Mongabay.co.id

Abrasi Ancam Keberadaan Pulau-pulau di Riau, Apa Penyebabnya? (Bagian 2)

Abrasi yang terjadi di Teluk Nibung, Riau. Pertahanan dari mangrove yang menipis, menyebabkan daratan terus terkikis. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Abrasi melanda berbagai daerah di Riau, bahkan mengancam keberadaan pulau-pulau di sana. Abrasi parah, antara lain terjadi di Pulau Bengkalis, Pulau Batu Mandi (Rokan Hilir), Pulau Rupat, Bengkalis dan Pulau Rangsang. Selain hantaman gelombang laut dan pertahanan hutan mangrove minim, laju abrasi juga didorong alih fungsi lahan.

Baca juga: Abrasi Pantai dan Laut di Riau Bahayakan Keselamatan dan Sumber Hidup Warga (Bagian 1)

Sigit Sutikno, Dosen Teknik Sipil Universitas Riau bekerjasama dengan Yamaguchi University, menganalisis laju abrasi di Pulau Bengkalis, menggunakan data satelit citra landsat. Analisisnya juga memetakan perubahan garis pantai dari 1988 hingga 2014. Pergeseran garis pantai itu tampak jelas dari peta yang ditampilkan Sigit di ruang kerjanya.

Hasil overlay garis pantai menunjukkan, sebagian besar abrasi terjadi di pantai utara Pulau Bengkalis. Paling parah di bagian barat diikuti bagian selatan. Laju abrasi dari 1988-2004, pada level 30-40 hektar rata-rata per tahun. Sejak 2004 ke atas, laju abrasi naik lebih dua kali lipat rata-rata per tahun.

Hasil tracking Sigit dan tim, menemukan fenomena alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit oleh PT Meskom pada ujung Pulau Bengkalis, adalah penyebab utama laju abrasi. Kondisi Pulau Bengkalis, semula ditutupi mangrove, hutan rawa gambut dan tanaman laut, berubah jadi lahan sawit sekitar 11.000 hektar.

PT Meskom, menggali kanal hingga bermuara ke laut. Belakangan, perusahaan membuat sekat yang memicu longsor karena ketinggian air dalam kanal melebihi ambang batas maksimum. Peristiwa itu biasa terjadi pada musim hujan sekitar Januari. Untuk mengantisipasi, perusahaan baru memasang pipa sebagai pintu keluar air.

Kondisi itu jadi kompleks. Selama riset Sigit, bila ketinggian air tidak terjaga dapat memicu kebakaran. Sementara, bila elevasi di atas 8,5 meter menjadi beban dan mendorong tanah longsor.

Menurut Sigit, tanah gambut tak dapat menahan debit air berlebihan hingga mudah longsor.

“Saya awalnya mengira abrasi itu karena gelombang laut. Ternyata di Bengkalis, faktor utama karena alih fungsi lahan,” katanya.

 

Pesisir gambut yang terkikis di Riau. Seperti yang terjadi di Pulau Bengkalis dan Pulau Rangsang, abrasi pertahun puluhan hektar, mengancam keberadaan pulau-pulau itu. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Di samping abrasi, sisi pantai barat Pulau Bengkalis juga mengalami akresi atau sedimentasi. Dua fenomena itu jadi fokus riset Sigit. Meski lajunya tidak secepat abrasi di pantai utara, rata-rata akreasi per tahun Pulau Bengkalis 16,45 hektar. Ini hasil material abrasi yang dibawa arus pasang dan mengendap di sisi lain Pulau Bengkalis.

Hasil penumpukan daratan baru ini memunculkan ekosistem baru yang tumbuh alami.

Struktur tanah terbentuk pun terdiri dari beberapa lapis gambut dan tanah aluvial. Kata Sigit, model lapisan tanah seperti itu jadi obyek penelitian baru termasuk ekosistem yang tumbuh alami.

Sigit berencana mengajak teman-temannya yang konsen ekologi, untuk riset lebih lanjut terhadap fenomena ekosistem yang hidup pada daratan baru ini.

Fenomena berkurangnya luas daratan Pulau Bengkalis cukup mengkhawatirkan. Sigit beberapa kali menyampaikan kondisi itu pada Pemda Bengkalis. Bila dilihat perubahan garis pantai selama 26 tahun yang dijelaskan Sigit, Pulau Bengkalis sudah kehilangan 1.504,93 hektar daratan.

Sedangkan penambahan daratan atau total laju akresi 419,39 hektar. Artinya, jika laju abrasi dikurangi laju akresi, Pulau Bengkalis, telah kehilangan daratan 1.085,54 hektar dari 1988-2014 atau, 42,57 hektar rata-rata per tahun.

Pantai Pulau Bengkalis memang rawan abrasi. Selain wilayah pada dataran rendah dengan ketinggian 0-6,1 meter di atas permukaan laut, sebagian besar tanah gambut dan rentan bila tidak terlindungi mangrove. Sekitar 75% Pulau Bengaklis adalah gambut dengan kedalaman lima sampai enam meter. Ditambah lagi, letak langsung berhadapan dengan laut terbuka.

Sigit bilang, timnya dari Yamaguchi University, sangat tertarik riset di Pulau Bengkalis karena pantai bergambut, tak seperti pantai pada umumnya berpasir. Tahun lalu, mereka memasang alat mendeteksi angin, iklim dan gelombang di pantai Bengkalis sebagai tindak lanjut riset 2013. Selama riset, mereka sulit mendapatkan data.

Sigit dan kawan-kawan juga menghitung laju abrasi dengan metode sama di Pulau Rangsang, Kabupaten Kepulauan Meranti. Pulau ini mengalami laju abrasi terparah setelah Bengkalis. Hasilnya, selama 24 tahun terakhir atau periode 1990-2014, Pulau Rangsang kehilangan daratan 1.097,53 hektar atau rata-rata laju abrasi per tahun 46,37 hektar.

 

Peta Pulau Bengkalis sebelum dan setelah jadi lahan sawit

 

Abrasi hampir di sekeliling Pulau Rangsang atau paling parah dan lebih cepat di bagian utara atau ujung timur pulau.

Seperti di Pulau Bengkalis, sebagian Pulau Rangsang juga akresi atau sedimentasi di bagian barat pulau. Meski tak selaju abrasi, akresi di Pulau Rangsang selama 24 tahun merujuk hasil overlay Sigit, hanya 243,53 hektar atau rata-rata 10,29 hektar per tahun. Artinya, pengurangan daratan Pulau Rangsang sejak 1990-2014 seluas 854 hektar atau 36,08 hektar rata-rata per tahun.

Bila melihat laju abrasi antara kedua pulau itu, Rangsang tampak lebih kritis. Dengan luas pulau 909,8 kilometer persegi, rata-rata laju abrasi per tahun Pulau Rangsang hampir setara abrasi Bengkalis yang luasnya 11.481,77 kilometer persegi. Kondisi tanah dan letak pulau pun sama. Umumnya tanah rawa gambut dan langsung berhadapan dengan laut terbuka.

Secara administrasi pemerintahan, Ibu Kota Kabupaten Bengkalis berada langsung di Pulau Bengaklis. Sedangkan Ibu Kota Kepulauan Meranti di Pulau Tebing Tinggi, secara geografis dibentengi Pulau Rangsang dari gelombang laut. Rangsang pun paling rawan terpapar ombak.

“Rangsang memang dominan karena terjangan ombak. Pulau Bengkalis tidak begitu kuat, hanya alih fungsi lahan itu tadi yang jadi faktor utama,” kata Sigit.

Menurut dia, abrasi cenderung terus terjadi. Untuk itu, dia merekomendasikan ditangani secara struktural.

 

Simulasi Pulau Bengkalis ketika masih ditutupi hutan mangrove dan rawa gambut
Simulasi Pulau Bengkalis setelah alih fungsi lahan

 

Upaya pemerintah

Dinas Kelautan dan Perikanan Riau, lewat program mitigasi bencana juga mendata ancaman abrasi di Dumai, Bengkalis dan Kepulauan Meranti. Tiga wilayah ini sedang dibuat perencanaan untuk menahan laju abrasi. Tahun depan akan ada uji coba pembuatan hybrid engineering sepanjang 500 meter, dengan memancang tiang beton lalu menyisipkan ranting kayu di sela-sela tiang. Cara ini akan dilakukan di Desa Tanah Merah, Kecamatan Pulau Rangsang.

“Itu sebagai pilot project. Kalau berhasil akan diteruskan,” sebut Herman Mahmud, Kepala DKP Riau.

Model ini untuk menahan lumpur supaya tidak terseret ombak. Pada tanah timbul itu akan ditanam kembali mangrove. DKP sudah sepakat dengan masyarakat sekitar, daratan baru itu akan jadi milik negara, meski sebelumnya di situ berdiri rumah penduduk, fasilitas sosial termasuk kebun masyarakat.

Awalnya, model hybrid engineering yang akan dibuat menggunakan tiang pancang dari nibung. Jenis kayu ini mudah didapat di Kepulauan Meranti. Masyarakat menolak karena akan merusak lingkungan.

Rencana pembuatan pemecah gelombang di Kepulauan Meranti, sebenarnya sudah jauh hari. Beberapa tahun lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah melakukan tinjauan terhadap wilayah yang terancam abrasi ini.

Selain di Pulau Rangsang, di Pulau Bengkalis, tepatnya Desa Mentayan, Kecamatan Bantan, juga sempat dirancang pemecah gelombang laut dari geotekstil, tetapi batal.

KKP kemudian mengalihkan program mitigasi bencana di Pelintung, Dumai. Tahun ini, sudah masuk perencanaan seperti di Pulau Rangsang. Pelintung, satu dari dua lokasi lain yang juga terkena abrasi di Dumai, selain Penempul dan Geniot.

Pelintung jadi prioritas karena jarak jalan negara tinggal 500 meter dari bibir pantai. Di Penempul, jarak rumah penduduk sangat jauh dari bibir pantai. Di Geniot, rumah nelayan tidak begitu jauh lagi dari bibir pantai, dan rumah bantuan KKP itu tidak dihuni lagi.

“Tiga wilayah itu sebenarnya usulan langsung Wali Kota Dumai. Kita selamatkan aset negara terlebih dahulu,” kata Herman.

Selain menunggu proyek besar itu terwujud, tiap tahun DKP juga menanam mangrove di beberapa wilayah hantaman gelombang laut. Hampir setiap instansi mengurusi mangrove di Riau, seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan termasuk Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai Indragiri-Rokan.

Sigit setuju upaya menahan laju abrasi dengan pemecah gelombang. Hasil risetnya pun mengarah ke situ. (Selesai)

 

Keterangan foto utama:    Abrasi yang terjadi di Teluk Nibung, Riau. Pertahanan dari mangrove yang menipis, menyebabkan daratan terus terkikis. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Bekas tapak rumah di Riau, setelah terkena abrasi. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version