Mongabay.co.id

Singgih: Manusia Sejahtera, Lingkungan juga Harus Sejahtera (Bagian 3)

Singgih Susilo Kartono, pendiri Spedagi Movement. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Spedagi Movement, gerakan inspiratif yang ditiru di banyak tempat adalah Pasar Papringan. Fransisca Callista, Program Manager Spedagi, mengatakan, Pasar Papringan adalah upaya konservasi kebun bambu dengan pendekatan kreatif.

Baca juga: Belajar Hidup Ramah Alam dari Desa (Bagian 1)

Pasar Papringan, menolak penggunaan plastik, bahan kimia, dan zat warna buatan. Pasar unik ini mampu menambah penghasilan warga yang kebanyakan petani, menyumbang pendapatan bagi desa, dan mendidik orang hidup selaras alam. Kini, area Pasar Papringan diperluas dengan penambahan taman bambu, bagian dari edukasi dan laboratorium tentang bambu.

Mongabay berkesempatan berbincang dengan Singgih Susilo Kartono, pendiri Spedagi Movement, dengan ide dan semangat proyek itu kini dikembangkan di Jepang, dan dalam penjajakan beberapa tempat lain di dunia. Perbicangan dilakukan di sela-sela gelaran Pasar Papringan, di Ngadiprono, Kedu, Temanggung, akhir November lalu. Berikut petikannya:

 

Anda menyebut bahwa pelestarian alam seharusnya jadi petokan (benchmark), bukan ekonomi. Alasannya?

Kelestarian jadi benchmark karena kalau ekonomi itu tetap saja ada kemungkinan merusak. Jadi, ke depan tentang isu kehidupan berkelanjutan ya benchmark-nya lingkungan. Tujuannya, selalu harus jadikan lingkungan itu lestari. Dengan lingkungan lestari manusia bisa hidup dengan baik. Jadi manusia sendiri harus menyesuaikan. Salah satu tugas manusia itu kan dengan kecerdasan yang melebihi makhluk-makhluk lain adalah menjaga.

Baca juga: Tularkan Gerakan Pemanfaatan Sumber Daya Lestari ke Negeri Sakura (Bagian 2)

Kegagalan manusia sekarang adalah mereka berkompetisi sendiri untuk berkuasa yang mengakibatkan alam menjadi rusak. Kenapa benchmark lingkungan itu penting, sebenarnya untuk mengingatkan kembali bahwa manusia bertugas menjaga alam. Dengan menjaga alam, kehidupan akan jadi lestari. Dengan kecerdasan lebih tinggi harusnya jadi makhluk paling wise (bijak).

 

Warga yang berjualan sayuran melayani pembeli di Pasar Papringan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Dalam konteks itu, di mana posisi Indonesia?

Indonesia, sebenarnya negeri yang memiliki dua sisi. Di satu sisi, masih punya nilai-nilai lama yang lebih sesuai dengan benchmark tentang lingkungan. Satu sisi, ingin bergerak menyejajarkan dengan bangsa-bangsa industri, karena merasa bahwa industri itu bisa menyejahterakan. Kenyataan, di negara-negara maju industri hanya menyejahterakan negaranya sendiri. Berpotensi menyengsarakan negara lain, atau planet ini.

Baca juga: Belajar Merawat Alam ala Singgih lewat Pasar Papringan

Sebenarnya, kita punya nilai-nilai lama juga sedang terancam. Nilai-nilai kehidupan di masyarakat Wae Rebo, Badui, Ciptagelar, mereka menyeimbangkan, manusia sejahtera, lingkungan juga harus sejahtera.

Cuma memang kita perlu mentransformasikan nilai-nilai di sana ke dalam kehidupan yang berubah seperti sekarang. Mereka cuma secuil, sementara desa-desa di luar yang puluhan ribu itu sudah terbuka, sudah berubah. Tidak ada pemimpin adat sangat kuat, tidak ada aturan-aturan hukum ditaati hingga harus dicari solusi, suatu desain baru yang berangkat dari apa-apa yang baik di tatanan lama dan apa-apa yang baik di sekarang dan masa depan. Meninggalkan apa-apa yang negatif di lama, memakai apa-apa yang baik di masa sekarang.

 

Nilai-nilai apa yang selaras dengan lingkungan yang bisa dipakai?

Saya kira banyak. Di Ciptagelar itu kan nggak boleh beras diperjualbelikan. Itu ditanam bersama-sama, dan menyejahterakan mereka. Betul-betul satu bahan yang dikonsumsi banyak orang. Kalau di dalam konteks perekonomian konvensional, beras kan selalu jadi isu politik, dan sangat sulit menyejahterakan. Sebenarnya, sederhana saja. Yang punya lahan sawah itu orang desa, tetapi dia harus menghidupi populasi yang sebagian besar ada di kota yang tidak punya sawah.

Kalau desa menghidupi desa sendiri sudah lebih dari cukup. Kalau sampai beras mengimpor karena banyak orang yang tidak punya sawah yang harus ikut makan.

 

Anda bilang kerja sama antarnegara harus equal. Apa yang bisa disumbangkan Indonesia, dan apa yang harus dilakukan negara maju dalam kolaborasi itu?

Kita sebenarnya punya banyak sekali yang bisa disumbangkan ke negara-negara maju, karena equal itu kan sebenarnya sangat erat kaitannya dengan gotong royong. Gotong royong itu sebenarnya lebih dalam dari kolaborasi. Kolaborasi itu masih ada syarat-syarat tentang manfaat seberapa banyak saya bisa dapat manfaat. Tapi kalau gotong royong itu betul-betul mulai dari share apa yang saya punya, apa yang kita bisa. Jadi spiritnya itu memberi, menyumbang kebaikan secara bersama-sama, menyumbang apa yang kita punya. Tapi dalam collaboration itu masih ada tarik ulur kepentingan masing-masing dia bisa dapat apa. Kalau gotong royong itu tidak. Kita punya problem, ayo kita cari solusi bersama. Jadi semangatnya itu memberi, membantu.

Itu contoh satu nilai dari negara kita, yang kadang-kadang kita sendiri tidak pede (percaya diri). Jadi semangat memberi itu dari budaya lama.

Dari negara maju, mereka juga harus menahan diri. Ya seperti saya ibaratkan orang naik sepeda. Bangsa maju itu sudah di depan. Tapi dia sebenarnya melewati jalur yang salah, dia tahu itu salah. Ya harusnya dia ngasih tahu, hei, kamu jangan lewat situ. Kamu lewat sini saja. Kamu akan lebih selamat, kamu tidak akan menghabiskan energi, kita akan sampai pada tujuan yang sama.

Komitmen SDGS sekarang ini menurut saya belum sepenuhnya menjadi sebuah kesepakatan yang menjadi tujuan bersama. Kalau pun ada itu sangat formalistis. Jadi harusnya disepakati dulu betul-betul, mendalam. Kalau sudah begitu negara-negara maju harus mengatakan, ok saya slow down dulu. Agar kamu bisa sejajar dengan kami. Kami saya kasih tahu arah kamu salah. Harusnya ke sini.

 

 

Pembuatan radio kayu Magno karya Singgih Susilo Kartono. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Tidak dengan justru memindahkan industri ke negara-negara berkembang ya?

Ya, memang tidak mudah. Sekali lagi semua urusan dengan selfcontrol. Bisa berkata ini cukup. Kalau capitalism itu tidak ada kata cukup. Dia unlimited growth. Tapi sesuatu itu kan terbatas, seperti balon, suatu saat pasti akan meledak.

 

Soal masa lalu, masa kini, dan masa depan, desa masa depan dalam bayangan Anda seperti apa?

Desa masa depan yang saya sebut cyral itu adalah gabungan antara apa yang baik dari era sebelumnya, menghilangkan apa yang buruk, kemudian mengambil apa yang baik saat itu. Desa masa depan cyral itu, saya mengambil definisi dari Ezio Manzini. SLOC, small, local, open, dan connected.

Small itu, tinggal di komunitas kecil. Kenapa komunitas kecil, karena komunitas kecil kita bisa saling kenal. Kita bisa tahu sumber daya, kita bisa tahu batas-batasnya. Lokal, mengambil dari lokal. Lokal ada material, makanan, energi. Kita tahu batasnya.

Open dan connected itu apa yang baik dari era industri. Ia terbuka dan terhubung. Ke depan selalu akan, peradaban itu belajar dari kesalahan-kesalahan, mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk.

Kehidupan ke depan itu saya lihat makin blend. Ada social entrepreneur. Dulu, orang memisahkan antara bisnis dan sosial, sekarang orang sudah bisa menerima. Kalau bisnis doang tidak punya dampak sosial. Kalau sosial doang mereka butuh dana yang tidak harus bergantung kepada korporasi yang memberikan donasi.

 

Barang-barang industri masih tetap dibutuhkan. Apa yang harus dilakukan mengeliminir dampak buruknya?

Sebenarnya, semua itu akan kembali kepada satu, ehmmmm.. saya percaya ada nilai-nilai dasar universal yang akan membalik dengan sendirinya. Senang dan bosan. Ini masih enak, ini sudah terlalu berlebihan dan orang akan menolak dengan sendirinya. Seperti sekarang, mungkin orang sebentar lagi akan membuang handphone. Karena apa? Handphone sudah menguasai kehidupan kita. Karena energinya itu sudah bentul-betul memenjara kita.

Saya yakin ada mekanisme, seperti orang makan kalau terlalu banyak makan akan kekenyangan. Orang melakukan sesuatu yang berlebihan juga akan bosan, jenuh, muak, muntah. Yang berbahaya itu ketika semua menunggu bergerak setelah muntah, atau chaos.

Di dalam kehidupan, saya perhatikan orang selalu ada sensor. Sepertinya bakal kacau ini, seperti itu. Jadi bakal mencari keseimbangan baru.

 

Soal International Conference on Village Revitalization (ICVR), apa yang dihasilkan sekarang, bagaimana perbandingan dengan ICVR sebelumnya?

ICVR ini menarik karena ini sudah jalan enam tahun, atau tiga kali. Ide-ide ini teruji dengan beberapa proyek yang dijalankan. Sekarang kami sudah punya Pasar Papringan, sebuah contoh tentang kegiatan yang hidup. Kemudian ada juga di negara lain seperti di Jepang, mereka punya problem sendiri, di Kashmir, punya problem sendiri. Kalau saya lihat dari yang saya rasakan sekarang ini mereka betul-betul semangat, atau ide revitalisasi desa dan permasalahan global ini sudah lebih bisa diterima.

Saya juga merasakan keinginan anak-anak muda untuk kembali tinggal di desa, atau kota kecil itu menguat sekarang. Dulu, saat ide ini dicetuskan di awal kan saya lihat masih jarang. Kemarin datang dari pemerintah, begitu melihat ICVR, sekarang mereka tergerak bahkan merasa bersalah karena selama ini tidak terlibat. (Selesai)

 

Keterangan foto utama:      Singgih Susilo Kartono, pendiri Spedagi Movement. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Seorang ibu tengah menjual makanan tradisional kluban. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version