Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Melindungi Harimau Sumatera Harus Ada Strategi Komunikasi

 

Hidup harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) tidak pernah sepi dari ancaman. Habitat yang rusak, perburuan, hingga konflik dengan manusia adalah persoalan besar yang bersentuhan langsung dengan kelestarian kucing besar tersebut di alam liar.

Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Harimau Sumatera yang berisi dukungan juga komitmen penuh berbagai pihak dalam upaya penyelamatan dan peningkatan populasi harimau sumatera harus bisa menjawab persoalan yang ada.

SRAK merupakan kebijakan strategis konservasi harimau sumatera berdasarkan evaluasi-evaluasi panjang dan hasil Population Viability Analysis (PVA). Metode ini digunakan untuk mendapatkan gambaran terkini populai harimau dan habitatnya di masing-masing bentang alam guna memprediksi keberlangsungan hidup spesies kunci di hutan sumatera tersebut.

Untuk menyusun model, para ahli menggunakan informasi terkini bio-ekologi harimau dan habitatnya yang dimiliki pemerintah melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Nasional dan BKSDA seluruh Sumatera, LSM, serta sektor swasta. Informasi biologi terdiri dari reproduksi dan angka kematian (mortality rate), sementara ekologi meggunakan kepadatan (density) dalam konteks daya dukung lingkungan (carrying capacity) bentang alam tempat harimau itu berada disertai ketersediaan mangsa.

Baca: Harimau Sumatera Menampakkan Diri, Pertanda Apa?

 

Harimau sumatera. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Munawar Kholis, Ketua Forum HarimauKita (FHK) menjelaskan, secara umum SRAK Harimau Sumatera 2018-2028 yang dalam penyusunan akhir, menggunakan metode dan teknik komprehensif yang disesuaikan kondisi lapangan. Salah satunya, membuat klasifikasi bentang alam kecil, sedang, dan besar.

Artinya, tidak hanya memprioritaskan dan memastikan penguatan pengelolaan konservasi harimau di bentang alam besar, juga lebih memerhatikan bentang alam kecil-sedang yang cenderung diabaikan. Fakta lapangan menunjukkan, ancaman cukup besar penurunan populasi ada di bentang alam kecil dan sedang.

“Kesinambungan bentang alam penting dilakukan. Jika tidak, dalam kurun waktu 20-30 tahun ke depan, populasi harimau tidak bisa survive dan bukan tidak mungkin menghilang,” tuturnya kepada Mongabay Indonesia, awal pekan ini. Dia menyebut, bentang alam kecil-sedang diantaranya adalah Batang Gadis, Rimboganti/Pasaman, Giam Siak Kecil, Kampar, Kerumutan, Dolok Surungan, Berbak-Sembilang, Hutan Harapan, Dangku, Bukit Balai Rejang Selatan, Bukit Dua Belas dan Way Kambas.

Baca: Harimau Sumatera Terus Diburu Memang Nyata

 

Harimau sumatera. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Strategi komunikasi

SRAK 2018-2028, secara rinci akan memasukkan Strategi Komunikasi Konservasi Harimau Sumatera. Ini didasari pentingnya meningkatkan pemahaman serta kesadaran publik terhadap perlindungan dan pelestarian populasi harimau sumatera.

“Ini pembeda dengan SRAK 2007-2017, juga SRAK umumnya,” jelas Kholis. Ia melanjutkan, Strategi Komunikasi tidak disusun kaku, artinya bisa dilakukan masif oleh siapapun dengan berbagai metode pendekatan dan bentuk media.

Menurutnya, dalam upaya konservasi, sejauh ini belum banyak yang membangun strategi komunikasi dengan aktor-aktor penting seperti pemerintah daerah dan private sector yang justru memiliki pengaruh besar.

Adapun aktor atau target group dalam strategi ini adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan termasuk UPT dan kementerian terkait; penegak hukum; jurnalis, media dan public influencer; tenaga pendidik dan akademisi; pemerintah daerah (dinas terkait); swasta dan BUMN khususnya pengelola kebun sawit dan HTI; lembaga donor; penduduk lokal; pelajar, mahasiswa dan publik; artis dan pekerja seni; volunteer/relawan; serta LSM dan pendukungnya.

“Setelah melakukan pendekatan pada dua belas target grup tersebut, diharapkan terbangun kesadaran kolektif menjaga kelestarian sumber daya alam, khususnya harimau sumatera,” tambahnya.

Baca: Masyarakat Pendatang Cenderung Tidak Kenal Legenda Harimau Sumatera?

 

Harimau sumatera. Foto : Jurnal Nature Communications/Mongabay Indonesia

 

Hasil akhir dokumen adalah peta jalan analisis persepsi para-pihak. “Kondisi yang memunculkan sebuah narasi pesan kunci utama (key message), yang terbangun dari penelaahan tindak advokasi, untuk selanjutnya dijalankan,” papar Kholis.

Garis besar Strategi Komunikasi Perlindungan Harimau Sumatera adalah:

  1. Bermitra dengan aktor kunci (pendidik, akademisi, jurnalis media, influencer, pemda, lembaga donor, swasta/BUMN), agar terbangun kolaborasi berdasarkan minat dan nilai yang sama (value and interest).
  2. Melibatkan aktor NGO, volunteer, artis dan pekerja seni pada kampanye FHK bersama aktor kunci.
  3. Menyiapkan materi informatif: teks, visual, audio visual dalam bentuk digital (siap unduh) untuk kelompok target yakni warga lokal setempat, pelajar/mahasiswa, dan publik umum.
  4. Melakukan pengawalan, asistensi dan kerja advokasi untuk para target primer yakni KLHK beserta aparatur daerahnya, kementerian lain dan penegak hukum, dengan tujuan melakukan laporan pemantauan/evaluasi, advokasi kebijakan dan saran/masukan perbaikan. Kerja ini dapat dilakukan kolaborasi dengan target NGO, Volunteer, artis dan pekerja seni.

Baca: Mereka Melindungi Harimau Sumatera Berpegang Kearifan Lokal

 

Harimau sumatera. Foto : Jurnal Nature Communications/Mongabay Indonesia

 

 

Penelitian

Dalam upaya meminimalisir konflik harimau dengan manusia, peneliti gabungan Indonesia dan Inggris telah berhasil mempelajari cara mencegah konflik agar tidak berulang.

Kepada Mongabay Indonesia, Fachruddin Mangunjaya peneliti Indonesia yang tergabung dalam penelitian berjudul Addressing human-tiger conflict using socio-ecological information on tolerance and risk menjelaskan, riset ini menggabungkan pendekatan multi-disiplin. Antara ekologi spasial dan ilmu-ilmu sosial untuk membantu memprediksi di mana terjadinya konflik manusia-harimau yang kemudian dapat diintervensi.

“Dalam upaya mempelajari dan meminimalisir konflik, kami meneliti secara multi-disiplin dengan cara memetakan desa-desa yang memiliki risiko tinggi pertemuan harimau dengan manusia. Kami juga meneliti di mana penduduknya memiliki toleransi rendah terhadap satwa liar. Desa-desa ini perlu dijadikan prioritas untuk intervensi konflik dengan menggunakan pendekatan budaya dan agama,” tutur Mangunjaya.

Baca juga: Melihat Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2018-2028. Seperti Apa?

 

 

Geografis Desa di Sumatera. Foto : Jurnal Nature Communications/Mongabay Indonesia

 

 

Dia melanjutkan, penelitian yang telah dipublikasikan dalam jurnal internasional Nature Communications edisi Agustus 2018, mendata sekitar 2.386 responden dari 72 desa di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Data tersebut digabung dengan analisis spasial risiko perjumpaan harimau dengan informasi toleransi untuk mengungkap penyebab terjadi.

“Kami memetakan desa-desa dengan tingkat risiko pertemuan harimau sangat tinggi, yaitu desa dekat hutan atau sungai, dan desa yang toleransi rendah terhadap harimau. Kami memetakan melalui penyatuan peta profil geografis yang dilapis (overlay) dengan sikap toleransi penduduk terhadap satwa liar. Identifikasi desa bertoleransi rendah dengan risiko pertemuan harimau tinggi penting untuk menentukan prioritas perlindungan harimau,” sambungnya.

Mangunjaya menambahkan, studi ini juga mencoba memahami tentang hubungan toleransi manusia dengan harimau. Artinya, studi ini ingin menemukan faktor yang mendorong adanya perilaku yang dapat mengendalikan perasaan manusia untuk membunuh harimau. Utamanya, yang dirasakan masyarakat yang hidup berdampingan dengan harimau.

“Dalam penelusuran, kami menelaah apa yang memengaruhi niat masyarakat untuk memburu atau melindungi harimau. Kami menemukan, meningkatnya pengetahuan konservasi ternyata tidak ada hubungannya dengan penghentian perburuan. Justru sikap, norma, dan perilaku yang dipengaruhi oleh keyakinan, dalam hal ini fatwa tokoh agama, menjadi penentu keinginan orang untuk berpartisipasi dalam konservasi,” paparnya.

Tingkat toleransi yang diukur tersebut berkaitan dengan sikap, emosi, norma dan latar belakang keyakinan spiritual yang dimiliki masyarakat. Berdasarkan analisa, keyakinan spiritual berlandaskan norma adat, justru menjadi penentu tingkat toleransi.

Mangunjaya menyebut, studi ini menunjukkan pentingnya kolaborasi disiplin ilmu. Menggabungkan berbagai pasangan data yang mencakup sosial dan ekologi, merupakan pendekatan bermanfaat untuk mengurangi konflik manusia dengan harimau dan satwa keseluruhan. “Pendekatan multi-disiplin seperti ini, penting untuk mencegah kepunahan pada satwa dilindungi, termasuk harimau sumatera,” paparnya.

 

 

Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan, setuju jika cerita masyarakat terkait legenda harimau, seperti kisah tujuh manusia harimau atau harimau siluman, dibangkitkan kembali. Pengetahuan masyarakat lokal dalam memperlakukan harimau sumatera pun digali lagi.

“Legenda ini pada dasarnya menjaga kehidupan harimau sumatera beserta habitatnya yang terancam. Jika kisahnya ditulis sebagai karya sastra untuk generasi muda, sebagai bentuk gerakan literasi, mereka akan memiliki kesadaran menjaga harimau. Bila perlu dibuat filmnya,” kata Yenrizal yang baru menerbitkan buku “Etnoekologi Komunikasi: Orang Semende Memaknai Alam,” paparnya, Sabtu (22/12/2018).

 

Awetan harimau sumatera. Foto : Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Taksiran populasi

Berapa estimasi populasi harimau sumatera? Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno, melalui pesan tertulisnya kepada media, Jumat (14/12/2018) menyatakan, diperkirakan jumlah harimau di alam liar sekitar 603 individu. Persebarannya ada di 23 landskap Sumatera dengan jumlah individu di masing-masing wilayah antara 1 hingga 185 individu.

Metode penghitungan yang dilakukan selama dua tahun tersebut (2016-2018) menggunakan pemodelan Population Viability Analysist (PVA). PVA merupakan alat untuk mengkaji viabilitas tiap subpopulasi di lanskap berbeda. Tentu saja, penghitungannya telah memperhitungkan skenario ancaman tertentu seperti harvest, deforestasi, kombinasi harvest dan deforestasi, serta metapopulasi.

“Kajian ini merupakan kerja sama dengan para praktisi konservasi harimau. Kajian dilakukan untuk mengetahui informasi terkini keberadaan harimau yang terakhir kali dibuat tahun 1994,” jelasnya.

Wiratno mengatakan, peningkatan populasi tidak terjadi begitu saja. Diperlukan kerja keras mengelola kawasan-kawasan konservasi yang merupakan habitat harimau. Pemerintah juga mengembangkan tiga tiger sanctuary, wilayah penitipan sementara harimau yang dirawat akibat konflik ataupun perburuan, sebelum dilepasliarkan kembali.

Tiger sanctuary yang dimaksud adalah Barumun Nagari Wildlife Santuary, Suaka Margasatwa Barumun – Sumatera Utara; Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan – Lampung; dan Pusat Rehabiltasi Harimau Sumatera Dharmasraya, Taman Nasional Kerinci Seblat – Jambi.

”Ini membuktikan target pemerintah untuk meningkatkan populasi harimau sumatera, sejauh ini dapat dipenuhi,” paparnya.

 

Pemusnahan awetan harimau sumatera. Foto : Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo menyebutkan, populisi harimau sumatera di Aceh berkisar antara 150-200 individu yang tersebar di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan Ulu Masen. Beberapa vido kamera jebak menunjukkan adanya kelahiran di wilayah ini. “Dua habitat ini memang sangat luas, tapi ancamannya juga tinggi.”

Sapto mengatakan, ancaman terbesar adalah perburuan. Pemburu yang bukan hanya berasal dari Aceh ini juga memanfaatkan masyarakat untuk memburu harimau dengan dalih konflik. “Dengan adanya konflik, mereka tidak perlu susah payah mencari harimau. Tugas kami tidak hanya menggiring harimau menjauh dari pemukiman penduduk, tapi juga memastikan tidak ada pemburu yang masuk,” ujarnya.

“Perburuan meningkat ketika ada permintaan. Untuk 2018, hasil patroli yang kami lakukan di Leuser menunjukkan tinggi pada rentang Januari – April,” tegas Dedi Yansyah, Koordinator Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser (FKL).

 

 

Exit mobile version