Mongabay.co.id

Bali Larang Plastik Sekali Pakai Mulai 2019

Dua pejabat di Bali, Walikota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra dan Gubernur Bali Wayan Koster mulai 2019 ini akan menetapkan aturan pengurangan sampah plastik. Apa saja larangannya?

Regulasi tersebut adalah Peraturan Walikota Denpasar No.36/2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik dan Peraturan Gubernur Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.

Isi Peraturan Gubernur (Pergub) lebih panjang dan bahasanya cukup ambisius. Pergub Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai ini bertujuan pengurangan limbah plastik sekali pakai dan mencegah kerusakan lingkungan.

Plastik Sekali Pakai (PSP), adalah segala bentuk alat/bahan yang terbuat dari atau mengandung bahan dasar plastik, lateks sintetis atau polyethylene, thermoplastic synthetic polymeric dan diperuntukkan untuk penggunaan sekali pakai.

Namun hanya tiga jenis PSP yang dilarang dalam Pergub ini yakni kantong plastik, polysterina (styrofoam), dan sedotan plastik. Aturan ini mewajibkan setiap orang dan lembaga baik pemasok, distributor, produsen, penjual menyediakan pengganti atau substitusi PSP. Juga melarang peredaran, distribusi, dan penyediaan PSP baik oleh masyarakat, pelaku usaha, desa adat, dan lainnya.

baca :  Bali Pulau Surga atau Surga Sampah?

 

Pengetahuan tentang jenis plastik yang digunakan untuk kemasan dipajang di kantor PPLH Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ruang lingkup regulasi ini adalah jenis dan pembatasan plastik sekali pakai (PSP), produk pengganti PSP, strategi daerah, kerjasama, pendanaan, penghargaan, dan sanksi administratif.

Strategi yang akan dilakukan yakni melakukan identifikasi dan pendataan PSP, membuat baseline data penggunaan produk PSP, penyusunan rencana kegiatan dan target tahunan. Selain itu mengurangi timbunan PSP, edukasi, kampanye, pelarangan penggunaan PSP, serta mendorong penggunaan alternatif pengganti yang berbahan ramah lingkungan. Disebutkan juga memfasilitasi teknologi tepat guna dengan menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan, pengawasan timbulan sampah PSP, pembinaan ke pelaku usaha, dan lainnya.

Pemprov Bali memberikan waktu 6 bulan bagi produsen, pemasok, dan pelaku usaha untuk mengikuti Pergub sejak ditetapkan pada 21 Desember 2018. Pemprov Bali akan membentuk tim pengawasan dan pendampingan kebijakan ini.

“Sudah ada instruksi atau surat edaran pembatasan plastik sekali pakai, di pasar juga, semua titik,” ujar Koster. Menurutnya ini tak sulit karena zaman dulu ada pembungkus tanpa mencemari lingkungan. Ia menyebut distributor juga dilarang, tak hanya konsumen. “Di pasar, swalayan, toko, ada tim khusus mengawasi melakukan sosialisasi, pendampingan semua pihak,” lanjutnya. Tim ini terdiri dari SKPD Provinsi Bali, masyarakat, dan komunitas, LSM, perguruan tinggi, dan lainnya.

“Kalau tak tertib izinnya jangan diperpanjang,” tambah Koster yang baru terpilih ini.

baca :  Produsen Diminta Bertanggungjawab dengan Sampahnya. Kenapa?

 

Aneka pilahan sampah sekali pakai yang ditemukan di pantai oleh relawan pembersih pantai di Denpasar. Foto: arsip PPLH/Mongabay Indonesia

 

Jika Pergub ini dilaksanakan, mulai pertengahan 2019, harusnya sampah plastik tak terlihat lagi. Karena pada Pasal 6 menyatakan ayat (1) Setiap produsen wajib memproduksi Produk Pengganti PSP (2) Setiap distributor wajib mendistribusikan Produk Pengganti PSP. (3) Setiap pemasok wajib memasok Produk Pengganti PSP, dan ayat (4) Setiap pelaku usaha dan penyedia PSP wajib menyediakan Produk Pengganti PSP.

Tak hanya industri, setiap orang dan pelaku usaha dilarang menggunakan PSP. Disebutkan juga, lembaga keagamaan melaksanakan pembinaan agar umatnya tidak menggunakan PSP dalam kegiatan keagamaan.

Aturan ini menjangkau semua pihak. Perangkat Daerah, unit pelaksana teknis daerah, instansi pemerintah lainnya, badan usaha milik daerah, badan layanan umum daerah, lembaga swasta, lembaga keagamaan, lembaga sosial, Desa Adat/Desa Pakraman, masyarakat dan perorangan dilarang menggunakan PSP dalam setiap kegiatan sehari-hari atau kegiatan sosial.

Desa Adat/Desa Pakraman yang berhasil melaksanakan Pembatasan Timbulan Sampah PSP mendapat penghargaan dari Pemerintah Daerah. Berupa bantuan sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan program; atau bantuan dana insentif Desa Adat/Desa Pakraman.

baca juga :  Gara-gara Sampah, Sebuah Mall di Bali Jadi Ramai. Ada Apa?

 

Sejumlah pedagang gotong royong menyapu sampah plastik di Pantai Kuta, Bali pada Selasa (03/01/2017). Sedikitnya perlu 3 kali menyapu tiap harinya karena sampah terus menerus terbawa arus. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Untuk mengawasi Pergub ini, pada Pasal 18 disebutkan Gubernur membentuk Tim Monitoring dan Evaluasi pelaksanaan Pembatasan Timbulan Sampah PSP. Setiap orang, produsen, distributor, pemasok, pelaku usaha dan penyedia PSP yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 9 ayat (1) dikenakan sanksi administratif.

Jika Pergub secara efektif diberlakukan setelah 6 bulan pasca ditetapkan, Peraturan Walikota Denpasar mulai berlaku pada 1 Januari Tahun 2019. Isinya lebih singkat dan sederhana, tentang kewajiban penggunaan kantong belanja.

Penggunaan kantong alternatif ramah lingkungan diatur dalam pasal 5 yang berbunyi ayat (1) Pelaku usaha wajib menggunakan kantong alternatif ramah lingkungan dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap kantong plastik. Kemudian ayat (2) Penggunaan kantong alternatif ramah lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada pusat perbelanjaan dan toko modern.

Dalam Perwali ini dijelaskan, kantong alternatif ramah lingkungan adalah kantong yang terbuat dari bahan dasar organik yang mudah terurai dan/atau kantong permanen yang dapat dipakai berulang-ulang.

Sementara kantong plastik adalah kantong yang terbuat dari/atau mengandung bahan dasar plastik, lateks atau polyethylene, thermoplastik synthetic polymeric, atau bahan-bahan sejenis lainnya, dengan/atau tanpa pegangan tangan, yang digunakan sebagai media untuk mengangkat atau mengangkut barang.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Denpasar Ketut Wisada menjelaskan kantong alternatif itu bisa mengandung plastik asalkan bisa dipakai berkali-kali. “Agar tidak sekali pakai, penjual menyiapkan kantong ramah lingkungan yang bisa dibeli untuk tempat belanjanya kalau tidak bawa tempat dari rumah,” urainya. Jenis kantong alternatif ini tidak ditentukan spesifikasinya.

Sejauh ini pihaknya mengaku sudah melakukan sosialisasi di supermarket, toko modern, dan pasar tradisional. “Supaya pasar tidak kasih kresek, saya punya tim evaluasi, kalau bandel tinjau perizinan-nya,” sebut Wisada. Karena dokumen pengelolaan lingkungan usaha seperti UKL UPL dirinya yang tanda tangan. Ia juga menyebut, pasar-pasar tradisional di bawah naungan PD. Pasar sudah menyatakan komitmen mendukung Perwali ini.

Pemkot akan memberi pembinaan melalui sosialisasi, konsultasi, bantuan teknis, dan fasilitasi penerapan teknologi tepat guna dan hasil guna pembuatan kantong alternatif ramah lingkungan.

 

Aneka penganan olahan Dewi Umbi yang mengemas dengan daun dan kotak kertas. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

DLHK Kota Denpasar akan melakukan pengawasan dalam pengurangan penggunaan kantong plastik dengan dibentuk tim yang terdiri dari unsur Perangkat Daerah. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 dikenakan sanksi administratif sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Adanya Peraturan Walikota ini maka Surat Edaran Sekretaris Daerah Kota Denpasar Nomor 660.1/1486/BLH tanggal 13 Juni 2016 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik dan Kantong Plastik Berbayar di Kota Denpasar dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sebelumnya di sejumlah toko retail dan grosir besar mengenakan biaya bagi konsumen jika menggunakan kresek. Namun terhenti dan saat ini kembali memberi plastik kresek gratis.

Asana Viebeke, seorang pengusaha mengatakan sejak awal buka tidak menggunakan styrofoam untuk bawa pulang pelanggan warungnya di Seminyak, Kuta. Namun harga kemasan pengganti yang disebut lebih ramah lingkungan itu lebih mahal. “Mungkin dengan aturan ya mau tidak mau, tapi kalau masih tersedia dan murah pastinya aturan diabaikan,” urainya tentang kemudahan mendapat kemasan plastik atau styrofoam. Ia meminta ada upaya penyadaran dan solusi untuk substitusi agar tak hanya aturan larangan.

Warung Bucu, usaha kuliner keluarganya menggunakan pipet atau sedotan berbahan gelas. Dari pengalamannya, sedotan dari bambu kurang diminati karena belum yakin kebersihannya. Selain itu masih saja ada yang minta sedotan plastik. “Penyadaran dan edukasi itu penting sekali, bagaimana aparat pemerintah juga memberi contoh, selain aturan dengan penegakannya,” sebutnya.

 

Exit mobile version