung kanal SAL. Sampan diikat pada ranting kayu. Selanjutnya, berjalan kaki melewati sedikit semak untuk sampai ke atas jalan tanah yang sudah lama dibuat SAL.

Lebar jalan lebih kurang lima meter. Kiri-kanan kanal. Rumput-rumput liar kecoklatan memakan sedikit badan jalan hanya menyisakan setapak untuk dilalui.

“Ini bekas disemprot racun. Satu hari lalu ada yang meracun semak ini. Orang itu langsung lari waktu lihat kami,” kata Hamdalis.

Sawit tumbuh di dalam semak yang tinggi hampir sama. Kata Asmar, sawit itu ditanam sekitar dua tahun lalu. Di sebagian areal, semak telah dibersihkan. Pemandangan tampak lebih luas, antara sawit ada ranting setinggi pinggang yang dipancang bertanda kain merah di ujungnya.

“Mungkin perusahaan kasih batas untuk tanam yang baru,” kata Hamdalis.

Selama berjalan, kebanyakan sawit itu tumbuh di antara semak-semak.

Sebelum meninggalkan lokasi, kami bertemu Umar dan Utoh, dua bersaudara yang baru keluar dari hutan sambil memikul kayu balok dan papan. Mereka mengatakan, satu minggu sebelumnya alat berat sedang memperbaiki jalan yang berlubang.

Umar dan Utoh, tinggal di Parit 7. Ratusan kelapa mereka juga sirna oleh hama kumbang. Utoh, mau tidak mau tanam ulang kelapa. Dia semprot bagian pucuk supaya kumbang mati. Umar pernah minta ganti rugi pada orang perusahaan yang sedang bekerja. Sampai saat ini permintaan itu belum didapat.

Awan makin gelap. Kami melangkah dengan cepat kembali ke sampan.

 

Kebun PT SAL, di Afdeling 2. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Hari berikutnya kami kembali menyusuri Sungai Rawa dari arah berbeda. Kalau sebelumnya lewat hilir, kali ini masuk dari hulu, lewat Parit Awang. Sayangnya, meski beranjak dari pagi, ternyata sungai belum begitu dalam. Dari jalur ini, bisa langsung tembus ke kanal-kanal SAL.

Kami naik melintasi kebun warga. Asmar bilang, semua kebun masyarakat yang kami lalui diklaim masuk izin SAL seluas 17.059 hektar. “Tidak semua yang berkebun di sini tahu soal itu. Kita ini memperjuangkan mereka supaya tidak dikuasai perusahaan.”

Setelah hampir satu jam melintas di kebun masyarakat, tiba juga di kanal SAL. Beruntung ada sampan Angah, seorang petani, parkir di kanal hingga kami tak perlu berenang menyeberang. Angah sedang duduk di bawah pinang.

Dia juga punya pondok dalam kebun. Angah tak mau ambil tahu soal aktivitas SAL, meski perusahaan sudah bikin jalan di situ. Baginya, asal masih dapat menanam tak jadi masalah.

Kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan yang dibangun SAL. Asmar mengatakan, dulu lokasi itu hutan hijau dengan tegakan kayu-kayu besar, sebelum tumbang berganti sawit.

 

 

***

Sekitar 1,5 jam jalan kaki, dari jarak satu kilometer tampak kebun sawit terbentang luas. Ada rumah petak bercat putih polos untuk para pekerja.

Marcel, pekerja dari Nias, mengatakan, rumah yang mirip kos-kosan itu menampung sekitar 30 orang. Kebanyakan laki-laki. Mereka datang dari berbagai daerah terutama Pulau Nias, Sumatera Utara. Pekerja kebun menyebut areal ini afdeling 2.

Hari itu, Minggu. Kebanyakan mereka menikmati libur kerja, hanya berdiam diri di dalam rumah. Tak ada fasilitas apapun. Penerangan cuma malam hari. Sekali seminggu mereka ke Desa Belantaraya untuk belanja kebutuhan dapur. Mereka belanja dengan gaji masing-masing. “Kalau di sini pukul 8.00 malam sudah tidur,” kata Marcel. Dia tengah mandi di kanal depan tempat tinggalnya.

Marcel mendapat upah Rp104.000 per hari untuk dodos sawit. Bagi yang hendak kerja hari libur diizinkan dan dapat tambahan gaji tiap bulan.

 

Kapal Kayu Buatan Warga Desa Pungkat. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Siang itu, dua orang sedang mengangkut sawit dengan alat berat dan menumpuk di tepi kanal. Yuda, sudah tiga bulan bekerja diajak pamannya, sopir alat pengangkut sawit. Mereka dari Mentawai, Sumatera Barat.

Mereka diupah dengan sistem borongan. Satu ton Rp25.000, baik jauh maupun dekat jarak sawit yang diangkut. Paman Yuda, mengatakan, sekali jalan alatnya mampu mengangkut satu ton tandan buah sawit. Mereka angkut sawit sampai siang sebelum kami meninggalkan lokasi.

 

 

Jalan di tempat

Warga Pungkat mulai menolak SAL sejak perusahaan ini membabat hutan, yang menimbulkan berbagai dampak terhadap lingkungan dan mata pencaharian warga. Mereka melayangkan surat penolakan pada Bupati Indragiri Hilir dan anggota DPRD. Aksi protes langsung dengan berunjukrasa juga pernah. Puncaknya, sembilan alat berat perusahaan dibakar berujung penahanan 21 orang selama sembilan bulan.

Pemerintah baru merespon dengan melayangkan surat pada SAL agar menghentikan sementara seluruh operasi mereka. Juga akan membentuk tim penyelesaian konflik dan evaluasi terhadap izin SAL.

Sejak pencanangan pada 2014, belum ada penyelesaian hingga kini. Sekalipun Kantor Staf Presiden telah meminta klarifikasi pada pemerintah, diwakili Darussalam Asisten 1, pertengahan tahun lalu.

Kala ditanya, Darussalam menganjurkan saya bertanya pada Yun Hawarius, Kepala Bagian Pemerintah dan Otonomi Daerah. Darussalam di Yogyakarta menghadiri wisuda anaknya ketika diminta waktu wawancara.

Yun, juga belum ada waktu karena mengurus pelantikan Wardan sebagai Bupati Indragiri Hilir untuk periode kedua, di Pekanbaru. Yun, meminta jumpa staf, Ismal. Sebelum menutup pembicaraan, Yun bilang, penyelesaian masalah SAL dengan masyarakat Pungkat masih jalan di tempat. “Kalau perusahaan ternyata masih beraktivitas, memang bandel dia tu,” kata Yun.

Senada dengan Yun, Ismal juga menyebut belum ada keputusan dari pemerintah. “Masih stagnan.” Mereka juga tidak pernah terima laporan dari masyarakat lagi. Katanya, laporan yang masuk justru mengenai batas wilayah Desa Pungkat dan Desa Belantaraya.

Izin usaha perkebunan SAL memang mencakup Desa Simpang Gaung, Belantaraya, Pungkat, Teluk Kabung dan Lahang Hulu. Zaki, Kepala Desa Pungkat, mengatakan, soal batas wilayah belum ada keputusan penyelesaian dari bupati. Camat Gaung yang diperintah memfasilitasi penyelesaian antardesa juga belum berbuat apa-apa.

Kepala Desa Pungkat dan Belantaraya, masih ngotot saling klaim areal sawit SAL berada di wilayah admnistrasi mereka.

 

Hutan dibersihkan untuk jalan ke kebun sawit. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Darussalam, baru beri penjelasan, Jumat (30/11/128). Darussalam menjawab pertanyaan lewat sambungan telepon.

Dia membenarkan, pemerintah Indragiri Hilir lewat tim penyelesaian konflik sedang mencari kata sepakat terhadap batas wilayah administrasi antara Pungkat dan Belantaraya. Masing-masing kepala desa masih berseteru soal itu. Pemerintah, katanya, tak ingin kemudian hari berujung konflik antarmasyarakat dua desa.

“Masalah satu belum selesai, masyarakat pula nanti yang berseteru,” kata Darussalam.

Dia bilang, pemerintah sedang mencari surat keputusan penetapan pemekaran Desa Pungkat dan Belantaraya, sampai sekarang belum mereka dapatkan. Mereka perlu administrasi tertulis di samping tetap mencari solusi kesepakatan langsung di masyarakat.

Menurut Darussalam, hak penguasaan tanah bagi masyarakat tidak akan hilang meski batas desa telah ditetapkan.

“Masyarakat Pungkat tetap boleh berkebun di wilayah Belantaraya. Begitu juga sebaliknya.”

Pemerintah Indragiri Hilir juga kerjasama dengan Badan Informasi Geospasial untuk tata batas. Harapannya, bila persoalan selesai, mereka hendak mengusulkan program tanah obyek reforma agraria agar masyarakat aman dan tenang berkebun.

 

 

Evaluasi perizinan pada PT SAL tak pernah ada?

Sembari menunggu hasil kesepakatan itu, katanya, pemerintah juga membentuk tim evaluasi perizinan terhadap SAL. Ketuanya Asisten II Pemkab Indragiri Hilir dibantu anggota dari dinas terkait termasuk Dinas Perizinan.

Afrizal, Asisten II Pemkab Indragiri Hilir yang dimaksud Darussalam, tak tahu apa-apa perihal kelanjutan evaluasi perizinan SAL. Yang dia tahu, SAL hanya sebatas memiliki izin lokasi. Padahal, sejak 2013, SAL telah mengantongi izin usaha perkebunan.

“Yang jelas perusahaan sudah menghentikan aktivitas. Soal izin silakan tanya ke badan perizinan saja,” kata Afrizal.

 

Kanal yang dibuat perusahaan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Helmi, Kepala Badan Perizinan, Penanaman Modal dan Promosi Daerah Indragiri Hilir, bilang, sama sekali tak pernah membuka dokumen perizinan SAL. Helmi tak pernah mendengar cerita pembahasan soal perusahaan ini. Yang dia tahu dan pernah dengar, SAL tidak beraktivitas lagi.

“Saya harus buka dulu dokumen SAL. Silakan nanti hubungi lagi,”katanya.

Beberapa hari kemudian, Helmi tetap memberi penjelasan sama. Dia meyakinkan, sejak duduk sebagai kepala badan perizinan, tak pernah mengevaluasi izin SAL. Tak ada laporan dan tak ada gejolak lagi yang dia ketahui mengenai perusahaan itu. Helmi hanya menyentil soal batas desa seperti yang disunggung pejabat lain.

“Saya malahan tidak pernah baca surat penghentian sementara aktivitas SAL,” kata Helmi.

Ombudsman Perwakilan Riau, turut merespon masalah ini. Tiga kali mereka melayangkan surat pada 2015, masing-masing 10 April, 30 Oktober dan 9 November. Mereka meminta klarifikasi. Puncaknya meminta Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Riau menunda proses penerbitan izin HGU SAL.

Dalam catatan yang dibagikan Ismal, Kepala BPN Riau juga memberitahu hal sama ke Kepala BPN Indragiri Hilir. Ahmad Fitri, Kepala Ombudsman Perwakilan Riau, membenarkan hal itu.

 

 

Masih tertutup

Saya berupaya meminta penjelasan perusahaan. Kala datang ke barak pekerja di Afdeling 2, Mongabay sempat bertemu Sarwana yang mengaku sebagai karyawan. Dia tak bersedia melayani permintaan wawancara. “Langsung saja ke Pak Winarko,” katanya.

Winarko, manajer kebun. Sarwana berulangkali menghubungi dia dengan ponsel tetapi tak ada jawaban. Saya minta kontaknya.

Sarwana tak berani sebelum ada perintah. Dia janji akan beritahu bila sudah dapat jawaban dari Winarko. Winarko, katanya, lebih sering di kantor SAL di Kuala Lahang, ibu kota Kecamatan Gaung.

Saya ke Kuala Lahang, Senin 19 November. Lebih kurang satu jam dari Pungkat, pakai speedboat. Orang-orang di pelabuhan, warung kopi dan kedai-kedai tak ada yang tahu alamat kantor SAL termasuk pegawai kecamatan dan personil polisi di Polsek Gaung. “Tak tahu kami. Tak pernah perusahaan itu koordinasi,” kata seorang laki-laki berseragam kemeja putih dan celana hitam, ketika saya mampir di Polsek Gaung.

Sebagian orang hanya pernah mendengar SAL karena kebun ada di Lahang Hulu, dua jam lebih dari pelabuhan. Tiap Selasa, pekerja kebun berbondong-bondong pakai sampan belanja di pasar tepi pelabuhan.

Kedai Adi, sering jadi tempat tongkrongan mereka. Adi kenal dengan wajah orang-orang yang bekerja di kebun SAL.

Laki-laki itu menyebut namanya, Surya. Buruh harian lepas SAL. Dia menghubungi rekannya di kebun untuk menanyakan posisi Winarko.

Surya mengizinkan Mongabay bicara langsung pada Apit dari ujung telepon selulernya. Sayangnya, kata Apit, Winarko belum datang.

“Kalau Pak Winarko ada di dalam, saya bisa antar kamu atau utus orang kebun jemput di sini. Biasanya begitu kalau ada tamu. Tapi, di sana tak ada kepastian. Soalnya jauh ke dalam sana,” kata Surya.

Jawaban itu tak kunjung datang. Surya, kemudian memberikan kontak Winarko karena harus segera kembali ke kebun.

Sebelum beranjak dari pelabuhan, dari ujung telepon Sarwana memberitahu supaya saya langsung konfirmasi ke Patria Darma, Humas Regional Tembilahan. Dia juga mengirim kontak yang bersangkutan lewat pesan pendek. Sayangnya, nomor itu tak dapat dihubungi.

Mongabay dapat informasi, SAL juga punya kantor di depan Terminal Bandar Laksamana Indragiri, Parit 8 Tembilahan Hulu. Lagi-lagi orang di situ tak ada yang tahu apalagi mendengar SAL. Hanya ada ruko-ruko kosong yang kurang terawat di sekitar terminal.

Winarko menerima wawancara saya usai Jumatan, lewat sambungan telepon. Dia tak pernah mendengar surat perintah penghentian sementara kegiatan usaha perkebunan SAL, yang dikeluarkan Badan Perizinan Penanaman Modal dan Promosi Daerah, Sekretaris Daerah dan Bupati Indragiri Hilir.

Mereka hanya mengelola 1.200 hektar dari 17.000 hektar lebih IUP sejak 2013. Meski ternyata ada kegiatan pembersihan lahan dan perawatan jalan di luar areal yang mereka kelola sekarang, Winarko menyebut, supaya tak terlalu ditumbuhi semak dan jalan mudah dilalui ketika mengangkut sawit.

Winarko menyarankan Mongabay bertanya lebih banyak pada Suhartono, Manager Umum. Patria Darma sedang umroh. “Kalau saya baru pertengahan tahun ini menjabat,” katanya.

Mongabay mengikuti saran Winarko, Rabu (28/11/18) di Gedung Surya Dumai Group Jalan Jenderal Sudirman Lantai 9. Sayangnya, yang bersangkutan sedang di kebun, baru kembali dua hari kemudian.

Setelah dua hari, Suhartono belum juga dapat ditemui. Selisih beberapa menit sebelum tiba di kantornya, seorang security mengatakan, Suhartono baru saja berangkat ke Rokan Hulu.

Setelah tiga kali bolak-balik ke kantornya, Suhartono tetap tak dapat ditemui. Rio Christiyanto, staf perizinan, menghampiri dan memberitahu bahwa atasannya belum datang. Dia menyarankan untuk melayangkan surat atau pertanyaan dan berjanji meneruskan ke Suhartono.

Setelah satu minggu lebih, pertanyaan itu tak kunjung mendapat jawaban Suhartono. “Sudah aku teruskan ke Pak Suhartono. Belum ada respon nampaknya.”

 

 

Keterangan foto utama:    Setelah panen, sawit PT SAL dikumpulkan di tepi kanal. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Warga bangun pondok di tepi Sungai Rawa untuk berkebun. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version