Mongabay.co.id

Pentingnya Analisis DNA untuk Perangi Kejahatan Satwa Liar

Badak sumatera. Foto: Rhett Butler/Mongabay Indonesia

 

Indonesia harus serius memerangi kasus kejahatan satwa liar. Pendekatan berbasis DNA dapat digunakan untuk mengungkap kegiatan kriminal terorganisir tersebut sebagai upaya penegakan hukum.

Abdul Haris, Dekan FMIPA Universitas Indonesia mengungkapkan, penanggulangan kejahatan dan perdagangan satwa liar ilegal di Indonesia memerlukan berbagai pendekatan baru. Salah satu teknologi terkini adalah forensik satwa liar berbasis DNA. Analisis ini dapat membantu otoritas penegak hukum menelusuri asal-mula satwa yang telah diperdagangkan.

“Penguatan riset terkait genetika satwa liar perlu dilakukan. Penelitian DNA satwa bisa didapatkan dari beberapa sumber seperti darah, rambut, kotoran, urine, tulang, dan air liur. Sampel-sampel yang dikumpulkan berasal dari barang bukti sitaan maupun populasi satwa liar di alam,” jelasnya dalam Seminar Teknologi Genomik dan Forensik Molekular Satwa Liar di Depok, Jawa Barat, akhir Desember 2018.

Genetika satwa liar, lanjut Haris dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis satwa dari bagian tubuh satwa yang disita. Sebut saja empedu, taring, kaki, gading gajah, tulang, taring, kulit, dan cakar harimau yang sering disita di bandara dan pelabuhan. Selain itu, genetika satwa liar juga bisa menghasilkan data akurat jumlah satwa liar, seperti gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas yang menjadi tempat hidup 10-17% dari populasi seluruh gajah sumatera saat ini.

“Terakhir, melalui genetika satwa liar bisa dipastikan apakah satwa yang sulit teridentifikasi, seperti badak sumatera, masih tersisa di habitatnya. Sekaligus mengantisipasi agar tidak salah mengenali sebagai spesies lain seperti tapir,” paparnya.

Baca: Analisis DNA Menunjukkan, Populasi Badak Sumatera Tidak akan Pernah Pulih

 

Badak sumatera yang berada di Taman Nasional Way Kambas. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.com

 

Haris melanjutkan, keberhasilan analisis DNA dalam memerangi perdagangan satwa terlihat pada penyitaan gading gajah afrika di Singapura dan Hong Kong yang diketahui berasal dari populasi gajah di Gabon dan Kongo-Brazaville.

“Ini bisa kita aplikasikan terhadap satwa-satwa dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan pulau-pulau lain. Dengan begitu, semua informasi genetik barang sitaan terdokumentasi dengan baik sebelum dimusnahkan oleh satgas gabungan Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dengan dukungan Wildlife Conservation Society (WCS),” tutur Haris.

Analisis DNA dapat menyediakan sejumlah data akurat pengaturan kuota pemanfaatan satwa liar yang berkelanjutan di Indonesia, dibawah Peraturan Pemeritah (PP) No 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan konvensi internasional CITES mengenai peredaran satwa liar. Selain itu, teknik DNA juga diharapkan dapat memperkuat penegakan hukum dengan memberi bukti tambahan guna memperberat tuntutan pelaku kejahatan. “Terutama, pada kasus-kasus perdagangan satwa liar ilegal jaringan internasional,” tuturnya.

Baca: Menanti Peran Ahli Forensik Mengungkap Kasus Kejahatan Satwa Liar

 

Bunta, gajah jinak di Conservation Response Unit (CRU) Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, dalam kenangan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dalam kesempatan yang sama, Direktur WCS Indonesia Program, Noviar Andayani mengungkapkan, sudah banyak lembaga atau institusi yang membahas isu forensik satwa liar. Tetapi menurutnya, lembaga-lembaga tersebut belum terkoneksi satu sama lain.

“Sebagai negara megabiodiversitas, analisis DNA satwa liar memegang peranan penting untuk konservasi satwa dan keanekaragaman hayati Indonesia.”

Noviar menambahkan, penelitian keanekaragaman hayati di Indonesia masih sangat terbatas dan belum menjadi prioritas lembaga-lembaga penelitian biologi molekuler.

“Sangat diharapkan terbentuknya konsorsium nasional untuk memperkuat riset genetika satwa liar yang terdiri dari berbagai pihak seperti pemerintah, akademisi, peneliti, dan mahasiswa guna tercapainya penegakan hukum dan pengawasan CITES,” paparnya.

 

Harimau sumatera. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kepala Sub Bidang Sumber Daya Genetik Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Muhammad Haryono mengatakan, kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya genetik di Indonesia tengah diupayakan melalui Revisi UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.

Undang-undang Karantina yang ada sekarang, terangnya, belum meng-cover tumbuhan, satwa liar, apalagi genetik. “Pada revisi ini akan dimasukkan hal tersebut sehingga pengawasan di pintu masuk atau keluar seperti bandara dan pelabuhan terhadap perdagangan satwa liar dan genetik bisa diperketat,” ujarnya.

Haryono menuturkan, analisis genetik DNA akan sangat membantu pemerintah dalam menyusun strategi konservasi perlindungan maupun penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar. “Intinya, hal-hal seperti ini harus terus dikembangkan karena menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia perlu kerja sama yang kuat,” ujarnya.

 

Kulit harimau sumatera dan barang bukti kejahatan satwa liar lainnya yang dimusnahkan di Markas SPORC Bigade Macan Tutul, Medan, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Pemetaan DNA Badak

Helena Suryadi, Wakil Kepala Laboratorium Forensik Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, pada workshop Perumusan Sistem Jaringan Kerja Sama Forensik Satwa Liar Nasional di Medan, Sumatera Utara (29-30/11/2018) menyatakan, pihaknya sudah melakukan pemetaan DNA. Terutama badak jawa di Ujung Kulon dan badak sumatera di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). “Target berikutnya adalah, pemetaan DNA badak sumatera di Taman Nasional Gunung Leuser.”

Helena mengatakan, jika ditemukan cula badak di Jakarta atau daerah lain, bisa dilakukan pengecekan DNA. Jika ada kesamaan dengan individu badak yang sudah pernah diperiksa, akan diketahui apakah cula badak ini berasal dari badak di Ujung Kulon atau Sumaetera.

 

 

Helena melanjutkan, dari hampir 10 sampel cula badak yang dianalisis hasil kejahatan, tidak satupun yang setelah diperiksa di Laboratorium Forensik Lembaga Biologi Molekuler Eijkman merupakan cula badak. Walau bentuknya mirip, ternyata tanduk kerbau air.

“Tangkapan penyidik yang diduga cula badak, setelah tes DNA ternyata bukan. Selain badak, kami sudah mampu mengidentifikasi gajah sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo dan Taman Nasional Way Kambas,” ujarnya.

 

Cula badak yang merupakan barang bukti kehatan satwa liar ini akan dimusnahkan di Medan, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Sugeng Dwiastono, Ketua Bidang Profesi Asosiasi Dokter Hewan Satwa Liar Aquatik dan Hewan Eksotik Indonesia menyatakan, kapasitas dokter hewan untuk forensik perlu ditingkatkan. Dengan begitu, pembuktian kejahatan satwa liar, termasuk badak dan gajah, bisa dilakukan demi upaya penegakan hukum.

Identifikasi DNA satwa liar dan pengambilan jenis sampel berbeda, bisa dijadikan sumber bank data nantinya. Untuk itu, harus ada sertifikasi dokter hewan, yang dipersiapkan sebagai tenaga ahli pengungkap kasus kejahatan satwa liar.

“Mendapatkan dokter hewan berkualitas sangat penting adanya untuk menekan kejahatan satwa liar. Analisis DNA satwa liar tidak lepas dari peran dokter hewan yang mumpuni di bidangnya,” tandas Sugeng.

 

 

Exit mobile version