Mongabay.co.id

Menjadikan Sumsel Lumbung Pangan, Haruskah Banyak Sawah di Rawa Gambut?

Pertanian merupakan sektor penting yang harus diperhatikan dari dampak pembangunan dan kebijakan yang merugikan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pemerintah Sumatera Selatan (Sumsel) yang kini dipimpin Herman Deru berkeinginan mewujudkan Sumatera Selatan sebagai lumbung pangan nasional. Apakah program kerja ini akan memanfaatkan rawa gambut sebagai lokasi persawahan baru?

“Tim Restorasi Gambut (TRG) Sumatera Selatan mendukung penuh program Sumsel sebagai lumbung pangan nasional. Artinya, kita setuju rawa gambut dangkal yang selama ini telah dikelola atau bukan zona lindung, dioptimalkan menjadi sentra pangan. Misalnya optimalisasi persawahan pasang surut di wilayah lebak yang selama ini memang sudah dikembangkan masyarakat,” kata Najib Asmani, Koordinator Tim Restorasi Gambut (TRG) Sumatera Selatan, akhir Desember 2018.

Bagaimana di wilayah yang selama ini dijadikan sonor oleh masyarakat? “Kita usahakan juga menjadi persawahan pasang surut. Tapi, tetap kita kaji bagaimana ketinggian airnya saat musim penghujan. Jika tergenang tinggi kemungkinan tidak dijadikan persawahan, kecuali di sekitar lahan itu terdapat sungai sehingga dapat diatur irigasinya. Yang terpenting, bukan di lahan lindung atau konservasi,” jelasnya.

“Sementara di rawa gambut yang tidak dapat dijadikan persawahan, dapat dikembangkan sumber pangan lainnya. Tidak hanya padi. Seperti perikanan, karena dalam visi dan misi Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Selatan periode 2018-2023 dinyatakan, terwujudnya pembangunan berkelanjutan dan pembangunan maritim yang merata dan berkeadilan. Perikanan itu bagian dari pembangunan maritim,” jelas Najib.

Sebagai informasi, target restorasi gambut di Sumatera Selatan hingga 2020 mencapai 615 ribu hektar yang meliputi Kabupaten OKI, Banyuasin, Muba, Muaraenim, Musirawas dan PALI. Luasan ini belum termasuk Ogan Ilir, yang gambutnya juga sering terbakar. Tapi saat ini menjadi prioritas restorasi di OKI dan Muba yang mencapai 477.282 hektar.

Baca: Gubernur Sumatera Selatan: Rawa Gambut Harus Ditata dengan “Kasih Sayang”

 

Pertanian merupakan sektor penting yang harus diperhatikan dari dampak pembangunan dan kebijakan yang merugikan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pangan bukan hanya beras

Pemerintah Sumatera Selatan dalam mewujudkan program kerja lumbung pangan nasional, hendaknya jangan mengukur pangan hanya dari padi. “Sumber pangan itu banyak. Sumber karbon hindrat bukan sebatas beras, juga ada sagu dan umbi-umbian, serta tanaman lainnya. Masyarakat Sumsel itu kan sehari-hari hidupnya bukan hanya makan nasi, juga pempek yang berbahan baku sagu. Kita juga butuh pangan yang berkualitas bukan hanya mengenyangkan,” kata Yusuf Bahtimi, peneliti CIFOR, yang selama beberapa tahun terakhir melakukan penelitian di wilayah gambut Sumatera Selatan, Jumat (28/12/2018).

Dijelaskan Yusuf, padi dapat dikembangkan di backswamp dan gambut tipis sepanjang memungkinkan untuk dilakukan budidaya padi. “Untuk gambut dalam hendaknya dimanfaatkan sesuai porsinya, misal menanam sagu untuk pangan sebagai upaya restorasi pada gambut yang terdegradasi,” ujarnya.

Sementara pada zona lindung, baik gambut dalam atau kubah gambut, hal ini jangan sampai dilakukan upaya ketahanan pangan melalui pertanian. “Biarkan tergenang menjadi sarang atau habitat ikan dan sebagai sumber pangan. Kebutuhan protein,” jelasnya.

Selain faktor alam, sumber daya manusia juga menjadi perhatian dalam menjalankan program pangan ini. Tidak semua masyarakat di Sumatera Selatan yang hidup di sekitar rawa gambut terbiasa memanfaatkannya untuk persawahan. Umumnya, mereka hanya memanfaatkannya untuk bersonor. Jadi, jika satu wilayah masyarakatnya tidak biasa bersawah jangan didorong bersawah.

Baca: Agenda Perbaikan Lingkungan Menanti Herman Deru, Gubernur Sumatera Selatan Baru

 

Nasib petani harus diperhatikan agar kondisi pertanian Indonesia terjaga selalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

“Kembangkan pangan yang lain, seperti sagu atau perikanan. Jika dipaksakan akan membutuhkan teknologi, pengetahuan, biaya, dan waktu yang panjang karena selain mewujudkan tradisi yang baru di masyarakat, juga mengubah karakter lahan gambut,” jelas Dr. Yenrizal Tarmizi dari UIN Raden Fatah Palembang, Jumat (28/12/2018).

“Mungkin hanya dapat dilaksanakan di wilayah transmigran yang memang memiliki tradisi bersawah. Selain itu, lahan gambut yang sudah digarap para transmigran ini sebenarnya sudah bukan lagi gambut, sudah menjadi mineral,” lanjutnya.

“Pada dasarnya saya tidak setuju menggarap lahan gambut untuk persawahan, sebab lebih banyak melahirkan persoalan dibanding pencapaian target. Selain itu, masih banyak persawahan pasang surut yang sebenarnya belum teroptimalkan sehingga dapat meningkatkan produksi padi,” kata Yenrizal.

Handoyo, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim, Badan Litbang dan Inovasi KLHK berpendapat, kita harus belajar dengan apa yang ada di masyarakat. “Jika memang sudah ada persawahan kembangkan saja, jika tidak ada ya jangan disawahkan. Mungkin, mereka punya tradisi pengadaan pangan lain seperti sagu,” katanya.

Baca juga: Negara Harus Percaya, Rakyat Bisa Kelola Lahan dengan Baik

 

Ketahanan pangan harus dibangun dengan tetap memperhatikan lingkungan masyarakat beserta sosial budayanya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mangrove sumber pangan dan ekonomi

Dr. Sarno, pakar mangrove dari Universitas Sriwijaya, mengatakan mangrove di Sumatera Selatan berpotensi menjadi sumber pangan berkualitas. Tradisi mengolah mangrove sebagai sumber pangan sudah dilakukan masyarakat sejak dahulu, misalnya buah pedada yang digunakan bahan masakan untuk mendapatkan rasa asam.

Berdasarkan kajian, beberapa jenis mangrove menjadi potensi pangan seperti api-api abang (Avicennia marina). Tanaman ini dapat dijadikan tepung berbagai jenis makanan atau kue.

 

Peta Sebaran dan perkiraan luas lahan gambut di Indonesia. Sumber peta: Pantau Gambut.id

 

Tanjang (Bruguiera gymnorrhiza) juga dapat dijadikan tepung lindur sebagai bahan makanan. Kemudian pedada (Sonneratia alba), yang dapat dijadikan sirup, dodol, lempok, wajik, dan juga dijadikan sabun.

“Itu baru sebagian. Ke depan harapnya, mangrove dapat menjawab kebutuhan pangan manusia, sehingga tidak hanya bergantung pada beras untuk mendapatkan karbohidrat,” tandas Sarno.

 

 

Exit mobile version