Pemerintah jadikan reforma agraria dan perhutanan sosial sebagai salah satu agenda prioritas. Sejak Presiden Joko Widodo, duduk, antara lain Nawacita menyebutkan, soal komitmen pemerintah memberikan distribusi lahan seluas 9 juta hektar dan hutan kelola rakyat lewat perhutanan sosial sekitar 12,7 juta hektar sampai 2019. Berbagai kebijakan dibikin. Untuk tahun ini, pada 24 September lalu, tepat di Hari Tani, terbitlah Perpres Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria.
Baca juga: Kado Hari Tani 2018: Presiden Tandatangani Perpres Reforma Agraria
Kebijakan ini jadi terobosan politik dan hukum dalam pusaran kebijakan nasional. Berbagai pihak mengapresiasi kebijakan ini terlebih masyarakat atau petani yang bertahun-tahun berkonflik lahan, walau AMAN mengkiritisi karena aturan ini dinilai minus masyarakat adat. Kebijakan ini angin segar tetapi perjalanan pelaksanaan reforma agraria masih panjang.
Berbagai aturan dan kebijakan sudah keluar terkait peluang-peluang pemberian hak lahan kepada warga banyak bermunculan sejak beberapa tahun ini, tetapi hingga 2018, realisasi bisa dikatakan lambat.
Baca juga: Mengupas Borok Agraria, Akankah Temukan Obatnya?
Di lapangan, konflik antara warga dan perusahaan maupun pemerintah masih terjadi. Masih banyak masyarakat adat yang kesusahan karena wilayah adat mereka masuk konsesi perusahaan atau berkonflik dengan negara karena hidup di hutan lindung atau konservasi.
Eko Cahyono, peneliti Sajogjo Institut mengatakan, kebijakan reforma agraria masih jauh dari ideal. Reforma agraria, katanya, tak seharusnya jadi program atau agenda nasional, seperti program KB, beras miskin atau lain-lain.
”Ia harusnya jadi fondasi dari kebijakan pembangunan, hingga sifatnya ad-hoc,” katanya.
Tujuan kebijakan, katanya, harusnya, bisa mengocok ulang, menata ulang tatanan yang tak adil, ketimpangan struktural, kepemilikan, penguasaan akan akses agraria.
Baca juga: Kementerian Agraria Mulai Distribusikan Lahan Bekas HGU
Dia katakan, penataan ulang kepemilikan lahan punya rujukan pada UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Ia mengamanatkan pembatasan minimum dan maksimum kepemilikan tanah.
Eko contohkan, Pasal 7, menyebutkan untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
Sayangnya, pembatasan itu tak diatur dalam Perpres Nomor 86/2018. Terutama, batas minimum dan maksimum untuk hak guna usaha.
Berkali-kali pemerintah menyebutkan, sedang melakukan tindakan koreksi kebijakan. Mereka sedang berupaya mengurangi ketimpangan penguasaan lahan antara pebisnis dan warga. Ada peningkatan kuasa lahan oleh masyarakat.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebelum reforma agraria jadi prioritas pemerintah persentase pelepasan kawasan hutan 88% untuk swasta dan 12% buat masyarakat. Pasca reforma agraria, kepemilikan masyarakat naik jadi 38,41%. Untuk pemanfaatan hutan, persentase masyarakat hanya 2%. Setelah perhutanan sosial jadi 28,31%.
Eko penulis buku putih Reforma Agraria mengatakan, perjalanan menuju ideal ini memang selalu berbenturan dengan politik yang sebenarnya.
“Yang paling tinggi ada gap pengetahuan,” katanya. Banyak pemilik kebijakan belum memahami atau belum tahu betul tentang konsep reforma agraria. Mereka, katanya, masih ‘terpeleset’ warisan lama. Tak heran, kalau saat ini reforma agraria malah dijalankan melalui sertifikasi lahan.
Kalau sertifikasi lahan itu, kata Eko, seharusnya bukan reforma agraria tetapi kebijakan agraria nasional. ”Itu tidak apa (sertifikasi), bagus untuk masyarakat, tetapi jangan katakana itu reforma agraria.”
Kementerian Agraria dan Tata Ruang /BPN melaksanakan reforma agraria melalui legalisasi aset, melalui sertifikasi tanah rakyat melalui prona atau pendaftasan tanah sistematis lengkap (PTSL) pada 3,9 juta hektar. Juga tanah transmigrasi belum bersertifikat baik lama maupun baru 0,6 hektar. Sedangkan, redistribusi aset melalui lahan bekas HGU dan tanah terlantar (0,4 juta hektar) maupun pelepasan kawasan hutan 4,1 juta hektar.
Adanya ketimpangan pengetahuan ini, katanya, menyebabkan pengabaian strukturisasi. Padahal, semangat UU Pokok Agraria 1960 adalam restrukturisasi dengan, menyelesaikan struktur agraria yang timpang atas kepemilikan dan akses sumber-sumber agraria.
”Yang dipraktikkan, saya melihat hanya kuat di legalitas aja. Gebrakan politik tidak ada dalam restrukturisasi.” Meskipun, katanya, pemerintah selalu menyebutkan kalau itu baru tahapan.
Tantangan lain, katanya, bagaimana pelaksanaan reforma agria dalam sistem pembangunan neoliberalisme, tetapi neopopulisme alias tak terjadi perombakan sistem dalam pelaksanaan reforma agraria.
Legalisasi aset, katanya, menuju pada market land reform, yakni lebih banyak menyediakan kepentingan untuk tujuan pasar.
”Kalau secara moderat, boleh saja ada legalisasi atau sertifikasi tanah, tetapi itu di ujung setelah syarat reforma agraria terpenuhi,” katanya.
Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memberikan catatan soal redistribusi tanah obyek reforma agraria (Tora) yang mandek di kawasan hutan—mengacu rencana pembangunan jangka menengah nasional seluas 4,5 juta hektar.
Data KLHK, katanya, ada potensi pelepasan seluas 994.000 hektar kawasan hutan melalui redistribusi lahan. ”Dikatakan sudah diredistribusaikan, sebenarnya itu baru dilimpahkan ke ATR/BPN, kami tidak tahu sejauh mana dari 4,1 juta hektar itu di ATR/BPN dan proses yang terjadi,” katanya.
Dia bilang, redistribusi lahan ini perlu ada pengawasan agar jelas kalau lahan terbagi tepat subyek dan ada penataan ulang.
Dewi sepakat dengan Eko, mendesak pemerintah agar memisahkan program PTSL dari reforma agraria. Pelaksanaan reforma agraria, katanya, perlu kekhususan, perlu ada penataan ulang, termasuk ada subyek prioritas yang didahulukan.
Eko mengatakan, kebijakan reforma agraria ini belum menyentuh pada titik masalah ketimpangan kepemilikan agraria dan itikad nasional. Prioritas pelaksanaan, katanya, masih sesuai pada inisiatif politik pemerintah daerah, antara lain, menunggu ada surat keputusan bupati atau peraturan daerah. Di level daerah, kadang terjadi konflik kepentingan—pemberi izin-izin kepala daerah—, kalau bikin perda perlu biaya tak sedikit.
”Jika memang serius, prioritas wilayah penyelesaian titikberatkan pada ketimpangan struktural agraria yang tinggi, dan konflik agraria yang tinggi, misal, pada izin-izin perkebunan sawit dan pertambangan.”
Dia merekomendasikan, ada kelembagaan khusus untuk reforma agraria, seperti Badan Otorita Reforma Agraria.
Hingga kini, kata Dewi, pelaksanaan reforma agraria, masih minim menyentuh penyelesaian konflik di masyarakat. Bahkan, katanya, pengurangan petani burem, petani miskin dan petani tak berlahan yang jadi bagian reforma agraria itu tak ada data.
Meski demikian, Dewi menyebutkan, terjadi penurunan konflik agraria walau tak signifikan dibanding 2017.
”Ini tidak bisa dimaknai, pemerintah bisa menyelesaikan persoalan reforma agraria, karena belum ada penuntasan konflik agraria secara utuh.”
Pemerintah, katanya, masih punya pekerjaan rumah sangat besar dalam mengoreksi kebijakan reforma agraria. Salah satu, memastikan usulan-usulan lokasi yang sudah diberikan para petani, dan masyarakat adat jadi prioritas.
”Usulan dari masyarakat yang harusnya menjadi prioritas. Bukan pada legalisasi lahan, dengan cara-cara lama BPN.”
Dewi juga singgung kebijakan satu peta yang belum memasukkan peta-peta tematik seperti peta wilayah adat. Kalau peta tematik hak kelola masyarakat tak masuk Satu Peta, katanya, bisa berbahaya. Lagi-lagi, tanah garapan atau kuasa masyarakat bisa masuk klaim lahan pihak lain.
Tahun politik
Tahun 2019, Indonesia akan pesta demokrasi melalui pemilihan kepemimpinan negeri periode 2019-2023. Berbicara reforma agraria, baik pasangan calon Prabowo Subianto–Sandiaga Uno dan Joko Widodo–Ma’ruf Amin memasukkan kebijakan itu dalam dokumen visi-misi.
Prabowo–Sandiaga, komitmen akan “agenda reforma agraria untuk memperbaiki kesejahteraan petani sekaligus mendukung peningkatan produksi di sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan.”
Sedangkan, Jokowi–Ma’ruf, berencana mempercepat redistribusi aset (reforma agraria) dan perhutanan sosial yang tepat sasaran guna memberikan peluang bagi rakyat yang selama ini tidak memiliki lahan/aset untuk terlibat dalam bidang ekonomi.
”Dalam politik cantolan seperti ini penting. Hanya yang perlu dikawal adalah substansinya,” kata Eko.
Mengacu pada Nawacita, Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, kata Dewi, perlu pengawasan kelanjutan reforma agraria. Sedang dia masih belum melihat arah kebijakan reforma agraria Prabowo-Sandi akan seperti apa.
Dia contohkan soal gagasan bank tanah. Rencana Jokowi-Ma’ruf membangun atau mengembangkan bank tanah dengan tujuan pembangunan infrastruktur dan jumlah sama dengan reforma agraria. Kalau visi misi Prabowo-Sandi, bank tanah untuk pembangunan perumahan rakyat yang bersumber dari moratorium HGU dan hak guna bangunan.
”Ini yang harus dikawal untuk politik 2019, kebijakan dan orientasinya.”
Selain itu, Dewi khawatir, menjelang pertarungan politik pada 2019, kerja-kerja reforma agraria akan terpengaruh terutama pada kementerian-kementerian terkait.
Bagaimana masyarakat adat?
Rukka Sambolinggi, Sekretariat Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, janji-janji yang disampaikan presiden, masih minim pelaksanaan.
Baca juga: Perpres Reforma Agraria Tanpa Masyarakat Adat
Dalam Nawacita 2014-2019, katanya, ada enam janji Presiden Joko Widodo kepada masyarakat adat. Enam janji itu membuat AMAN pada 2014, resmi menentukan pilihan kepada Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kini, menjelang akhir masa lima tahun pemerintahan, Nawacita masih jauh dari harapan.
Bukan itu saja. Rancangan Undang-undang masyarakat adat masih terhambat. Daftar inventarisasi masalah dari pemerintah sebagai syarat pembahasan RUU bersama DPR juga belum diserahkan. Padahal 2019, sudah memasuki musim kampanye pemilihan presiden maupun legislatif.
“Dari sisi waktu, praktis hanya tersisa empat bulan bagi Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla untuk melaksanakan komitmen Nawacita kepada masyarakat adat. Sisa waktu itu hampir mustahil mewujudkan janji,” katanya sambil bilang walau masih memungkinkan kalau ada keinginan kuat presiden dan jajaran.
Rukka menjabarkan Nawacita dan membandingkan dengan kondisi sekarang. Pertama, soal meninjau ulang dan menyesuaikan peraturan perundang-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. Khusus, berkaitan dengan hak-hak atas sumber-sumber agraria.
Kedua, mendorong inisiatif penyusunan RUU terkait penyelesiaan konflik-konflik agraria yang muncul akibat pengingkaran berbagai peraturan perundang-undangan sektoral atas hak-hak masyarakat adat.
“Kedua komitmen ini berhubungan satu sama lain. Komitmen itu jelas mengarahkan Jokowi-JK pada upaya-upaya perubahan hukum terkait dengan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Khusus terkait pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam,” katanya.
Konsekuensi logis komitmen ini, katanya, keharusan evaluasi dan kaji ulang berbagai peraturan perundang-undangan masyarakat adat dan sumberdaya alam.
“Harus segera merevisi UU Kehutanan yang jelas-jelas jadi penghambat dalam pengakuan masyarakat adat. Segera mengesahkan RUU masyarakat adat yang mengatur sistematis dan komprehensif mengenai pengakuan dan hak masyarakat adat.”
Selain itu, katanya, membentuk Komisi Masyarakat Adat agar koordinasi antarkementerian dan lembaga yang selama ini tumpang tindih bisa selesai.
Dia kritisi Perpres 88/2017 soal Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Dia menyebutkan, ada 128 komunitas masyarakat adat berada di dalam kawasan hutan konservasi dan lindung yang terancam. Dalam Perpres 88/2017, hanya disebutkan soal pemindahan bagi masyarakat adat dalam kawasan hutan lindung dan konservasi.
Aturan lain yang menurut Rukka bermasalah yakni Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria. Dia bilang, masyarakat adat sulit menggunakan aturan itu sebagai dasar hukum pengakuan hak wilayah karena wilayah dan masyarakat adat tak masuk kategori sebagai obyek reforma agraria.
“Dikecualikan wilayah dan masyarakat adat dari subyek dan obyek reforma agraria tidak berbahaya, jika terlebih dahulu ada kerangka hukum menjamin pengakuan hak dan wilayah masyarakat adat secara jelas.”
Aturan ini, katanya, jadi berbahaya, karena tidak ada suatu kerangka hukum yang dapat menjamin pengakuan hak dan wilayah masyarakat adat.
Ketiga, melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak masyarakat Adat. Kini, pembahasan RUU sudah memasuki tahap akhir tetapi pemerintah belum menyerahkan DIM. Di penghujung tahun 2014, saat masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pembahasan RUU ini juga hampir selesai tetapi batal.
Era Jokowi, DPR sudah rapat dengan pemerintah dan memutuskan RUU lanjut. Dalam catatan bersama hasil rapat, disebutkan, pembahasan akan mulai masa sidang pertengahan Agustus 2018.
“Setelah rapat kerja, harusnya pemerintah segera membahas DIM sebagai syarat pembahasan selanjutnya dengan DPR. Setelah rapat kerja, pembahasan RUU masyarakat adat terhenti karena pemerintah belum menyerahkan DIM,” kata Rukka.
Komitmen keempat dalam Nawacita, memastikan proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam.
Rukka mengatakan, upaya pengakuan masyarakat adat mulai sejak pemerintahan sebelumnya. Pemerintahan SBY waktu itu menerbitkan Permendagri Nomor 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Pada sektor pertanahan, Pemerintahan Jokowi menerbitkan Permen ATR/BPN Nomor 9/2016, kemudian jadi Permen ATR Nomor 10/2017 tentang hak komunal.
“AMAN awalnya mengapresiasi kedua kebijakan ini, tetapi faktanya tak kunjung terimplementasi.”
Sisi lain, RUU Pertanahan juga mandek. Padahal, katanya, RUU ini juga penting untuk memperjelas skema-skema legal dalam pengakuan wilayah adat di tengah kesimpangsiuran pengaturan dengan berbagai regulasi.
Rukka menyebut, yang cukup menggembirakan justru di beberapa provinsi dan kabupaten sudah banyak mengeluarkan perda masyarakat adat.
Hingga kini, ada 67 perda lahir sejak putusan Mahmakah Konstitusi No 35 soal hutan adat bukan lagi hutan negara.
“Jumlah ini masih sedikit jika dibandingkan persebaran masyarakat adat di hampir setiap daerah.”
Kelima, membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus presiden untuk bekerja intens mempersiapkan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan mengurus hal-hal berkaitan masyarakat adat. Hingga kini, katanya, lembaga ini belum terbentuk.
“Kami pernah tiga kali bertemu presiden. Dalam pertemuan terakhir Maret 2017, kami menyampaikan bahwa agenda-agenda percepatan pengakuan masyarakat adat dan haknya mengalami kendala birokrasi sektoral.”
Saat itu, AMAN meminta presiden memepercepat pembentukan Satgas Masyarakat Adat. Presiden kala itu bilang, tak masalah dengan pembentukan satgas. Lagi-lagi, sampai saat ini, satwa belum ada.
“Komunikasi terakhir dikatakan satgas sudah ada di meja presiden. Belum terbentuk juga,” katanya.
Komitmen keenam, memastikan penerapan UU Nomor 6/2014 tentang Desa, berjalan, terutama pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk ditetapkan sebagai desa adat.
“Komitmen ini tidak mudah justru karena teks UU Desa itu sendiri. Sampai sekarang belum ada satupun desa adat yang ditetapkan πemerintah.”
Dari 133 desa adat telah ditetapkan melalui produk hukum daerah, belum ada satupun mendapatkan registrasi dan kode desa dari Kementerian Dalam Negeri. Keadaan ini, katanya, karena tumpang tindih fungsi antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa.
Selain itu, Kementerian Desa juga tak memiliki nomenklatur dalam pengaturan desa adat secara jelas hingga terjadi kemandulan implementasi UU Desa.
Berbicara soal pengakuan dan penetapan hutan adat, kata Rukka, sampai akhir 2018, pemerintah baru mengukuhkan seluas 27.970,61 hektar.
Capaian ini, katanya, relatif rendah jika dibandingkan target RPJMN 2014-2019 seharusnya mencapai 5,8 juta hektar.
“Mengapa AMAN tidak pernah antusias dengan hutan adat? Karena yang paling penting dan paling mendasar itu sebenarnya wilayah adat yang sudah dipetakan. Perlu diakui dengan perda dan SK bupati, di dalamnya hutan adat itu hanya perlu diatur negara,” katanya.
Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan, masyarakat adat punya hak atas wilayah yang di dalamnya ada rumah, juga hutan. Hutan ini, katanya, ada di atas wilayah adat yang secara otomatis jadi hutan milik masyraakat adat.
Menurut Rukka, mengakui hutan adat agar lebih lanjut bisa diatur penggunaan dan fungsi oleh pemerintah. Hutan adat itu bukan bicara tentang wilayah adat.
“Makanya, politisi-politisi AMAN berjalan di hampir seluruh Indonesia untuk bikin perda, SK bupati, karena yang paling penting itu di wilayah adat. Yang penting, wilayah adat,” katanya seraya bilang, wilayah adat sudah terpetakan 9 juta hektar lebih.
Pemerintah, katanya, sudah menjanjikan peta wilayah adat masuk dlaam kebijakan One Map Policy. Setelah kebijakan itu rilis, peta wilayah adat dan peta desa belum masuk.
Konflik lahan yang dihadapi masyarakat adat masih tinggi. Berdasarkan catatan AMAN, hingga akhir 2018, terdapat 152 komunitas masyarakat adat menghadapi konflik.
Sebanyak 262 warga masyarakat adat dikriminalisasi. Ada yang berakhir di penjara, ada pula sebagai daftar pencarian orang (DPO).
“Pemerintah harus bebaskan mereka. Setidaknya mereka yang sudah menjalani hukuman, itu harus direhabilitasi nama baiknya.”
Mereka, katanya, dihukum berdasarkan Undang-undang, kebijakan, dan izin-izin yang keluar tak legitimat. “Undang-undang yang digunakan merampas wilayah adat itu bertentangan dengan UUD,” katanya.
Keterangan foto utama: Konflik lahan warga dan PTPN. Warga, bersama majelis hakim dan perwakilan PTPN XIV, mengunjungi koordinat obyek sengketa lahan dalam kebun inti sawit, di wilayah Wana-wana Desa Mantadulu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia