Mongabay.co.id

Pascabencana Sukabumi, Kearifan Lokal Masyarakat Perlu Dihidupkan Lagi

 

Langkah pemulihan pascabencana menjadi persoalan krusial. Sebagai pijakan membentuk masyarakat tangguh menghadapi situasi yang tidak diinginkan.

Cindi tak canggung melempar senyum ketika seorang relawan trauma healing memintanya menceritakan cita-citanya. Namun, tak banyak kata keluar. Di balik wajah polos, bocah 8 tahun itu coba sembunyikan luka hatinya. Dia baru saja kehilngan orang terkasih, ibunya meninggal saat bencana longsor menerjang Dusun Cimapag, Kampung Garehong, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Senin (31/12/2018) lalu.

Tandi (32), ayah Cindi hanya bisa tertegun melihat putrinya. Tak ada harta tersisa, kecuali keinginan bangkit dari keterpurukan. “Istri saya meninggal dunia tertimbun longsor. Kini, hanya tinggal saya dan anak. Saya pun terjebak hampir satu jam saat bencana menimbun rumah kami,” ujarnya, Minggu (6/1/2018).

Longsor yang terjadi di Dusun Cimapag, Kampung Garehong, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, secara resmi, pencarian korban telah dihentikan, Minggu (6/1/2018). Tim   Search and Rescue   (SAR)   gabungan telah mengevakuasi 32 jenazah, sementara satu korban yang belum ditemukan atas nama Ruhesih (40) telah diikhlaskan keluarganya.

Baca: Longsor Sukabumi, Siapkah Masyarakat Hidup di Wilayah Rawan Bencana?

 

Longsor yang melanda Dusun Cimapag, Kampung Garehong, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Senin (31/12/2018). Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kampung Garehong merupakan kampung adat yang masuk dalam Kesatuan Adat Banten Kidul, komunitas masyarakat adat yang sejak dulu bermukim di sekitar Gunung Halimun Salak. Jauh sebelum Halimun Salak ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Secara administratif, komunitas ini tersebar di tiga kabupaten di Jawa Barat yang sebagian besar di Banten.

Kesatuan Adat Banten Kidul terdiri beberapa kampung adat yang disebut juga kasepuhan atau adat karuhun (nenek moyang). Desa Sirnaresmi masuk wilayah adat Kasepuhan Sinar Resmi.

Saat rencana relokasi masih belum pasti pascabencana longsor, masyarakat sekitar, telah lebih dulu peduli. Sebanyak 64 korban selamat, secara sukarela ditampung di rumah-rumah warga. Tandi memilih mengungsi ke rumah kakaknya, Suma (50), berjarak 300 meter dari lokasi bencana.

“Masih belum tahu pindah kemana dan berapa lama numpang. Namun, keinginan saya bertani kembali agar mandiri,” ucapnya.

Kebutuhan makan Tandi dan anaknya ditanggung. Suma dan istrinya Ayi, tak merasa terbebani. Bukan karena mereka bergelimang harta, namun, cadangan pangan lebih dari cukup, hasil panen padi yang mereka simpan tiap tahunnya.

“Petuah adat mengharuskan memiliki leuit (lumbung padi), minimal satu tiap kepala keluarga. Hasil panen tidak dianjurkan dijual, namun disimpan,” imbuh Suma. Lumbung padi menjadi simbol kemandirian pangan setiap keluarga.

Saat bencana datang, petuah itu sangat terasa manfaatnya. Terlebih pascabencana, jadi pegangan masyarakat untuk tolong-menolong. Bukan hanya kepada keluarga dan saudara, melainkan semua orang yang membutuhkan. Biasanya, leuit diletakkan lebih jauh dari permukiman. Bila terjadi bencana, cadangan pangan ini tidak terkena imbasnya.

 

Cisolok merupakan salah satu wilayah prioritas penanganan bencana di Sukabumi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kearifan lokal

Masyarakat adat di sini juga memiliki kearifan lokal. Semisal, menyesuasikan diri mengikuti topografi berbukit, minim dataran. Mereka juga membangun rumah panggung dinding kayu atau anyaman bambu, beratap ijuk. Semua dilakukan karena kawasan Kasepuhan Sinar Resmi berupa lahan berkontur, sehingga permukiman warga harus mengikuti desain alam dan lingkungan sekitar. Secara sederhana, mengajarkan masyarakat memikirkan tata ruang yang baik.

“Bencana longsor ini merupakan tanda hubungan manusia dengan alam perlu diperbaiki. Sudah tentu ada campur tangan manusia lebih dulu,” kata Tetua Adat Abah Asep Nugraha, ditemui di Imah Gede.

Dia menjelaskan, kasepuhan Sinar Resmi memiliki batasan dalam memanfaatkan ruang ekonomi dan ruang hidup. Batasan itu diterjemahkan dalam pola pengelolaan hutan. “Ada leuweung (hutan) larangan, leweung garapan dan leweung cawisan. Aturan adatnya jelas, dari 40 ribu hektar lahan di Taman Nasion Gunung Halimun Salak, di sana ada tanah ulayat adat yang masih dijaga,” jelasnya.

 

Semangat kepedulian sesama masih tertanam di masyarakat Garehong, mereka membantu sesama yang terkena musibah, terutama untuk bantuan pangan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Asep tidak menampik bila ada norma di masyarakat yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya, akibat perkembangan zaman. “Abah tidak menutup mata ada degradasi kearifan lokal yang hilang. Teknologi diperbolehkan, asalkan tidak bertabrakan dengan nilai adat kasepuhan”.

Adat kami juga mengatur syarat membuka permukiman. Yakni, tidak boleh menebang pohon di hutan larangan dan pantang membangun rumah dekat mata air, juga di daratan antara aliran sungai.

Kasepuhan Sinar Resmi mempunyai filosofi nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat jeung balarea. Artinya, patuh pada hukum, berpijak pada ketentuan negara, serta taat terhadap mufakat. Kejadian kemarin menjadi pembelajaran berharga. Kami akan berembuk bersama barisan olot. Selanjutnya, kami ikut arahan pemerintah,” tutur Asep.

 

Lumbung padi atau leuit yang merupakan simbol kemandirian pangan setiap keluarga di masyarakat Garehong, Sirnaresmi, Cisolok, Sukabumi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Deforestasi dan degradasi lingkungan

Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor banyak disebabkan ulah manusia.

Eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam, perluasan lahan, dan perubahan lahan dari hutan menjadi perkebunan atau sawah tanpa diikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, menyebabkan bencana lebih sering terjadi.

Menurut laporan Institut Pertanian Bogor, antara 1989 dan 2004, pada laporan 20 tahun penelitian Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), lembaga nirlaba yang fokus lingkungan, Taman Nasional Gunung Halimun Salak telah kehilangan 25 persen hutannya akibat pembalakan liar dan pembukaan hutan, dari luas kawasan total sekitar 113.357 hektar.

Wakil Bupati Kabupaten Sukabumi Adjo Sardjono menuturkan, pihaknya bakal melakukan langkah penghijaun di areal longsor sebagai penanganan pascabencana. Akan tetapi, dia tidak menjelaskan rinci mekanisme reboisasi itu.

Terkait relokasi, Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan, secepatnya akan dilakukan. Pihaknya akan mengajak Pemprov Jabar membahas hal tersebut dan memastikan menanggung semua biaya yang diperlukan. “Karena ini berkaitan adat, lahan relokasi tidak akan jauh,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version