Mongabay.co.id

Lahan Transmigran di Konawe Selatan Bersengketa dengan Perusahaan Sawit dan Warga Lokal

Nenas. salah satu hasil pertanian warga transmigran. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Warga dari Pulau Jawa ini mencari penghidupan baru ke Sulawesi Tenggara, lewat program transmigrasi pemerintah. Sesampainya di lokasi tujuan di Konawe Selatan, lahan mereka ternyata sudah masuk dalam izin-izin perusahaan sawit atau tumpang tindih dengan warga lokal. Sudah memasuki tujuh tahun, nasib mereka belum ada kejelasan. Pemerintah berjanji, lewat program reforma agraria, mereka akan mendapatkan lahan namun masih proses. Kini, mereka masih hidup dalam was-was.

 

 

Suara suling Pak Ujang merdu mendayu-dayu. Dia memainkan tangga nada musik khas Sunda. Musik ini jadi sahabat di dalam gubuk, penyemangat bertani di tengah hutan, lahan transmigrasi Ujang.

“Jadi ini villa saya, yah, seperti para pejabat-pejabat negaralah,” katanya terkekeh.

Ujang, warga transmigrasi, bernama asli Ujang Uskadian. Usia 63 tahun. Dia bersama istrinya, Tuni Widya Astuti.

Mereka transmigran dari Yogjakarta, dengan penempatan di UPT Arongo, Kecamatan Landono, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

Villa yang dimaksud Ujang adalah bangunan transmigrasi semi permanen, pemberian pemerintah pada 2011. Tahun itu ada program transmigrasi dari Pulau Jawa dan Bali. Dia juga dapat tanah untuk bertani.

“Jadi jumlah kami awalnya 250 orang dari luar Sultra. Warga lokal 250, total 500 orang. Dari 250 dari Jawa itu 53 dari Jogjakarta. Saya kepala rombongan,” cerita Ujang.

Kini, jumlah mereka sudah berkurang, tersisa sekitar 100 orang lebih. Sebagian mereka meninggalkan lahan transmigrasi.

Ujang, sehari-hari di UPT Arongo, sebagai petani. Dia tanam banyak tumbuhan keras seperti cengkih, mangga, pala dan kopi. Ada juga merica, kelapa, serai, maupun pisang.

Dia bersama para anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mengajak kami berkeliling. Ujang bercerita langsung dengan warga transmigran lain di UPT Ariongo.

Berangkat bertemu dengan masyarakat UPT Arongo, saya melihat sekeliling pemukiman transmigrasi, sudah ada kebun sawit. Kata mereka, ini perkebunan PT Merbau Indah Raya. UPT Arongo di kelilingi perkebunan sawit.

Saya juga menyaksikan rumah-rumah warga yang rusak. Ujang berujar, rumah-rumah ini milik warga transmigrasi lokal dari Konawe Selatan. Pemiliknya meninggalkan rumah.

Rumput memenuhi rumah. Atap rusak, dinding penuh rayap dan sebagian berjatuhan. Saya melihat, Peskesmas Pembantu (Pustu) UPT Arongo, rusak parah, sudah tak aktif lagi.

“Di samping pustu sekolah dasar, rusak. Guru-guru tidak ada yang mengajar, pemerintah juga tidak mau mengelola. Dibiarkan rusak begitu saja.”

Anak-anak dari warga Arongo, katanya, sebagian putus sekolah. Bukan karena tak mampu membayar uang sekolah, melainkan sekolah seperti SD, SMP dan SMA (SMK) harus berjarak sekitar 10 kilometer.

“Bayangkan, anak-anak harus melintasi hutan untuk bersekolah. Yang lanjut pasti yang ayah ibunya ada kendaraan. Yang tidak ada kendaraan, yah jalan kaki. Sekolah di ibukota Kecamatan Landono,” kata Ujang.

 

Perkebunan kelapa sawit milik PT Merbau Indah Raya di UPT Arongo. Dalam perkebunan ini ada 30 hektare lahan warga yang diklaim masuk konsesi perusahaan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

Pemerintah lepas tangan, perusahaan sawit ambil lahan

Dari rumah Ujang, kami ke Balai Pertemuan. Balai ini didirikan swadaya masyarakat UPT Arongo. Ia juga tempat pertemuan para petani Arongo, setiap hari. Mereka masuk dalam pengurus Serikat Tani Konawe Selatan (STKS).

Di sini kami bertemu puluhan perwakilan ratusan warga transmigrasi Arongo.

Torop Rudendi dari KPA Sulawesi Tenggara, membuka diskusi. Dia bercerita bagaimana KPA mendampingi transmigrasi. Torop bilang, UPT Arongo, merupakan desa yang didorong KPA dan organisasi tani untuk dapatkan redistribusi lahan lewat Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Selain Arongo, ada 16 desa di sembilan kecamatan.

Desa ini merupakan lahan transmigrasi yang berkonflik dengan warga lokal dan perusahaan sawit.

LPRA lahir atas inisiatif KPA dan organisasi tani yang menilai tanah obyek reforma agraria (Tora) oleh pemerintah tak memenuhi prasayarat sebagai reforma agraria sejati. Untuk itu, perlu agenda tandingan.

Guna mencapai keberhasilan reforma agraria, setidaknya perlu beberapa syarat, seperti kemauan politik kuat dari pemerrintah (landasan hukum, kebijakan, kelembagaan, dan pembiayaan memadai), organisasi rakyat kuat, data agraria lengkap dan akurat serta partisipasi publik luas dan kritis.

“Melihat persoalan di UPT Arongo ini kami masuk pendampingan. Harapannya, persoalan transmigrasi baik pemberian lahan I dan II, legalitas tanah, bisa secepatnya terealisasi,” kata Torop.

Ujang berdiri dan mengambil mic. Dia memotong diskusi dan menceritakan masalah sesungguhnya di Arongo. “Saya mulai dari sejarah hingga kami masuk di sini yah,” kata Ujang, mewakili warga.

Tahun 2009, pemerintah pusat mengeluarkan program transmigrasi. Dia bersama 53 orang dari Yogyakarta mengurus semua dokumen. Tahun 2011, mereka diterima jadi peserta transmigrasi ke Sulawesi Tenggara.

Dia berkumpul bersama 250 warga Pulau Jawa dan Bali mendapatkan pembekalan dari pemerintah tentang tugas dan tanggung jawab selama di Sultra.

Katanya, program ini sebagai upaya pemberantasan kemiskinan. “Sampailah kami di UPT Arongo, Landono, Konsel. Pemerintah Yogyakarta dan Sultra saat itu diwakili Dinas Transmigrasi langsung menandatangani dokumen kerjasama transmigrasi ini,” katanya.

Dalam dokumen kerjasama itu, katanya, 250 keluarga dari Jawa dan Bali, dapat rumah semi permanen dan tanah dua hektar per keluarga.

Rinciannya, lahan pekarangan 0,25 hektar, lahan usaha I berukuran 0,75 hektar dan lahan usaha II seluas satu hektar plus legalitas sertifikat hak milik (SHM).

“Sertifikat katanya diberikan kepada warga transmigrasi yang berhak paling lambat empat tahun sejak penempatan,” katanya.

Entah apa yang terjadi di pemerintah. Kepastian lahan warga transmigrasi ini terkatung-katung. Sudah masuk tahun ketujuh pada 2018, SHM tak pernah terbit, lahan usaha II pun sampai sekarang tak ada. Beberapa kali mereka tanyakan, Pemerintah Konsel, diam seribu bahasa.

Berjalan lima tahun, warga baru mendapatkan satu hektar lahan atau setengah dari kesepakatan bagian transmigrasi Konawe Selatan. Sedangkan, satu hektar untuk lahan usaha II, belum ada kejelasan.

Dari 250 keluarga, asal Jawa dan Bali, kata Ujang, seharusnya bisa menerima tanah 500 hektar. Faktanya, setelah pengukuran oleh warga dan Kantor Pertanahan (Kanta) Konsel, lahan mereka hanya 312 hektar.

“Bahkan, genap setahun pasca penempatan, tepatnya tahun 2012, warga transmigrasi UPT Arongo kaget oleh klaim perusahaan sawit PT. Merbau Jaya Indah Raya Group di atas lahan kami,” katanya.

Menurut Ujang, disinilah awal mula konflik warga dan perkebunan sawit ini. Warga menduga, lahan usaha II mereka sudah masuk dalam izin hak guna usaha (HGU) Merbau. Hal ini, katanya, dikuatkan dari ketidaktahuan pemerintah menunjukkan lahan usaha II. Klaim sepihak perusahaan ini berakhir dengan sebagian lahan dan tanaman wargatergusur  pada 2015.

 

Ujang Uskadiana menunjukkan lahan dia yang dicaplok perkebunan kelapa sawit. Di belakang Ujang telah tumbuh pohon-pohon sawit milik PT Merbau Indah Raya. Sawit tumbuh di sebagian lahan warga. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Lahan transmigrasi juga tumpang tindih dengan tanah warga lokal. “Sisanya tak ditahu dimana. Lahan-lahan yang bisa kami kelola sudah masuk lahan warga lokal sejak turun temurun berkebun di sini. Kami juga tidak bisa mengganggu warga setempat,” ucap Ujang.

Tahun 2015, katanya, lahan warga tergusur puluhan hektar. Ada tanaman siap panen. Lahan itu, katanya, masuk konsesi perusahaan. “Kami menolak hingga akhirnya kami menutup jalan perusahaan. Kami menahan lapar dan dintimidasi. Jangan sampai semua lahan kami diambil,” katanya.

Ujang merasa tak habis pikir. Pemerintah yang sudah mendatangkan mereka, tetapi tak tahu letak lahan II yang harus diberikan kepada mereka.

Muncul dugaan, katanya, penempatan transmigrasi tidak melalui penelitian mendalam.

Warga tak tinggal diam. Mereka sudah mencoba mengirimkan pengaduan pada jajaran pemerintahan di Kabupaten Konawe Selatan.

Dari beberapa kali usaha, warga hanya mendapat perintah lisan untuk terus menggarap lahan mereka tetapi tidak ada tindakan lebih serius atau bukti legal dari Pemerintah Konawe Selatan.

Sedangkan perusahaan terus menggusur. Terakhir, perusahaan menggusur sembilan kapling lahan pertanian warga, ada merica, pala, cengkih, gamal, serai, kopi, pisang, sengon, jengkol, jati putih dan kedelai siap panen pada 12-13 April 2016.

Warga ketakutan. Ada juga beberapa dari mereka pergi atau kembali ke kampung halaman.

“Intimidasi, mengancam kami melalui SMS (pesan singkat dari seluler-red). Sebagian warga juga diteror. Saya tidak takut, saya ajak yang meneror kalau berani datang di gubuk saya,” kata Ujang.

Menurut Ujang, pertama kali menjajakan kaki di UPT Arongo dia tak melihat ada perusahaan. Perusahaan ada di luar Desa Laikandonga.

Beberapa saat setalah itu, muncullah klaim Merbau bahwa tanah yang mereka tempati sebagian sudah milik perusahaan. Kondisi makin runyam saat ini kala Pemerintah Konawe Selatan, hendak jadikan UPT Arongo, desa definitif.

“Tindakan ini cara pelepasan tanggung jawab dari Dinas Transmigrasi Konawe Selatan,” katanya.

Asumsinya, kalau UPT Arongo jadi desa definitif, maka Dinas Transmigrasi Konawe Selatan, tak mempunyai tanggung jawab lagi. UPT Arongo akan beralih tanggung jawab ke Pemerintah Konawe Selatan.

Dengan begitu, masalah pemberian lahan usaha I luas 0,75 hektar dan lahan usaha II satu hektar, katanya, tak akan pernah terealisasi.

 

Suasana di rumah pertemuan warga di UPT Arongo, Kecamatan Landono, Konawe Selatan. Di hadapan wartawan dan anggota KPA, warga bergantian menceritakan duka mereka selama tinggal di Arongo dan berhadapan dengan konflik agraria. Foto: :Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Nasib serupa juga dialami Asih, di UPT Tolihe. Perempuan 40 tahun ini bercerita sama seperti Ujang. Awal mula menginjakakn kaki di Konsel pada 2011. Tepatnya, di Tolihe, Kecamatan Palangga, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Asih Lestari begitu nama lengkapnya.

Asih adalah korban erupsi gunung berapi di Yogjakarta. Datang ke Sultra pada 2011 berharap kehidpan lebih baik. Bencana kehidupan justru lebih parah dari jadi korban erupsi.

“Berdasarkan SK Bupati, kala itu masih Pak Imran, kami harusnya di Baito. Rupanya lahan yang kami tempati di Baito, sudah masuk dalam HGU PT Tiran Sulawesi,” katanya.

Sebelum mereka masuk, katanya, warga di Kecamatan Baito, lebih dulu jual lahan di perusahaan. Pemerintah, katanya, kelamaan menempatkan warga transmigrasi.

“Kemudian kami dipindahkan, katanya tidak apa-apa pindah lokasi. Ini sudah sesuai persetujuan bupati. Nah, kami dipindahkan di Kecamatan Palangga, yakni sekarang UPT Tolihe,” katanya.

Sampai di Tolihe, bukan masalah selesai. Sudah tujuh tahun, alias sampai sekarang, hidup dalam cemas. Pemukiman mereka di Tolihe, kata Asih, lagi-lagi masuk HGU perusahaan.

“Kami bertanya tidak dijelaskan alasannya, beberapa kali kami demo tetap saja pemerintah diam.”

Pemukiman mereka, katanya, baik lahan usaha I dan II semua masuk HGU PT Tiran Sulawesi. Seharusnya, Asih, bersama 25 keluarga yang datang dari Yogyakarta, ditambah transmigran dari wilayah lain berjumlah 240 keluarga, mendapatkan lahan 740 hektar di Kecamatan Baito.

“Entah kenapa, tanpa alasan jelas, pemerintah Konawe Selatan, memindahkan lokasi transmigarasi ke Desa Tolihe, Kecamatan Palangga. Sekarang juga berkonflik.”

Hingga kini, kata Asih, masyarakat transmigran Tolihe tak memiliki lahan I sama sekali. “Sampai detik ini tak ada lahan satu, lokasi berpindah-pindah terus di sekitar kawasan Palangga, akhirnya kita nggak menggarap karena tidak jelas,” kata Asih.

 

 

Tuntutan warga

Marno, juga warga transmigrasi UPT Arongo adalah Ketua Himpunan Petani Arongo (HPA). Dia bilang, sejak mereka di Arongo, pemerintah tidak pernah hadir.

Masalah berlarut-larut hingga mereka berkonflik dengan Merbau Indah Raya. Marno mengatakan, kehadiran mereka di UPT Arongo, awalnya dapat peta kawasan.

“Belakangan, peta berubah. Katanya beririsan dengan lahan warga. Tahun berikutnya, 2015, peta kawasan berubah lagi. Tiga kali perubahan kawasan.”

Dia meminta, memasuki tahun ketujuh, pemerintah bisa memberikan kejelasan pada warga agar mereka tak lagi berkonflik lahan. Dia berharap, masalah atau konflik lahan dengan perusahaan bisa selesai.

Perusahaan, katanya, bisa mengganti lahan warga yang sudah tergusur. Dia juga minta lahan-lahan yang ada segera dapat legalitas. Persoalan tumpang tindih lahan dengan warga lokal pun, agar pemerintah ikut menyelesaikan secepatnya.

“Kami meminta pemulihan konflik dan diberikan fasilitas pendidikan maupun kesehatan memadai,” katanya.

Sejauh ini, pemerintah terkesan menutup mata. Jangankan persoalan konflik, katanya, soal membantu tata niaga hasil bumi masyarakat, pemerintah tak pernah bantu.

“Hasil bumi di sini banyak. Tapi lari ke tengkulak. Padahal jenis buah-buahan itu luar biasa. Kenapa ini tidak dianggap oleh pemerintah?”

 

Rumah semi permanen yang ditinggal warga transmigrasi. Rumah ini ditinggalkan karena warga tak sanggup menerima beban hidup di tengah konflik agraria. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

Menagih janji BPN

Menyoal legalitas hak atas tanah di lahan transmigrasi, terutama UPT Arongo dan UPT Tolihe, warga mendatangi Kantor BPN Sulawesi Tenggara, di Kendari.

Mereka memaparkan berbagai permasalahan di hadapan Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN Sultra Kalvyn Andar Sembiring. Salah satu persoalan yang mengemuka, janji BPN Konawe Selatan untuk segera mensertifikatkan lahan milik warga UPT Arongo.

Sebelumnya, kata Ujang, di hadapan kepala BPN, sudah dilakukan pengukuran. Sayangnya, hingga kini belum ada sertifikat jadi.

Sampai 2015, lahan-lahan mereka tergusur dan warga tak dapat melawan karena tak mempunyai legalitas.

Mereka juga menagih janji BPN, segera mensertifikatkan lahan milik masyarakat Desa Pudaria Jaya melalui skema pengukuran tanah sistematis lengkap (PTSL).

Andar menjelaskan, tanah-tanah transmigrasi, BPN akan menyelesaikan secara khusus. Saat ini, katanya, sudah dibentuk gugus tugas reforma agraria untuk menyelesaikan masalah tanah transmigrasi.

“Kalau lihat reforma agraria, untuk tanah transmigrasi kita tangani khusus. Artinya, kalaupun ditemukan di lapangan ada tumpang tindih dengan HGU perusahaan atau dengan kawasan hutan, ini penyelesaian di kami. Percayalah, [upaya penyelesaian] ini berjalan,” katanya.

Untuk lahan Ujang, ke depan, Andar, akan membicarakan dengan pihak-pihak terkait. Dia bilang, lahan-lahan yang sudah diukur BPN Konsel secepatnya akan dapat sertifikat.

“Tinggal menunggu dokumen BPN pusat, kemudian dikaji lagi dan akan kami terbitkan.”

Saya mencoba menghubungi Humas Merbau Indah Raya, bernama Pedis. Tiga kali saya upaya konfirmasi, Pedis belum bisa memberikan keterangan. Kemudian persoalan ini saya tanyakan ke DPRD Konsel.

Irham Kalenggo, Ketua DPRD Konsel, menceritakan, persoalan transmigrasi dan konflik lahan di UPT Arongo dan Tolihe, ibarat mengurai benang kusut.

“Kami akan mencarikan solusi, bukan berarti mau lepas tangan. Tidak yah. Apakah perusahaan-perusahaan ini milik orang berkuasa atau lain-lain, kami akan tetap memberikan solusi kepada warga,” katanya.

DPRD, katanya, sudah meminta kepada Bupati Konsel, Surunudin, agar bisa menyelesaiakan konflik masyarakat. “Tolong pemerintah bisa berbicara dengan perusahaan guna melepaskan lahan untuk transmigrasi.”

Menurut Irham, lahan transmigrasi ini jadi program kerja pemerintah sebelumnya. Sejauh ini, DPRD tak pernah dilibatkan oleh pemerintah (Bupati Konsel), H. Imran.

“Terus terang saja kami DPRD tidak tahu soal transmigrasi ini. Tiba-tiba saja sudah ada warga datang dan kemudian berkonflik dangan perusahaan. Ini kami pertanyakan juga,” katanya.

DPRD, katanya, sudah meminta minta sama perusahaan agar mundur selangkah dan melepaskan lahan kepada warga transmigrasi. “Mereka sejak masuk sudah urus izin dan HGU, ini jadi alasan, legalitas mereka jelas juga. Maka mereka tak mau dan tidak akan melepaskan lahan.”

Irham mengatakan, soal transmigrasi sebenarnya sudah bermasalah jauh sebelum warga menempati lahan. Konsel, katanya, sebenarnya tak mempunyai lahan transmigrasi, melainkan lahan warga Konsel yang diambil begitu saja dan jadi peta transmigrasi.

“Awal persoalan sebenarnya jauh-jauh sebelum ini. Kami kaget warga transmigrasi sudah mau datang. Ini program pusat, kemudian mereka gusur lahan untuk warga transmigrasi, padahal ini tanah warga sebelumnya.”

“Kemudian warga akan dibangunkan rumah. Akhirnya, warga lokal itu ada yang punya 10 rumah di Arongo, tapi tidak ditinggali. Memang, ini ranahnya proyek waktu itu.”

Di lain waktu, saya juga menemui Wakil Bupati Konsel, Arsalim, pada 15 Desember 2018. Dia bilang, persoalan warga UPT Arongo dan Tolihe, akan secepatnya diselesaikan. Pemerintah, katanya, akan mencarikan lahan eks HGU PTPN dan PT Kapas yang tidak digunakan.

“Ini masuk lahan tidur. Kami akan ambil dan menempatkan warga di situ. Dokumen nanti kami akan rapikan,” kata Arsalim.

Dia meminta warga bersabar. Selain itu, perusahaan juga diminta tidak menggusur di lahan-lahan warga. “Secepatnya akan memberikan sepenuhnya tuntutan warga. Termasuk dokumen tanah itu.”

 

 

Keterangan foto utama:    Nenas. salah satu hasil pertanian warga transmigran. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version