Kabar baik bagi lingkungan dan manusia datang di awal tahun 2019. Perjuangan masyarakat Silo, Kabupaten Jember, berakhir manis. Pengajuan sidang non ligitasi oleh Bupati Jember, Faida, untuk mencabut Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 1802/2018 terkait wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) Blok Silo seluas 4.023 hektar di Kementerian Hukum dan HAM, berhasil. Majelis Pemeriksa sidang mediasi menyatakan, perlu pencabutan Keputusan Menteri ESDM tertanggal 23 April 2018, karena ada prosedur tak dilalui dengan benar.
Baca juga: Masyarakat Silo Protes, DPRD dan Bupati Jember Sepakat Tolak Tambang Emas
Lampiran Blok Silo merupakan salah satu lampiran dari Surat Keputusan Menteri ESDM yang berisi tentang WIUP dan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) di Indonesia tahun 2018. Blok Silo disebut masuk dalam WIUP dan WIUPK untuk pertambangan mineral jenis emas.
Sejak terbit SK Menteri ESDM, masyarakat resah dan tegas menolak dengan beragam cara. Atas dorongan dan reaksi masyarakat, Pemerintah Kabupaten Jember, akhirnya mengajukan gugatan pencabutan lampiran Blok Silo itu ke Kementerian Hukum dan HAM. Rabu (9/1/19), majelis pemeriksa gugatan mengeluarkan putusan pada sidang kedua.
Nasrudin, Ketua Majelis Pemeriksa, menyatakan, salah satu kesimpulan pencabutan adalah bukti prosedur rekomendasi dan persetujuan dari bupati tak bisa dihadirkan dalam sidang. Dalam sidang mediasi itu, perwakilan Pemprov Jatim mengakui tak ada bukti yang menunjukkan Pemerintah Jawa Timur, telah berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Jember. Bahkan berdalih, kewenangan koordinasi itu ada di Kementerian ESDM (KESDM).
“Hingga saat ini tidak ada rekomendasi dan persetujuan dari pemerintah daerah,” kata Faida.
“Sebelum saya jadi bupati dan sudah terjadi sejak lama, masyarakat Silo menolak tanah ditambang,” kata Faida.
Penolakan itu, katanya, terjadi jauh sebelum SK Menteri soal WIUP terbit. “Jadi kami tetap menuntut agar SK menteri soal WIUP Blok Silo dicabut.”
Mediasi kedua ini berlangsung di Kantor Kemenkum HAM Jakarta, Rabu (9/1/19). Faida hadir didampingi wakilnya, Abdul Muqiet Arief. Selain itu juga Farohan, Kepala Desa Pace dan Soegoeng, Camat Silo. Beberapa perwakilan warga dari Forum Masyarakat Silo (Formasi) juga turut serta.
Farohan datang membawa petisi penolakan tambang emas yang ditandatangani sekitar 7.000 warga Kecamatan Silo. Menurut dia, hal itu bisa jadi bukti nyata penolakan masyarakat.
Dalam kesempatan ini, bupati juga menyampaikan desakan agar Pemerintah Jawa Timur dan pemerintah pusat mengurungkan niat menambang di Silo. Dia menegaskan, upaya penambangan itu tidak prosedural.
Sidang mediasi menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam berita acara untuk mencabut Kepmen ESDM tentang Blok Silo. Majelis pemeriksa memberikan waktu satu bulan kepada KESDM mencabut lampiran sejak rekomendasi keluar. Kalau sampai satu bulan rekomendasi tidak jalan, kewenangan pencabutan diserahkan kepada Presiden.
Ada beberapa poin kesepakatan. Pertama, penetapan WIUP oleh Menteri ESDM harus dilakukan berdasarkan koordinasi dengan gubernur dan bupati. Kedua, penetapan WIUP Blok Silo oleh Menteri ESDM sebagaimana diusulkan Gubernur Jawa Timur, tidak melalui koordinasi terlebih dahulu dengan Bupati Jember, hingga penetapan Blok Silo sebagai WIUP cacat formal.
Ketiga, bahwa KESDM harus mencabut lampiran IV wilayah izin usaha pertambangan eksplorasi Blok Silo Kepmen ESDM 1802K/2018. Keempat, rencana pelelangan WIUP Blok Silo yang akan berlangsung sesuai Kepmen ESDM 1802K/2018 agar dihentikan.
Poin-poin disetujui para pihak itu tertuang dalam berita acara kesepakatan ditandatangani KESDM diwakili Kepala Seksi Pengelolaan Wilayah Mineral, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Satya Hadi Pamungkas, Pemprov Jawa Timur diwakili Kepala Bidang Pertambangan Dinas ESDM Pemerintah Jawa Timur, Agung Subagyo dan Kepala Seksi Pemanfaatan Dinas ESDM Jawa Timur, Harsilo. Dari Pemerintah Jember, ditandatangani langsung Bupati Jember, Faida.
Selain diperiksa ketua majelis, juga oleh anggota Ninik Herawanti dan Ardiansyah. Ketiganya unsur Kemenhuk HAM. Adapun pemeriksa dari unsur masyarakat/akademisi yaitu Agus Riewanto (Fakultas Hukum UNS Surakarta) dan Jimmy Z Usfunan (Fakultas Hukum Udayana Bali).
Majelis juga menghadirkan saksi dari Universitas Andalas, Charles Simabura, dan dari Kampus Jentera, Bivitri Susanti.
Barisan Kyai tolak tambang
Penolakan terhadap rencana penambangan emas di Blok Silo, Kabupaten Jember, Jawa Timur , terus mendapat perlawanan dari sejumlah elemen masyarakat. Kali ini, PCNU Jember tegas menolak rencana eksploitasi emas. PCNU Jember menggelar konferensi pers di Aula Kantor NU Jember, 7 Januari lalu.
Abdullah Syamsul Arifin, Ketua PCNU Jember, menegaskan, penolakan kali ini yang kesekian kali. Sejak awal, ketika tambang emas Blok Silo masih jadi obyek penelitian, mereka sudah menentukan sikap. Penolakan akan terus jalan selama tambang emas Blok Silo masih ada.
Sejumlah alasan melatarbelakangi penolakan tambang emas Blok Silo. Selain arus perlawanan warga Silo yang hampir semua NU, juga hasil Bahtsul Masa’il yang digelar LBM NU Jember pertengahan November lalu.
Bahtsul Masa’il merupakan salah satu forum diskusi keagamaan dalam organisasi NU untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual, yang muncul dalam kehidupan masyarakat.
“Hasil Bahtsul Masa’il 14 November 2018, menyebutkan haram hukumnya penambangan emas di Blok Silo manakala berdampak pada kerusakan, bencana, eskalasi konfik lahan, rusaknya ekosistem, ancaman pada pertanian dan ancaman bencana ekologis,” katanya.
“Dasar hukumnya, baik kitab kuning maupun hasil investigasi kami lakukan. Walaupun tambang emas di Blok Silo juga bermanfaat, namun kerusakan jauh lebih mengerikan,” kata Abdullah.
Dia bilang, tak boleh mendapatkan kemashlahatan (manfaat) dari perbuatan yang diawali kerusakan. Lebih dari itu, katanya, kerusakan dari pertambangan, bukan hanya di awal tetapi berlangsung terus.
Hasil Bahtsul Masa’il itu, tidak serta merta bisa diterapkan di daerah lain. Sebab, di tempat lain bisa jadi kondisi warga dan lingkungan berbeda dengan Blok Silo. Hasil Bahtsul Masa’il LBM NU Jember, bisa jadi rujukan awal untuk menyikapi tambang emas di daerah lain.
Dalam ingatan Misbahuddin dari PCNU Jember, pembahasan Bahtsul Masail terkait penolakan tambang emas di Jember, khusus Kecamatan Silo, tak hanya sekali. Sejak awal, para ulama dan kyai sudah sering membahas dalam berbagai kesempatan.
Sidang Bahtsul Masa’il juga pernah diadakan pada 2000-an dengan tajuk mudharat dan manfaat emas. Pada masa itu, ada kalangan kyai muda yang menggelar acara-acara serupa untuk memperkuat barisan.
Sebagai orang yang keseharian hidup di kalangan pondok pesantren yang didirikan (Alm) KH. Shiddiq di Jember wilayah kota, isu-isu dan pembahasan soal lingkungan tak pernah luput dalam ingatannya.
Wacana penolakan tambang emas dibarengi diskusi-diskusi soal harimau Jawa dan Siwil (manusia kerdil) di Taman Nasional Meru Betiri. Saat itu, katanya, Taman Nasonal Meru Betiri, sering sekali disebut dalam setiap pembahasan, karena salah satu prioritas utama dilindungi dari ancaman pertambangan.
“Sepanjang yang saya tahu, pada 2000-an itu, setelah sidang Bahtsul Masa’il soal tambang emas digelar, pesantren-pesantren jadi rame dan begeliat membahas isu-isu lingkungan.”
Hasil sidang, katanya, jadi kajian kalangan santri di pesantren-pesantren. “Makin menguat khusus di pondokan yang memang konsen mengkritisi permasalahan lingkungan.”
Wacana terus berkembang dengan menggandeng jaringan alumni di pondok pesantren. “Jadi, rame waktu itu. Hampir di setiap pertemuan, selalu ada selipan membahas soal tambang emas. Akhirnya, tidak hanya seputar tambang emas, ya segala macam permasalahan lingkungan.”
Menurut Misbahuddin, dari barisan pondok pesantren itulah akhirnya muncul tokok-tokoh yang memilih mengabdikan diri, pendampingan pada masyarakat di sekitar wilayah yang bermasalah lingkungan.
Selain pernyataan sikap dari NU Jember dan penguatan melalui sidang Bahtsul Masa’il, perjuangan masyarakat Silo juga dikuatkan dengan ‘Deklarasi Kyai Kampoeng Tolak Tambang’ pada 30 Desember lalu.
Ahmad Taufiqurrahman, perwakilan Forum Masyarakat Silo (Formasi) mengkonfirmasi ada sekitar 7.000-an orang. Mereka terdiri atas guru ngaji, kyai kampung dan tokoh masyarakat Silo. Rombongan datang kebanyakan dari 5 desa, antara lain: Pace, Mulyorejo, Harjo Mulyo, Karang Harjo dan Silo. Semua termasuk dalam Kecamatan Silo.
Mereka mengusung empat tuntutan. Pertama, menolak pertambangan dalam bentuk apapun di Kecamatan Silo. Kedua, mendesak presiden, menteri, gubernur dan bupati segera mencabut SK Menteri ESDM No 1802/2018 sebelum masa jabatan gubernur habis.
Ketiga, mendesak Bupati Jember membuat aturan bebas pertambangan emas, mineral dan semacamnya. Keempat, mendesak DPRD II Kabupaten Jember membuat peraturan daerah bebas pertambangan emas, mineral dan semacamnya.
Momen ini dilangsungkan bersamaan dengan Haul KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) ke-9. Acara digelar di Halaman Gedung Bulu Tangkis PTPN XII Kebun Silosanen, Dusun Curahwungkal, Desa Pace, Kecamatan Silo juga dihadiri Kapolres Jember, AKP Kusworo Wibowo dan Wakil Bupati Jember, Abdul Muqit Arief.
Keterangan foto utama: Ribuan masyarakat Silo, datang ke DPRD Jember dan Kantor Bupati meminta unsur pemimpin daerah itu bersama warga tolak Blok Silo, jadi wilayah tambang. Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia