Mongabay.co.id

Thanos, Krisis Ekologis dan Masa Depan Bumi

Spektakulernya Bumi yang tampak biru “Blue marble” yang begitu indah. Sumber foto: NASA Goddard Space Flight Centerl/Image by Reto Stöckli

Salah satu film yang sukses besar dalam tahun 2018 adalah Avengers: Infinity War yang diproduksi Marvel Studios. Film science fiction superhero ini sukses meraup pendapatan lebih dari USD 2 miliar (lebih Rp27 triliun) di seluruh dunia.

Selain efek visual grafiknya yang canggih, ada satu yang menarik perhatian saya yaitu Thanos, tokoh antagonis adidaya asal Planet Titan.

Singkatnya, Thanos digambarkan mengalami sendiri kehancuran total Titan. Planet itu hancur karena over populasi yang berbanding terbalik dengan sumberdaya yang terbatas, yang menghasilkan krisis ekologi akut. Thanos lalu menyimpulkan hanya ada satu solusi untuk mengatasi permasalahan di alam semesta, yaitu genosida populasi untuk planet yang mengalami kelebihan jumlah penduduk.

Baca juga: Menurut Ilmuwan Inilah Wajah Bumi 250 Juta Tahun Mendatang

Dalam film pun lalu diceritakan, lewat kesaktian infinity stones, Thanos hanya perlu menjentikkan jarinya. Lalu boom, setengah populasi pun lenyap di planet bumi.

 

Ramalan tentang Krisis Ekologi

Pemikiran krisis ekologi yang disampaikan dalam Infinity War, sebenarnya pernah diungkap oleh salah satu ilmuwan terkenal abad ini, Stephen Hawking. Dalam sebuah wawancaranya dengan The Guardian di akhir 2016 sebelum kematiannya, Hawking menyebut:

Perhaps in a few hundred years, we will have established human colonies amid the stars ..” (“Mungkin dalam beberapa ratus tahun, kita akan membangun koloni manusia di tengah bintang-bintang..”)”

Percepatan kiamat bumi ini, menurutnya, didorong oleh lima hal, yakni: pertama perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global; kedua defisit produksi pangan yang menyebabkan kelaparan di sejumlah kawasan yang menjadi sebab beragam konflik agraria dan perebutan sumberdaya.

Ketiga kelebihan populasi manusia yang meningkatkan tingkat kemiskinan, pengangguran dan kriminalitas; keempat penyakit epidemik yang dapat memusnahkan populasi manusia secara cepat; dan kelima perang nuklir yang dapat menyebabkan kepunahan umat manusia dalam sekejap.

 

Spektakulernya Bumi yang tampak biru “Blue marble” yang begitu indah. Sumber foto: NASA Goddard Space Flight Centerl/Image by Reto Stöckli

 

Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa, persoalan lingkungan hidup bumi saat ini terdiri dari serangkaian persoalan. Beragam isu “tentang krisis daya dukung alam” mencakup persoalan seperti: perubahan iklim, pengasaman air laut, penipisan lapisan ozon di stratosfer, batas aliran biogeokimia (siklus nitrogen dan fosfor), penggunaan air bersih global, perubahan pemanfaat lahan, hilangnya keragaman hayati, pelepasan aerosol ke atmosfer dan polusi kimia.

Dari semua itu perubahan iklim menjadi ancaman terbesar dan paling mendesak, yang  menduduki persoalan sentral. Peningkatan gas rumah kaca akibat aktivitas manusia (karbondioksida, metana, nitrogen oksida, dll) telah mendestabilisasi iklim dunia dan berkelindan dengan ancaman lainnya.

Dapat dipastikan jika perilaku self destruction manusia ini tidaklah berubah, dampak kenaikan suhu global bisa mengerikan bagi sebagian besar spesies dimuka bumi ini, termasuk manusia itu sendiri.

 

Mencari Akar Permasalahan

Akar permasalahan krisis ekologi dan keberlanjutannya, seperti disampaikan oleh A. Sonny Keraf dalam artikelnya berjudul Sustainable Development, adalah pola pikir manusia yang menempatkan alam sebagai obyek yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Juga, mis-orientasi pembangunan yang dilakukan. Pembangunan semata untuk pertumbuhan ekonomi, menegasikan aspek sosial-budaya dan lingkungan hidup. Hal ini terjadi umum di seluruh negara di dunia, termasuk di Indonesia.

Padahal, sebagaimana yang di ungkapkan oleh Epicuru dalam buku the Epicurus reader, sebagaimana dikutip Magdoff dan Foster, dia mengatakan “kekayaan jika tidak ada batasannya, adalah kemiskinan besar.”

Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Herman Daly, lewat “teorema ketidakmungkinannya”. Dia menyebut tak mungkin ekonomi terus bertumbuh terus tak terbatas di tengah lingkungan yang tidak tak terbatas.

Namun, apa yang terjadi, yang terjadi adalah perluasan dan eksploitasi tetap terjadi, bahkan berjalan dengan masif. Motif ekonomi berdasarkan pengejaran laba dan persaingan lalu mendorong aktivitas untuk menambahkan penjualan dan melebarkan pangsa pasar.

Mansur Fakih dalam bukunya Runtuhnya Teori Pembangunan menyebut agenda pembangunan perlu diwaspadai. Alih-alih kesejahteraan, pembangunan menyelipkan kepentingan kapitalisme/ neo-liberalisme, seperti kepentingan ekonomi MNC (multinational corporation), maupun TNC (trans-national corporation).

Berbagai agenda pembangunan masif ternyata membawa dampak negatif yang begitu besar. Yakni, kerusakan lingkungan seperti polusi air, udara dan tanah; dan munculnya beragam masalah sosial seperti kesenjangan kesejahteraan, pengangguran, serta kegagalan ekonomi dalam mencukupi kebutuhan dasar semua orang.

Apapun yang dijelaskan di atas, menggarisbawahi bahwa bumi saat ini dalam fase ekologi yang kritis bagi kehidupan spesies. Ia butuh kesadaran kita bersama. Bukan hanya kesadaran sebagian kecil kaum intelektual, aktivis, maupun para pegiatnya saja. Dasarnya karena kita hidup dalam satu dunia, dan karenanya semua manusia pasti butuh lingkungan yang baik dan sehat.

Dengan demikian, diperlukan sistem mendasar, nilai-nilai etika baru, sebuah panduan dan aksiologi, yang menjadi dasar dalam menjalankan etika moral pengelolaan bumi.

Jika kita gagal dalam melakukannya, maka gambaran ancaman dalam Infinity War pun bisa saja terjadi. Chaos pun tak terhindari. Akan muncul “Thanos Thanos” yang bertindak jauh menghilangkan hak orang-orang lain yang tak tahu-menahu tentang persoalan yang ada.

Semoga gambaran suram ini tidak terjadi.

 

Foto utama: Bumi difoto dari permukaan bulan. Dok: NASA.gov

 

*Alwi Alu, penulis adalah mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang. Saat ini menjabat sebagai Ketua HMI UIN Malang Komisariat Syariah Ekonomi.

 

Exit mobile version