Mongabay.co.id

Terancam Punah, Haruskah Badak Jawa Bertahan di Ujung Kulon?

 

Tengah malam di penghujung 1982, di batas hutan dan pantai, seorang lelaki tua kurus tanpa alas kaki bertandang ke barak Resort Karangranjang di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). “Abah Murdja’i,” ucap Saridan, seorang polisi hutan yang bertugas di area tersebut.

Abah Murdja’i bukan sembarang orang. Dia mantan jawara atau “dedengkot” kelompok pemburu badak di Ujung Kulon. Ia pernah dipenjara lima tahun, 1974-1979, ditangkap subuh dini hari di Sungai Cikalejetan. Sebelum ditangkap, ia sempat mengokang senjata ke arah petugas yang mengejarnya, namun senjata itu justru meledak di tangannya sendiri hingga jari-jari tangan kanannya putus. Ia diamankan lalu disidang di pengadilan Pandeglang.

Di resort itu, Murdja’i menceritakan petualangannya memburu badak kurun waktu 20 tahun yang tak seorang pun dapat mencegahnya.

“Kenapa di Cikalejetan Abah bisa diringkus?,” tanya Saridan lagi. “Wah eta mah geus waktuna,” atau itu sudah waktunya,” jawab Murdja’i dalam Bahasa Sunda. Pada senjata Murdja’i yang dijuluki si Mayit, terdapat 27 goresan di gagangnya. Satu goresan berarti satu individu badak yang ia tembak. “Artinya, setiap tahun, abah membunuh badak jawa di Ujung Kulon,” ujarnya.

Selama seperempat abad (1950-1975) dua pemburu badak jawa dari Ujung Kulon, Sarman (ditangkap 1979) dan Murdja’i mengaku telah memburu lebih dari 50 individu badak (Sadjudin, 1986; Sadjudin, 2015). Di Ujung Kulon, populasi badak jawa tahun 1937 ditaksir ada 25 individu (10 jantan dan 15 betina), dan pada tahun 1955 ada sekitar 30-35 individu (Hoogerwerf, 1970).

 

Badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: Stephen Belcher/Dok. Balai Taman Nasional Ujung Kulon via International Rhino Foundation

 

Terkait populasi badak jawa, tahun 1967 di Ujung Kulon memang untuk pertama kalinya dilakukan sensus yang saat itu diperkirakan antara 21-28 individu. Turun naiknya populasi saat itu, selain adanya kelahiran, juga dipengaruhi perburuan (Schenkel dan Schenkel, 1969). Setelah adanya pengawasan ketat, jumlahnya bertambah hingga mencapai 45 individu (Schenkel dkk, 1978). Andai Murdja’i dan Sarman tak tertangkap polisi kehutanan, bukan tidak mungkin badak jawa hanya menyisakan cerita.

Sementara, peneliti Inggris, Blyth (1862) menuliskan tentang perdagangan cula badak jawa yang diekspor ke Tiongkok sebanyak 2.500 cula setiap tahunnya. Jika setiap tahun ada 360 hari, setiap hari diperkirakan ada 7 individu badak dibunuh.

Badak jawa yang saat itu tersebar di Jawa bagian timur dan barat, serta di sumatera bagian selatan (Blyth, 1862; Beaufort, 1934), oleh Pemerintahan Belanda dianggap hama perkebunan jati, karet, dan teh. Kondisi yang berlangsung hingga penghujung abad ke-19. Siapa saja yang berhasil membunuh badak, akan diberi hadiah.

 

 

**

Benua Asia dan Afrika dikenal tempat hidupnya 5 jenis badak. Di Asia ada 3 jenis (badak jawa, badak sumatera, dan badak india), serta 2 jenis di Afrika (badak hitam dan badak putih berbibir tebal). Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) adalah salah satu jenis badak yang masih dapat mempertahankan hidupnya di Ujung Kulon, bagian ujung paling barat Pulau Jawa.

Dahulu, persebaran badak jawa cukup luas, meliputi India bagian timur, Bangladesh, Indochina, dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara meliputi Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, semenanjung Malaya dan Indonesia (Shebbeare, 1953; Ali dan Santapau, 1958). Ada juga kemungkinan terdapat di daratan China Selatan, sepanjang aliran sungai Mekong dan Songkoi (Blyth, 1862; Loch, 1937; Ansell, 1947; Talbot, 1960).

Di Sumatera, pernah dijumpai dari Aceh di utara hingga Lampung di selatan. Tahun 1927, masih ditemukan di Langkat dan pada 1933 di Palembang (Beaufort, 1934; Groves, 1971). Buck dan Evertt (1893) telah mendeskripsi fosil gigi badak jawa yang ditemukan dari Serawak di Kalimantan. Tetapi setelah itu tidak ada lagi laporan yang pasti bahwa badak jawa pernah hidup di Kalimantan (Beaufort, 1934; Loch, 1937; Groves, 1971).

Tahun 1833 satwa ini masih di temukan di Wonosobo, Nusakambangan (1834), Telaga Warna (1866), Gunung Slamet (1867), Tangkuban Perahu (1870), Gunung Gede dan Pangrango (1880), Gunung Papandayan (1881), Gunung Ceremai (1897), dan pada 1912 masih ditemukan di sekitar Karawang. Wilayah yang dulunya dihuni badak diabadikan menjadi nama tempat seperti Ranca Badak di Bandung, Rawa Badak di Jakarta Utara, Kandang Badak di Gunung Gede Pangrango, dan Cibadak di Sukabumi.

 

Sepasang badak jawa di Cigenter, Ujungkulon dilukis di atas kanvas 1 X 1,5 meter pada Oktober 2018 oleh Syahdan Lubis. Foto: Haerudin R. Sadjudin

 

Sebelumya, badak jawa dilaporkan ditemukan di Bukit Siwalik, India (spesimennya sekarang di Museum Zoologi, Calcuta), lalu di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam yang pada 2011 badak jawa terakhir di sana ditembak pemburu. Sedangkan badak jawa terakhir di luar Ujung Kulon dibunuh 1934 oleh Frank (zoologist Belanda) di Cipatujah, Tasikmalaya; spesimennya tersimpan di Museum Zoologi Bogor (Sadjudin, 2015).

Pada tahun 1910 badak jawa secara resmi dilindungi undang-undang oleh Pemerintah Hindia Belanda, walaupun tanda-tanda ancaman perburuan masih ada, sebab belum ada pengawasan efektif. Pada 1921, berdasarkan rekomendasi dari The Netherlands Indies Society for Protection of Nature, Ujung Kulon oleh Pemerintah Belanda dinyatakan sebagai Cagar Alam (Hoogerwerf, 1970). Berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature), badak jawa ditetapkan berstatus Kritis (Critically Endangered/CR) atau satu langkah menuju kepunahan.

Kini badak jawa hanya dapat dijumpai di habitat alaminya yang relatif sempit dengan populasi yang sangat terbatas di Semenanjung Ujung Kulon. Satwa yang kondisi penyebarannya demikian disebut relich, lebih rentan punah; dibandingkan satwa yang sifat persebarannya terbatas, endemik.

 

Sebuah mural sepasang badak jawa di habitat alaminya di Ujung Kulon yang dilukis Syahdan Lubis pada September 2018 di Depok. Foto: Haerudin R. Sadjudin

 

**

Awal 1982, sebanyak 5 bangkai badak jawa ditemukan di sekitar Cibandawoh, Karangranjang dan Kalejetan. Ada yang mati di pinggir pantai, ada juga di tepian sungai. Diduga, kematian tersebut akibat penyakit ngorok, zoonosis, Septicimia epizoitica yang menular dari kerbau yang diliarkan penduduk ke dalam hutan sekitar Taman Nasional Ujung Kulon. Terakhir, badak bernama Samson, ditemukan mati di tepi Pantai Karang Panjang, Pulau Handeuleum, disebabkan kholik atau torsio usus, yaitu usus besar dan usus kecil terpuntir (torso). Kondisi ini merupakan dinamika kehidupan badak di Ujung Kulon.

Faktor kerentanan lain terhadap kehidupan badak jawa adalah populasinya yang relatif rendah. Berdasarkan kamera jebak, diperkirakan ada 68 individu (Balai TNUK, 2018). Populasi sedikit dalam habitat sempit, akan meningkatkan heterogenitas yang rendah; terjadinya perkawinan sedarah dan menurunkan kelemahan genetis setiap individu yang dilahirkan. Individu generasi berikutnya rentan terhadap serangan penyakit, sehingga badak jawa akan semakin terancam punah.

Namun menurut Tony Suhartono (mantan Direktur KKH, KLHK, melalui komunikasi pribadi tahun 2015) badak seperti beberapa jenis satwa lainnya, mempunyai barcode yang lebar. Artinya, dapat mempertahankan populasinya dalam jangka panjang walau jumlahnya sedikit, sex-ratio yang tidak seimbang, dan terjadinya perkawinan sedarah. Paling penting, populasinya dikelola dan ketat dan maksimal.

Hal lain yang bakal menghambat kehidupan badak adalah langkap. Tanaman Arenga obtusifolia ini berkembang sangat pesat, menyebabkan sinar matahari tidak tembus ke lantai hutan, mengakibatkan pakan kesukaan badak tumbuh. Di beberapa lokasi Ujung Kulon, rotan (Calamus spp.), salak (Salacca edulis), dan bambu cangkeuteuk (Schizostachyum zollinaeri) yang mendominasi membuat pakan badak juga sulit berkembang. Kawasan yang sesuai habitat badak jawa diperkirakan hanya 40 persen dari seluruh kawasan semenanjung Ujung Kulon yang luasnya sekitar 10.000 hektar.

 

Patroli rutin pengamanan badak jawa yang dilakukan di Ujung Kulon. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Ancaman menakutkan kepunahan badak jawa yang tidak bisa dikesampingkan adalah bencana alam, yaitu letusan Gunung Krakatau. Dahulu, pada 1883 letusannya mengakibatkan gelombang tsunami setinggi 40 meter serta menewaskan lebih dari 40.000 orang di sekitar Banten dan Lampung. Kala itu, badak jawa dengan jumlah individu terbatas, mungkin dapat menyelamatkan diri ke daerah hutan sekitar Gunung Payung (420 m) dan Gunung Honje (620 m).

Terbaru, longsoran erupsi Gunung Anak Kratau yang terjadi Sabtu, 22 Desember 2018, menyebabkan terjadinya tsunami yang menghantam pantai Selat Sunda. Wilayah Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten, yang merupakan pintu masuk Taman Nasional Ujung Kulon merupakan daerah yang terdampak parah bencana ini. Sejauh ini, badak jawa dilaporkan baik-baik saja.

Terlepas dari berbagai masalah yang diuraikan, ditambah kompetisi ruang dan pakan dengan banteng jawa (Bos javanicus) yang hidup dalam satu kantong habitat di Ujung Kulon; habitat kedua (second habitat) sangat diperlukan sebagai solusi menghindari punahnya badak jawa.

 

Referensi:

Beaufort, L.F. On the occurence of Rhinoceros sondaicus in Sumatra. Tijdscr Ned. Dierk. Ver. Ser. 1: 43, 1934.

Blyth, E. A memoir on living Asiatic species of Rhinoce- ros. J. Asiatic Soc. 31: 151-175, Bengal, 1862.

Hoogerwerf, A. Udjung Kulon the Land of the Last Javan Rhinoceros. E.J. Brill, Leiden, 1970

Sadjudin, H.R. Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmartes, 1822) di Semenanjung Ujung Kulon. Biologi Univ. Nasional, Jakarta, 1983.

Schenkel, R. and Schenkel, L.H. The javan rhinoceros (Rh. sondaicus Desm.) in Udjung Kulon Nature Reserve. Its ecology and behaviour, Field Study 1967-1968. Acta Trop. 26: 97, 1969.

 

*Haerudin R. Sadjudin,   Peneliti badak senior,   lebih 40 tahun terlibat program konservasi badak di Indonesia.

 

 

Exit mobile version