Mongabay.co.id

Tanam Padi di Areal Genangan, Kenapa Tidak?

Mendung menggelayut ketika dua perempuan Siti Rukoyah (45) dan Marfungah (51), warga Desa Nusadadi, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) membuat media tanam di areal yang tergenang. Kalau musim penghujan, lokasi setempat dipastikan terendam air karena merupakan wilayah cekungan. Ketinggian air di tempat tersebut sekitar 30-50 centimeter (cm). Sehingga kalau ditanami padi dengan cara biasa, sepertinya tidak mungkin.

Karena itulah kedua perempuan petani desa setempat didampingi petugas dari Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Dinas Pekerjaan Umum Banyumas wilayah Sumpiuh membuat media tanam yang tidak lazim. Sebuah inovasi yang digagas UPTD DPU Sumpiuh sebagai jawaban atas lahan yang setiap tahunnya dipastikan tergenang karena air hujan. Mereka menamakan dengan sawah apung. “Saya diminta untuk membantu bapak-bapak dari UPTD DPU wilayah Sumpiuh membuat sawah apung,”ungkap Siti yang diiyakan Marfungah.

Dua perempuan yang dibantu oleh warga lainnya Khoeron (61) beserta dengan para petugas UPTD DPU Sumpiuh mulai bekerja. Mereka telah membuat landasan media tanam dari bambu dengan ukuran 2 x 4 meter. Bentuknya seperti “gethek” atau rakit. Jumlahnya tiga kotak. Bambu berbentuk persegi panjang itulah yang kemudian diberi media tanam. Bahannya dari gulma, salah satunya eceng gondok. Kemudian di atasnya adalah tanah yang gembur. Ketebalan media tanam tersebut setinggi 10-20 cm.

“Kami sengaja menggunakan eceng gondok atau gulma lainnya untuk menutup sela-sela bambu supaya tanah sebagai media tanam tidak tercecer ke bawah. Media tanam campuran antara gulma dan tanah tersebut dipupuk organik. Kami membuat pupuk dari air kencing kelinci yang difermentasi. Pupuk ini sekaligus untuk menurunkan penggunaan pupuk kimia,”jelas Kepala UPTD DPU Banyumas wilayah Sumpiuh, Imam Pamungkas.

baca :  Gelombang Suara Gantikan Pestisida untuk Berantas Hama, Seperti Apa?

 

Petani tengah menanami padi pada sawah apung di Desa Nusadadi, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Inovasi yang mendapat penghargaan juara pertama Kementerian Pekerjaan Umum (PU) tahun 2018 kategori pengamat tersebut, kini telah dikembangkan di sejumlah tempat. Sebelum di Desa Nusadadi, mereka juga telah mempraktikkannya di Desa Plangkapan, Kecamatan Tambak. “Dalam dua kali ujicoba di Desa Plangkapan, Kecamatan Tambak. Hasilnya cukup bagus, karena dalam perhitungannya, setiap hektare (ha) mampu panen 4 ton. Memang kalau dibandingkan dengan sawah biasa, produksinya masih kalah. Karena sawah biasa mampu memproduksi hingga 6 ton per ha,”katanya.

Imam mengungkapkan pembuatan sawah apung itu sebagai jawaban atas kondisi alam yang terjadi. Kebetulan di Desa Plangkapan, Kecamatan Tambak dan Desa Nusadadi, Kecamatan Sumpiuh merupakan daerah yang sangat rawan banjir. Sehingga pada musim kemarau, banyak areal sawah yang ditelantarkan karena tergenang air. Atas pertimbangan itulah, kemudian muncul inovasi sawah apung tersebut. “Kalau dihitung-hitung, untuk membuat sawah apung, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kami memperkirakan, pembuatan media tanam dalam satu ha, biayanya mencapai Rp5 juta. Dalam satu musim, biaya total tanam hingga panen mencapai Rp15 juta, namun pendapatan dapat mencapai Rp20 juta,”paparnya.

Di daerah Tambak dan Sumpiuh, menurut Imam, ada sekitar 200 ha sawah yang setiap musim penghujan tergenang banjir. Sehingga pihaknya akan mensosialisasikan kepada petani agar bisa memanfaatkan areal tergenang yang biasa ditelantarkan ketika musim penghujan datang.

baca juga :  Anomali Cuaca Picu Serangan Hama

 

Proses pembuatan sawah apung. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Secara terpisah, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Totok Agung Dwi Haryanto mengatakan sawah apung yang merupakan hasil kreativitas masyarakat patut diapresiasi, karena sangat bermanfaat. “Dengan kondisi alam dan lingkungan tergenang, ternyata masyarakat mampu mengembangkan kreativitasnya sehingga para petani tetap mampu menanam padi,”jelas Prof Totok.

Menurutnya, secara tradisi sebetulnya masyarakat sudah menunjukkan kreativitas tinggi dalam menyiasati masalah-masalah terkait budidaya dan budaya pertanian. “Masyarakat mempunyai kearifan lokal dalam menyiasati musim dan kehadiran hama dan penyakit. Petani juga mengenal pranata mangsa. Bahkan, sebelum ada pupuk kimia, petani secata tradisi telah memanfaatkan kompos dan pupuk kandang. Inilah kearifan lokal yang tercipta di lingkungan masyarakat,”ujarnya

Dijelaskan oleh Prof Totok, secara khusus soal sawah apung sebetulnya memiliki konsep sederhana. “Prinsipnya adalah menjaga agar bagian atas tanaman padi tetap berada di atas permukaan air dari awal tanam sampai saat musim panen. Lapisan tanah sawah yang dicampur bahan organik seperti jerami, enceng gondok, pupuk yg disiapkan di atas rakit bambu menjadi media tanam padi yang mengapung. Saat permukaan air naik, rakit ikut naik dan sawah menjadi mengapung. Hal ini menyebabkan bagian atas tanaman padi tetap terjaga selalu berada di atas permukaan air,”katanya.

Inovasi itulah menjadi jawaban atas areal pertanian yang tergenang pada musim penghujan. Sebelumnya, petani hanya mampu panen dalam setahun satu kali, tetapi dengan adanya sawah apung bisa panen dua kali setahun. “Teknologi ini baik untuk dikembangkan. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan efisiensi teknisnya, mengingat biaya awal pembuatan sawah apung masih termasuk tinggi bagi petani. Diperlukan riset lebih lanjut untuk mencari bahan media dan kombinasi terbaik mendukung pertumbuhan tanaman padi agar hasilnya maksimal. Juga perlu dicari jenis padi yang paling sesuai dengan sistem sawah apung dan berumur pendek,”papar Prof Totok.

 

Sawah apung di areal tergenang di Sumpiuh, Banyumas, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sementara Kepala Dinas Pertanian (Dintan) Banyumas Widarso mengatakan bahwa kalau memang minat petani tinggi, maka bisa dikembangkan. Hanya saja, saat sekarang masih dalam taraf uji coba. “Ada cara tanam lain yang sebetulnya telah dikembangkan yakni dengan memakai bibit yang tinggi untuk mengatasi genangan. Cara ini sebagai bagian dari upaya untuk adaptasi lingkungan yang setiap tahun ada genangan atau rawan banjir,”ujarnya.

Metode penanaman padi dengan bibit sudah tinggi dikembangkan di Sumpiuh dan Tambak, karena memang kedua wilayah rawan banjir dan genangan. Sebab, kedua lokasi merupakan wilayah cekungan yang setiap musim penghujan pasti kelebihan air. “Jadi bibit yang ditanam di wilayah genangan sudah berusia 20-25 hari, sehingga pada saat ditanam telah tinggi tanamannya. Tetapi ada kelemahannya, produksi juga agak turun akibat anakannya lebih sedikit jika dibandingkan dengan cara tanam biasa,”imbuhnya.

 

Exit mobile version