Mongabay.co.id

Pegawai BPBD Dumai Korupsi Dana Karhutla, Begini Modusnya…

Kebakaran hutan pada 20 Februari 2018 lalu di Riau. Karhutla tak hanya sebabkan kerusakan lingkungan juga membahayakan kesehatan warga. Foto: BNPB/ Mongabay Indonesia

 

 

Pada pertengahan Desember lalu, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru, Bambang Miyanto bersama dua anggota, Dahlia Panjaitan dan M Suryadi, menghukum Noviar Indra Putra Nasution 1,3 tahun penjara beserta Suherlina dan Widawati masing-masing 1,2 tahun. Ketiganya terbukti menyalahgunakan kewenangan ketika mengelola dana siap pakai penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dari BNPB pada 2014.Mereka juga wajib bayar denda Rp50 juta, atau kurungan tiga bulan.

Peristiwa itu berawal ketika Khairul Anwar, Wali Kota Dumai, menetapkan status tanggap darurat Maret-April 2014, saat karhutla melanda wilayah itu. Noviar selaku Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Dumai, langsung memberitahu situasi wilayah pada BPBD Riau, guna mendapat bantuan dana.

Bantuan disebut dana siap pakai itu kucur dari BNPB melalui Ferialdi, bekas Kepala Seksi Penyelamatan dan Evakuasi BPBD Riau, dalam bentuk cek BRI Rp150 juta. Noviar menerima dan menguangkan cek itu bersama Suherlina di Bank BRI Cabang Dumai, lalu menyerahkan pada Widawati.

Suherlina, Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik BPBD Dumai, Widawati, sebagai Bendahara Pengeluaran di lembaga sama.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105./2013, tentang mekanisme pelaksanaan anggaran penanggulangan bencana, Noviar yang juga diangkat Khairul Anwar sebagai pengguna anggaran, seharusnya mengangkat pejabat dalam internal lembaganya sebagai bendahara pengeluaran pembantu (BPP) dan pejabat pembuat komitmen (PPK).

Kepala BNPB pada 5 Maret 2014 juga mengeluarkan peraturan sebagai petunjuk teknis dalam menggunakan uang itu. Caranya, Kepala BPBD terkait mengusulkan pada BNPB pejabat yang hendak diangkat sebagai BPP dan PPK. Setelahnya, Kepala BPBD harus membuka rekening khusus atasnama ‘BPP Dana Siap Pakai BPBD’ untuk menampung dan menggunakan uang itu.

Sebaliknya, Noviar justru menggunakan uang seperti pengelolaan dana APBD biasa. Dia pun bertindak langsung sebagai PPK dan pengguna anggaran, lalu menunjuk Suherlina sebagai pejabat pelaksana teknis kegiatan.

“Saya tidak tahu soal penggunaan uang itu. Yang jelas kami didampingi BPKP selama menggunakan uang dan menyusun pertangungjawaban,” kata Noviar, ketika dikonfirmasi majelis hakim dalam sidang perkara korupsi yang membelit dirinya, Suherlina dan Widawati.

Eko Budiman, mantan Direktur Bantuan Darurat BNPB, membenarkan ada permintaan dana siap pakai dari BPBD Dumai waktu itu. Setiawan Cahya, Kasi Perencanaan BNPB, juga mengatakan, BPBD Dumai tidak ada mengusulkan nama-nama pejabatnya yang akan diangkat sebagai BPP dan PPK.

 

Ilustrasi. Warga berusaha memadamkan kobaran api dengan alat yang biasa dipakai untuk menyemprot hama rumput di lahan gambut di Desa Selingsing, Medang Kampai, Dumai, Riau, Sabtu (1/3/2014). Foto : Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

Bulan sama, setelah menetapkan status tanggap darurat, Khairul Anwar juga membentuk tim komando tanggap darurat. Tim ini ratusan orang. Belakangan ada yang mengaku, tak tahu namanya ada dalam SK. Sebagian dari nama yang ada justru tidak bekerja maksimal selama 32 hari masa tanggap darurat.

Seperti Rina Yulis, Kasi Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial Kota Dumai. Dia baru melihat namanya diperiksa dan disodorkan penyidik SK Tim Komando Tanggap Darurat. “Yang saya tahu, Dinas Sosial dan BPBD Dumai memang selalu terlibat bersama dalam penanganan bencana. Baik karhutla, banjir bahkan angin puting beliung. Saya tak pernah ke lokasi kebakaran.”

Berbeda dengan Palawani Anggraini, Kasi Lingkungan Hidup yang hanya terlibat selama 21 hari. Dia dan staff tahu ada SK wali kota untuk bekerja selama 32 hari. “Saya langsung beri bantuan personil lima orang di lapangan.”

Satu bulan pasca tim komando, Noviar kembali mengajukan permohonan bantuan tambahan dana ke BNPB. Permohonan kali ini dilengkapi rencana anggaran biaya. Masing-masing Rp589.085.000 dan Rp332.145.000.

Tiga hari kemudian, 17 April 2014, Noviar bersama Suherlina dan Widawati langsung menerima pengganti biaya operasional BPBD Dumai dalam menanggulangi bencana karhutla. Dana itu juga diterima dalam bentuk cek BRI Rp581.160.000, dari pengelola kegiatan penanggulangan darurat bencana karhutla Riau. Ketiganya langsung mencairkan cek itu di bank sama ketika menerima dana pertama.

Total dana siap pakai yang diterima BPBD Dumai selama masa tanggap darurat menjadi Rp731.160.000.

Berdasarkan catatan Widawati, dana itu untuk berbagai keperluan, seperti pembuatan spanduk, pembelian masker, beli bahan bakar minyak, makan dan minum, cetak foto serta pembayaran uang lelah relawan. Total keseluruhan Rp701.408.000. Widawati juga mencatat pengembalian sisa dana Rp27.552.000 ke kas negara dan Rp2.200.000 yang tidak disetor ke kas negara. Semua itu dibuat seolah mempertanggungjawabkan dana siap pakai yang digunakan.

Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Riau mencatat, dana kelola Noviar, Suherlina dan Widawati seharusnya lebih sedikit dari catatan yang dibuat, sebesar Rp511.961.543, selisih Rp219.198.457– kemudian dihitung sebagai kerugian negara.

Temuan BPKP, ternyata tidak ada pembelian masker sampai Rp20 juta. Biaya makan dan minum seharusnya Rp73.920.000 jadi Rp111.520.000. Pembayaran uang lelah relawan Rp268.324.726 dibuat Rp459.400.000.

“Seharusnya tidak boleh terima uang lelah kalau tidak terlibat dalam pekerjaan,” kata Sunarto, dari BPKP yang audit.

Dalam dakwaan penuntut umum Kejaksaan Negeri Dumai, Noviar, Suherlina dan Widawati disebut telah melakukan pemotongan uang lelah relawan. Ketiganya juga memanipulasi bukti pertanggungjawaban pembayaran uang lelah, termasuk biaya makan dan minum serta pembelian masker. Juga tidak menyerahkan laporan kegiatan dan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan. Bahkan tidak mengembalikan seluruh sisa dana siap pakai sampai masa tanggap darurat dicabut.

Eko Budiman mengatakan, laporan kegiatan dan pertanggungjawaban harus diserahkan ke BNPB paling lambat tiga bulan pasca dana siap pakai diterima.

Jaksa menyebut, Suherlina justru menyerahkan sebagian dana siap pakai pada Ferialdi Rp20 juta . dan Said Mustafa Sekretaris Kota Dumai Rp30 juta.. Noviar turut mengetahui penyerahan uang bertahap itu.

Ferialdi telah meninggal dunia ketika penyidik mencium aroma korupsi penggunaan dana siap pakai ini. Beberapa orang yang terlibat dalam tim komando mengaku telah menerima uang lelah tetapi masing-masing dalam jumlah berbeda.

Dwi Arisyawan, Asisten Pemerintahan Kesejahteraan Rakyat Kota Dumai terima Rp1.950.000. Palawani Anggraini terima Rp1.000.000 sedangkan stafnya, Adityawarman, Ismail dan Risrandi, masing-masing Rp500.000-Rp 700.000.

Ada juga pemberian uang lelah pada relawan, seperti Kuswanto, Manut, Ismail Siregar dan Wahyu Wibarti. Manut, mengatakan, ada 28 orang lagi rekan-rekannya yang diajukan terlibat pemadaman karhutla. Nama mereka diserahkan pada Anto, anggota BPBD Dumai. “Itu atas permintaan Suherlina langsung.”

Suherlina menampik pengakuan Manut. “Saya tak ada minta. Anto sendiri yang serahkan langsung pada saya.”

Manut dan rekan-rekannya merupakan anggota Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI). Sebuah organisasi sosial nirlaba di Indonesia. Mereka aktif memberi informasi karhutla lewat gelombang udara kala itu. Di Dumai, waktu itu ketuanya Eko Suharjo kini Wakil Wali Kota Dumai mendampingi Zulkifli AS. Dia tahu saat itu anggotanya jadi relawan.

“Kami ada yang terima honor Rp100.000-Rp Rp150.000,” kata Manut.

 

 

Keterangan foto utama: Kebakaran di Riau. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version