Mongabay.co.id

Tularkan Gerakan Pemanfaatan Sumber Daya Lestari ke Negeri Sakura (Bagian 2)

 

 

Spedagi, produk sepeda bambu karya Singgih Susilo Kartono, pertama kali dibawa ke Jepang pada 2015. Tahun itu pula, Spedagi Japan berdiri. Kantor dan studio memakai Haiko, sebutan untuk sekolah-sekolah yang ditinggalkan karena tak ada siswa.

Baca juga: Belajar Hidup Ramah Alam dari Desa (Bagian 1)

Secara umum, Jepang sedang mengalami fenomena sosial berupa penurunan populasi, penuaan masyarakat dan penurunan kelahiran.

Sebuah wilayah bernama Ato, mirip kecamatan kalau di Indonesia, di Kota Yamaguchi, Prefektur Yamaguchi, jadi tempat kegiatan Spedagi Ato.

Ato, daerah pertanian subur juga ditinggalkan banyak anak muda yang memilih bekerja ke kota.

Selang tak berapa lama, Spedagi Tokyo, berdiri. Bekerja sama dengan universitas, Spedagi Tokyo berkantor di Tokyo Zokei University. Tokyo sendiri, salah satu kota terpenting di dunia, pintu gerbang hubungan global.

 

Menginspirasi Jepang

“Spedagi Japan ingin merevitalisasi bangunan-bangunan yang terbengkalai jadi tempat bermanfaat. Di Jepang, karena populasi menurun banyak tempat kosong,” kata Lavinia Elysia, manajer hubungan internasional Spedagi Japan Inc, kepada Mongabay, akhir November lalu di Temanggung.

Di luar itu, mereka juga berusaha memanfaatkan sumber daya alam lokal atau material alami untuk sesuatu yang lebih berguna. Dia contohkan, memanfaatkan take, sejenis bambu di Jepang untuk kerangka sepeda dan berbagai mainan anak.

Baca juga: Belajar Merawat Alam ala Singgih lewat Pasar Papringan

Fumikazu Masuda, profesor bidang desain industri dan proyek lestari, sekaligus Direktur Spedagi Japan inc. menyampaikan, tertarik membawa ide Spedagi ke negaranya karena dalam beberapa hal persoalan Indonesia juga dialami Jepang.

“Gagasan merevitalisasi rural area bisa menarik untuk kami juga. Kami coba mengikuti ide Singgih dan mencoba apa yang bisa kami lakukan di Jepang,” katanya kepada Mongabay.

 

Dari kiri ke kanan Daichi Iwase (Direktur Spedagi Tokyo), Lavinia Elysia (manajer hubungan internasional Spedagi Japan), Fumikazu Masuda (Direktur Spedagi Japan). Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Di Indonesia, kota tampak lebih menarik dari desa. Kondisi ini, katanya, juga dialami negara-negara lain termasuk Jepang. Meski ada negara-negara, dengan rural area lebih menarik dibanding kota. Contoh di Eropa, rural area bisa lebih makmur dibanding kota. Orang lebih tertarik tinggal di desa karena bisa menikmati alam. Mereka yang tinggal di kota juga suka menghabiskan waktu ke sana. Di banyak kota lebih padat penduduk, dan desa kehilangan warga.

“Di Jepang, konteks berbeda karena tak hanya rural area yang ditinggalkan, namun angka populasi negara makin mengecil. Tidak ada lagi orang tinggal di rural area, atau di desa.”

“Bagi kami, terutama untuk generasi muda, jika mereka bisa memilih tinggal di kota atau desa, mereka banyak yang ingin tinggal di desa andai ada pekerjaan. Jadi, kami ingin bisa menciptakan pekerjaan bagi kaum muda dan memberi pekerjaan di desa.”

Ketika ditanya mengapa Jepang ingin belajar dari Indonesia, Fumi punya jawaban menarik. Indonesia, katanya, segala sesuatu masih lebih mudah.

“Eropa dan Jepang, konstruksi dan sistem sosial sudah rumit, tak sefleksibel Indonesia. Di sini atau beberapa negara lain di kawasan ini lebih dinamis, lebih fleksibel. Lihat, banyak orang datang ke mari (Pasar Papringan). Kalau ini di Jepang akan banyak orang datang.”

Apakah masih mungkin membuat semacam Pasar Papringan di Jepang?

“Kami ingin, tapi tahu tak mudah. Kami perlu belajar, mengapa orang mau datang. Ini sesuatu yang harus kami pelajari, dari apa yang dilakukan Singgih. Bagaimana Anda bisa memotivasi orang datang ke rural area. Bahkan termasuk orang asing. Jadi banyak yang harus dipelajari.”

 

Sepeda bambu buatan Singgih. Foto: Nuswantoro

 

 

Nilai baru

Daichi Iwase, Direktur Spedagi Tokyo sekaligus pengajar Tokyo Zokei University mengatakan, alasan Spedagi di Tokyo karena ada sejumlah sumber daya tak termanfaatkan di sana.

“Kita memulai Spedagi Tokyo, karena banyak sekali sumber daya alam tak digunakan. Sumber daya lokal dan budaya, misal, pengetahuan yang dimiliki warga hilang karena mereka makin tua dan mati. Kami melihat ini sebagai masalah, jadi kami berusaha menggunakan sumber daya lokal untuk menciptakan nilai baru.”

Dia berharap, penciptaan nilai baru ini mendorong perkembangan komunitas yang berkelanjutan, dengan pakai sumber daya lokal. “Ini jadi langkah awal Spedagi Tokyo.”

Contoh sumber daya lokal, kata Daichi, adalah bambu Jepang (take) banyak tumbuh di sekitar Tokyo. Selama ini, bambu itu tidak dimanfaatkan. Ia dianggap mengganggu lingkungan karena memakan lahan dan bersaing dengan tumbuhan lain.

Take, memiliki karakter lebih mudah dibentuk, lentur, dengan warna lebih putih itu lalu jadi beragam mainan anak. Juga kerangka sepeda, sebagaimana Singgih lakukan di Indonesia.

“Sebenarnya, take sudah diganti plastik di China yang kami impor. Ketika kami mengimpor plastik, orang-orang tidak lagi menggunakan barang-barang dari bambu. Bambu take lalu ditinggalkan.”

Dia bilang, bisa saja mereka membuat produk bambu seperti dilakukan nenek moyang mereka. Namun yang diinginkan adalah langkah kreatif.

“Itu sebabnya kami memutuskan membuat sepeda, yang mungkin lebih berdampak bagi masyarakat, budaya, dan kehidupan.”

Meski memiliki homebase di universitas, saat ini target Spedagi Tokyo, belum menyasar ke kalangan muda dan lebih ke anak-anak. Mereka antara lain membuat mainan, atau sepeda bambu untuk anak. Alasannya?

“Kami melihat anak-anak sangat penting bagi masa depan. Mereka harus punya pemahaman yang benar untuk menghargai alam. Spedagi Tokyo membantu mereka untuk mendapatkan pemahaman itu.”

 

Keranjang belanja dari bambu di Pasar Papringan Ngadiprono. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Gerakan global?

Lavinia mengatakan, Spedagi di Jepang juga mengadakan berbagai workshop terkait bambu dan material alam. Peserta mulai anak-anak hingga orangtua. Mereka memperkenalkan material bambu ke anak-anak.

“Anak-anak diajak merasakan bambu itu seperti apa. Kepada mereka diajarkan manfaat bambu. Juga mencoba naik sepeda bambu,” katanya.

Proyek pertama Spedagi Japan inc, kta Nia, panggilan akrabnya, adalah membuat sepeda bambu di Jepang. Negara itu menerapkan standar keamanan produk tinggi, maka sepeda bambu Spedagi harus disesuaikan desain dan standar Jepang.

Untuk memperlebar sasaran ke anak-anak muda, Nia juga rajin menyebarkan informasi Spedagi di Jepang lewat internet atau media sosial.

Sebagai negara maju, Jepang menempati posisi penting hubungan antara negara. Dia berharap, akan memudahkan Spedagi– inisiatif yang dimulai dari desa–, dari kota kecil di Indonesia, makin mengglobal, baik produk maupun gerakan.

“Biasanya, kalau suatu produk sudah sampai ke negara setara Jepang otomatis lebih mudah mengglobal. Baik untuk memasarkan maupun gerakan agar lebih diketahui publik.”

Nia menyadari, tak mudah menularkan nilai-nilai itu ke seluruh dunia. Untuk konteks Jepang , misal, budaya negara sendiri amat menghargai alam jadi Spedagi Japan tak berkampanye bagaimana menghargai alam.

“Kalau Spedagi Japan sudah tidak perlu mengurus alam lagi karena sudah bagus. Di Indonesia, Pasar Papringan awal mula dari tempat kotor jadi bagus dan bermanfaat. Kalau di Jepang, terbalik, kita mulai dari fungsi sosial dulu, dari kemanusiaan.” (Bersambung)

 

 

Sepeda bambu yang digunakan anak-anak di Jepang. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Para peserta dari Jepang memperhatikan wadah makan terbuat dari anyaman bambu (besek). Jepang mulai mencontoh praktik yang dilakukan Singgih, memanfaatkan sumber-sumber alami dan lokal seperti sepeda bambu maupun produk kerajinan dari bambu. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version